Indonesia Menuju Era Industri Bahan Bakar Nabati
UCAPAN selamat layak disampaikan kepada PT Pertamina (Persero) atas keberhasilannya melaksanakan pengujian co-processing untuk mengubah minyak kelapa sawit menjadi green gasoline. Inilah capaian yang patut diacungi jempol karena sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang melakukan co-processing green-gasoline untuk skala komersial.
UCAPAN selamat layak disampaikan kepada PT Pertamina (Persero) atas keberhasilannya melaksanakan pengujian co-processing untuk mengubah minyak kelapa sawit menjadi green gasoline.
Inilah capaian yang patut diacungi jempol karena sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang melakukan co-processing green-gasoline untuk skala komersial.
Belum lama ini, Pertamina mengumumkan bahwa Kilang Residue Fluidized Cracking Catalityc Unit (RFCCU) Refinery Unit (RU) III Plaju, Sumatera Selatan berhasil melakukan pengujian co-processing minyak sawit menjadi green gasoline, green LPG, dan green propylene dalam persentase yang lebih kecil. Co-processing dilakukan dengan injeksi Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil (RBDPO) hingga 7,5% on feed.
Co-processing merupakan salah satu opsi metode produksi green fuels melalui proses pengolahan bahan baku minyak nabati dengan minyak bumi secara bersamaan menjadi green hydrocarbon (green gasoline, green diesel, atau bioavtur).
Pengembangan green fuels oleh Pertamina yang didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ini dilakukan sebagai upaya untuk menghasilkan bahan bakar nabati, khususnya berbasis kelapa sawit. Saat ini, Indonesia sudah mengembangkan biodisel 20% (B20) dan tahun 2019 akan memulai pengujian penggunaan B30 pada kendaraan.
Kandungan bio ini terus ditingkatkan hingga mencapai 100% atau menjadi green diesel. Keberhasilan ini membuka gerbang bagi Indonesia untuk memasuki era baru industri bahan bakar nabati (BBN).
Ini juga meneguhkan bahwa kelapa sawit Indonesia mampu menjawab tantangan zaman untuk menghadirkan bahan bakar ramah lingkungan sekaligus menggantikan bahan bakar berbasis fosil yang kini cadangannya kian menipis. Itulah sebabnya apresiasi langsung dilontarkan berbagai kalangan.
"Sebuah capaian yang sangat membanggakan di mana Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang berhasil melakukan co-processing green gasoline untuk skala komersial," ungkap pakar katalis ITB, Prof. Subagjo saat menghadiri Peluncuran Implementasi Co-Processing CPO menjadi Green Gasoline dan Green LPG di RFCCU RU III Plaju, (21/12/2018).
Apresiasi yang sama juga dilontarkan kalangan pemerintah. "Pembuktian teknologi co-processing di kilang Pertamina ini akan mengantarkan Indonesia pada era baru industri BBN yang diharapkan ke depan mampu memproduksi secara komersial biohidrokarbon atau green fuels," ujar Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi pada Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (DItjen EBTKE) Kementerian ESDM yang turut hadir pada acara tersebut.
Green fuels merupakan pilihan yang baik untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar cair dalam negeri untuk mensubstitusi minyak mentah atau BBM dari produksi dalam negeri. Selain itu, green fuels juga akan melengkapi BBN jenis Biodiesel yang sudah berjalan secara komersial hingga pencampuran 20% (B20).
Bagi perekonomian negara, kehadiran green fuels juga akan mendatangkan banyak manfaat, tak terkecuali mengurangi tekanan neraca pembayaran negara atas impor minyak mentah. Menurut Direktur Pengolahan Pertamina, Budi Santoso Syarif, implementasi pengolahan CPO secara co-processing di kilang telah memberikan kontribusi positif bagi perusahaan dan negara.
Inovasi ini telah diuji coba dan memberikan hasil yang membanggakan baik dari kualitas produk, hasil yang ramah lingkungan serta berpotensi mengurangi impor minyak mentah. “Tingkat kandungan dalam negeri atau TKDN sangat tinggi, karena CPO yang diambil bersumber dari dalam negeri, transaksi yang dilakukan dengan rupiah sehingga mengurangi devisit anggaran negara,” jelas Budi.
Green fuels merupakan senyawa biohidrokarbon yang secara umum karakteristiknya sama dengan senyawa hidrokarbon berbasis fosil sehingga dapat dicampurkan pada tingkat persentase berapa saja tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan. *** (Sumber: ebtke.esdm.go.id)