Kelapa Sawit Sebagai Sumber Kesejahteraan Petani dan Desa
Kontribusi industri kelapa sawit terhadap ekonomi nasional tercermin dari peningkatan pendapatan petani dan perkembangan ekonomi desa.
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor unggulan dalam perekonomian Indonesia. Saat ini sektor tersebut menjadi sumber pendapatan bagi petani sawit serta memberikan harapan bagi pembangunan desa di Tanah Air.
PASPI (2025) dalam jurnal berjudul 21 Isu Industri Sawit dalam Isu Ekonomi menjelaskan bahwa kontribusi industri kelapa sawit terhadap ekonomi nasional tercermin dari peningkatan pendapatan petani dan perkembangan ekonomi desa. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai kontribusi positif sektor sawit terhadap peningkatan pendapatan petani dan perkembangan ekonomi desa.
Peningkatan Pendapatan Petani. Studi PASPI (2014, 2022) melaporkan bahwa pendapatan petani sawit lebih tinggi dan tumbuh lebih cepat apabila dibandingkan dengan pendapatan petani non-sawit. Berbagai penelitian (Euler et al., 2016; Qaim et al., 2020; Apresian et al., 2020; Chrisendo et al., 2021) juga menegaskan bahwa pendapatan petani sawit melampaui pendapatan petani komoditas lain.
Stern Review (World Growth, 2011) melaporkan bahwa pendapatan petani sawit berkisar antara US$960 hingga US$3.340 per hektare atau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan petani karet (US$720 per hektare), padi (US$280 per hektare), ubi kayu (US$190 per hektare), dan kayu (US$1.099 per hektare).
Penelitian Syahza et al. (2021) mengungkapkan, rata-rata pendapatan petani sawit di Riau pada usia tanaman yang optimal mencapai Rp6,4 juta per bulan untuk kepemilikan lahan 2-4 hektare atau sekitar Rp2,1 juta per hektare per bulan. Peningkatan pendapatan tersebut terus berlanjut seiring pertambahan usia tanaman kelapa sawit (Budidarsono et al., 2013).
Petani sawit mengalami kenaikan pendapatan sebesar 200-300 persen setelah lima tahun berbudidaya, meningkat menjadi 400-1.300 persen pada umur 5-10 tahun, dan mencapai 2.200-25.000 persen ketika tanaman berusia lebih dari 10 tahun. Temuan ini menunjukkan bahwa pendapatan petani sawit bersifat berkelanjutan dan meningkat secara konsisten.
Selain lebih tinggi, pendapatan petani sawit lebih stabil karena diperoleh secara rutin setiap bulan melalui penjualan tandan buah segar atau TBS (Balde et al., 2019; Apresian et al., 2020). Stabilitas pendapatan tersebut tercermin dari kemampuan petani dalam membayar pinjaman lebih cepat dari waktu jatuh tempo (Susila, 2004; Feintrenie et al., 2009; Rist et al., 2010).
Pendapatan petani sawit yang terbukti meningkat lebih tinggi, tumbuh lebih cepat, serta lebih berkelanjutan apabila dibandingkan dengan petani komoditas lain tersebut turut menciptakan kelompok masyarakat berpendapatan menengah di kawasan pedesaan.
Perkembangan Ekonomi Desa. Pengembangan perkebunan kelapa sawit secara langsung menarik investasi baru ke daerah terisolasi di pedesaan sehingga mampu mengubah wilayah tertinggal menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia.
Hasil studi PASPI (2014) dan Hariyanti et al. (2022) menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi minyak sawit (crude palm oil atau CPO) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) di daerah-daerah sentra sawit. Pertumbuhan perekonomian daerah bahkan menunjukkan respons yang lebih besar apabila dibandingkan dengan peningkatan produksi CPO.
Studi PASPI (2022) juga menemukan bahwa daerah sentra sawit mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih cepat apabila dibandingkan dengan daerah non-sentra sawit.
Adapun, Kasryno (2015) mengatakan bahwa provinsi sentra sawit seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur memiliki tingkat pertumbuhan PDRB lebih tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi dengan luas perkebunan sawit yang lebih kecil seperti Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi.
Perkebunan kelapa sawit terbukti memberikan dampak signifikan terhadap kinerja ekonomi daerah dengan pertumbuhan PDRB yang relatif tinggi (Bunyamin, 2008; Budidarsono et al., 2013; Apresian et al., 2020).

































