FGD Sawit Berkelanjutan: Minyak Sawit Sebagai Sumber Pangan dan Bioenergi Berkelanjutan

FGD Sawit Berkelanjutan: Minyak Sawit Sebagai Sumber Pangan dan Bioenergi Berkelanjutan

JAKARTA – Pertumbuhan industri minyak sawit di dunia, masih bergantung kepada produksi minyak sawit yang porsinya mencapai 50% lebih berasal dari Indonesia. Tingginya permintaan pasar global, secara langsung akan berdampak terhadap keberadaan produk minyak sawit yang berada di Indonesia.

Keberadaan minyak sawit mentah (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku minyak goreng dan bio energi, memang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Tingginya permintaan pasar yang berasal dari konsumen minyak sawit ini, menjadi gambaran akan pesatnya pertumbuhan industri minyak makanan dan non makanan di dunia termasuk Indonesia.

Pasalnya, keberadaan minyak sawit sebagai minyak nabati terbesar dunia, juga menjadi substitusi bagi minyak nabati lainnya. Hampir semua minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku minyak makanan dan non makanan, telah menjadikan minyak sawit sebagai bahan baku substitusi yang digunakan industri minyak makanan dan industri turunannya, tatkala bahan baku minyak nabati utama yang digunakan mengalami hambatan suplainya.

Kondisi pasar global yang mengalami defisit pasokan akibat terjadinya perang Rusia dan Ukraina, memang tak dapat dianggap sepele. Lantaran, akibat adanya perang ini, berdasarkan analisa beberapa pakar pasar global, telah berpengaruh secara signifikan terhadap 34 negara di dunia. Pasalnya, keberadaan Rusia dan Ukraina sebagai pemasok minyak biji matahari di pasar global, mengalami hambatan hingga pemberhentian suplai pasokan ke pasar global.

Alhasil, dampak berkurangnya pasokan minyak nabati dari minyak biji matahari ini, berdampak langsung terhadap minyak sawit yang mengalami lonjakan permintaan pasar. Di sisi lain, kondisi pasar minyak sawit juga sering mengalami kenaikan harga jual, akibat melambatnya produksi akibat iklim dan sebagainya. Keterbatasan produksi ini, secara langsung berdampak terhadap lonjakan kenaikan harga jual produk minyak sawit dan turunannya.

Di sisi lain, problematika kenaikan harga jual minyak sawit mentah (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku bioenergi yaitu biodiesel, mengalami kondisi serupa walau tak sama. Lantaran sebagai program mandatori pemerintah, biodiesel berdampak langsung terhadap penghematan devisa negara. Kendati ada persoalan harga jual, dapat ditopang melalui pemanfaatan dana BPDPKS sebagai insentif biodiesel.

Diungkapkan Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko), Khadikin, saat ini Indonesia masih menjadi episentrum negara produsen dan konsumen minyak sawit dunia, menjadi tumpuan dalam dinamika pembentukan harga CPO Dunia karena mempunyai magnitude dalam sisi supply dan sisi demand.

Sementara kondisi aktual pasar minyak nabati dunia menunjukkan kerawanan tinggi dan sensitif terhadap perubahan lingkungan strategis. Khadiki mencontohkan, pada saat mulai invasi Rusia ke Ukraine, bulan April 2022 lalu harga CPO internasional meningkat RM 1.000/MT dalam kurun waktu 3 (tiga) hari.

“Hal ini disebabkan negara Ukraine merupakan produsen utama minyak biji bunga matahari (sunflower oil), yang menjadi barang kompetitor CPO asal negara tropis, utamanya Indonesia dan Malaysia,” katanya dalam acara dalam acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 13, bertajuk “Minyak Sawit: Sumber Pangan Dan Bioenergi Berkelanjutan”, yang diadakan media InfoSAWIT yang didukung BPDPKS, Kamis (13/4/2023) di Jakarta.

Demikian juga pada periode awal tahun 2023, dimana pasokan minyak nabati kompetitor CPO dunia, sudah mulai membaik, maka harga CPO global yang diharapkan terdongkrak pada awal tahun, lantaran masuk musim dingin di negara sub tropis, serta adanya Hari besar keagamaan, ternyata tidak menunjukan kenaikan signifikan.


“Hal ini perlu disikapi dengan memperkuat kebijakan sisi supply dan sisi demand pada level nasional, supaya dinamika harga tidak berpengaruh terhadap penerimaan penjualan Tandan Buah Segar (TBS) Sawit Petani (Smallholder),” tutur Khadikin.

Sebab itu saat ini, ungkap Khadikin, pemerintah sedang mendorong supaya Indonesia menjadi penentu harga CPO di dunia, terlebih Indonesia telah menjadi produsen utama minyak sawit global, dengan membentuk bursa komoditas.

Sementara diungkapkan, Kepala Divisi Pengembangan Biodiesel Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Nugroho Adi Wibowo, BPDPKS merupakan Badan Layanan Umum yang diberi tugas mengelola dan menyalurkan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Penyaluran Dana yang dilaksanakan BPDPKS berdasarkan kebijakan dan kewenangan yang ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga. Keberhasilan penyaluran termasuk dampaknya, sangat tergantung dari desain dan implementasi program tersebut.

“Untuk insentif biodiesel / B30 merupakan kebijakan dan kewenangan Kementerian ESDM. Desain pelaksanaan serta panduan pelaksanaan program ditetapkan oleh Kementerian ESDM sesuai Permen ESDM Nomor No.24 Tahun 2021,” katanya.

Lebih lanjut tutur Nugroho pemberian insentif biodiesel semenjak 2015 hingga Maret 2023 telah mencapai Rp 144,7 triliun. Dimana pemberian insentif tertinggi terjadi pada 2021 yang mencapai Rp 51 triliun, dan di 2022 turun menjadi Rp 34,5 triliun. “Namun yang perlu diketahui kontribusi pajak dari biodiesel yang dibayarkan melalui Ppn yang dibayarkan mencapai Rp 13,15 triliun,” katanya.

Tak hanya biodiesel, dukungan pendanaan insentif juga diberikan kepada industri minyak goreng sawit, yang mana telah sesuai Perpres No. 61 Tahun 2015 jo. Perpres No. 24 Tahun 2016 jo.Perpres No. 66 Tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, lantas Permendag No 03 Tahun 2022 tentang Migor Kemasan (Kemasan Sederhana dan Kemasan), dan Permenperin no. 8 Tahun 2022 tentang Migor Curah.

Kata Nugroho terkait pembayaran insentif tersebut untuk minyak goreng curah, hingga Oktober 2022 telah dilaksanakan pembayaran percepatan migor curah sebesar 80% dengan jumlah pembayaran Rp 62 miliar untuk 12.479.534 kilogram kepada 10 pelaku usaha, proses dilakukan tender Surveyor.



Sementera untuk minyak goreng kemasan, masih dalam proses penerbitan hasil verifikasi oleh Kementerian Perdagangan R.I. yang akan digunakan BPDPKS sebagai dasar dalam proses pembayaran dana pembiayaan Minyak Goreng Kemasan dan kemasan sederhana.

“Termasuk masih menunggu pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung guna menjaga prinsip akuntabilitas dan good governance serta mengantisipasi potensi adanya konsekuensi hukum yang dapat terjadi dimasa yang akan datang,” katanya.

Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Dwi Sutoro mengungkapkan, permasalahan dasar atau fundamental minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia adalah bukan dalam hal supply dan kapasitas produksi, namun dalam masalah harga dan Distribusi. “Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan,” kata Dwi Sutoro.

Dimana statistik pemakaian CPO di Indonesia sebanyak 15% produksi CPO nasional atau sekitar 6,8 juta ton digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit, dibanding 55% yang di ekspor, dimana penggunaan untuk kebutuhan rumah tangga mencapai 62% dan non rumah tangga sebanyak 38%.

Sebab itu regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan untuk difokuskan pada volume yang terkait  industri minyak goreng sawit. Lantas kebijakan minyak goreng, harus  menjawab permasalahan terkait  harga dan distribusi  serta mekanismenya.

Pelaksanaan Kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan resiko dari kontinuitas ketersediaan migor bersubsidi, lantaran harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin) terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industri CPO.

Sementara harga Olein Internasional yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga CPO domestik menyebabkan tidak adanya kompensasi terhadap hilangnya margin pengusaha migor. Ini berbanding terbalik dengan harga Olein Domestik yang justru lebih menguntungkan menyebabkan insentif yang berupa izin ekspor tidak lagi menarik sehingga produsen memilih tidak memproduksi migor bersubsidi.

Lantas untuk skema distribusi saat ini masih didominasi swasta dan afiliasi dari produsen migor swasta dan menggunakan jalur distribusi normal.  “Sebab itu ke depan sebaiknya Distributor diambil alih oleh perusahaan/ badan usaha negara dan menggunakan jalur distribusi khusus migor bersubsidi,” usul Dwi.

Bagaimana peran PTPN? Kata Dwi, pihaknya saat ini sedang membangun kapasitas serta kapabilitas perusahaan dalam meningkatkan peran dan keterlibatan negara, caranya pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak goreng, yang mana PTPN saat ini sedang menyiapkan kapasitas industri minyak goreng sebagai bagian dari proyek strategis nasional dengan kapasitas 3 juta ton/tahun, serta kedua, menyiapkan pilot project minyak makan merah dengan kapasitas 10 ton/hari.
Head of Industry & Government Relations Apical, Manumpak Manurung, saat ini Apical menjadi salah satu produsen dengan penugasan untuk memproduksi minyakita dari pemerintah dengan volume tertinggi dari 10 produsen minyak goreng lainnya, mencapai 89.072 ribu ton/bulan atau sekitar 22 persen dari alokasi DMO minyakita sebanyak 450.000 ribu ton sebulan.

Sebab itu kata Manumpak, guna memastikan produk minyakita yang diproduksi Apical sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, pihaknya melakukan edukasi HET kepada masyarakat dengan mendorong masyarakat untuk melaporkan bila ada minyakita dijual dengan harga diatas HET ke saluran layanan yang telah disediakan perusahaan. “Supaya dapat dipantau lebih lanjut oleh pihak regulator,” tadas Manumpak.

FGD Sawit Berkelanjutan merupakan diskusi interaktif para pemangku kepentingan usaha kelapa sawit nasional, yang menghadirkan pembicara sebagai narasumber dari berbagai kalangan, untuk memberikan gambaran utuh mengenai keberadaan minyak sawit. Bertujuan memberikan pemahaman yang benar mengenai keberadaan dan kontribusi minyak sawit, bagi negara, sosial dan lingkungannya.
Diskusi Sawit Bagi Negeri mendapatkan dukungan pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Holding Perkebunan Nusantara dan Apical, dengan mitra strategis Media InfoSAWIT dan Palm Oil Magazine. Diskusi yang merangkul para pemangku kepentingan minyak sawit seperti pemerintah, pelaku usaha, periset, organisasi, aktivis sosial dan lingkungan serta pihak lainnya, untuk berdiskusi membangun minyak sawit Indonesia yang lebih baik.

 

Sumber