Kelapa Sawit Bukan Komoditas yang Rakus Air!

Untuk memojokkan industri sawit, LSM anti-sawit beserta jejaringnya membangun opini di masyarakat global bahwa perkebunan kelapa sawit adalah tanaman yang rakus air. Sehingga pengembangan perkebunan sawit akan membuat daerah yang bersangkutan kekeringan.
Fenomena anomali iklim kekeringan El Nino yang sering terjadi di dunia, termasuk di Indonesia juga dijadikan sebagai opini yang mendukung kampanye hitam (black campaign) terkait kebun sawit adalah tanaman yang rakus air. Tudingan ini tentu tidak benar.
Tanaman kelapa sawit justru menjadi salah satu tanaman yang tergolong hemat air, baik untuk pertumbuhan maupun untuk produksi. Berikut faktanya.
Semua jenis tanaman tentu saja memerlukan air dalam pertumbuhannya. Komponen air merupakan bagian terbesar dari tubuh tanaman (juga hewan dan manusia). Tumbuhan yang lebih besar pasti memiliki kebutuhan air yang lebih banyak dibandingkan tumbuhan berukuran kecil. Namun belum tentu tumbuhan kecil lebih efisien menggunakan air dibandingkan tumbuhan yang besar (PASPI, 2021 dalam laporan berjudul Kebun Kelapa Sawit: Hemat Air dan Lestarikan Cadangan Air Tanah).
Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika Barat yang tidak melimpah air seperti daerah tropis. Oleh karena itu, melalui adaptasi ekofisiologis yang panjang, tanaman kelapa sawit sesunguhnya memiliki struktur morfologi yang menghemat air dan menyimpan cadangan air (PASPI, 2021).
Hasil penelitian Pasaribu et.al (2012) menunjukkan, persentase nilai evapotranspirasi yang terjadi di perkebunan kelapa sawit yakni sebesar 40 persen dari curah hujan tahunan. Persentase nilai evapotranspirasi tersebut lebih kecil jika dibandingkan mahoni yang sebesar 58 persen dan pinus 65 persen. Untuk diketahui, evapotranspirasi adalah proses penguapan air dari permukaan tanah, tumbuhan, dan organisme hidup ke atmosfer.
Sebenarnya, kebutuhan air untuk berbagai tanaman ini sudah lama diteliti oleh para ahli. Salah satunya adalah Coster (1938) dalam penelitian berjudul Superficial Runoff and Erosion on Java yang diolah PASPI (2021) yang meneliti kebutuhan air beberapa tanaman jauh sebelum kebun sawit berkembang.
Dengan menggunakan indikator evapotranspirasi tanaman, studi Coster menemukan bahwa tanaman bambu dan lamtoro tergolong boros air dengan kebutuhan sekitar 3.000 mm per tahun. Kemudian disusul oleh tanaman akasia sebesar 2.400 mm per tahun dan sengon sebesar 2.300 mm per tahun.
Tanaman pinus dan karet memiliki tingkat evapotranspirasi sekitar 1.300 mm per tahun, sedangkan tingkat evapotranspirasi kebun sawit hanya sekitar 1.104 mm per tahun.
Selama ini tanaman pinus, akasia, dan sengon populer dijadikan sebagai tanaman hutan, baik dalam program reboisasi maupun hutan tanaman industri. Tanaman kehutanan tersebut ternyata relatif boros menggunakan air. Sementara tanaman sawit yang selama ini dituduh boros air, justru jauh lebih hemat dibandingkan tanaman hutan tersebut. Bahkan sawit juga lebih hemat air dibandingkan tanaman karet (Pasaribu et.al., 2021 dalam studi berjudul Neraca Air di Perkebunan Kelapa Sawit di PPKS Sub Unit Kalimantan Kabun Riau).
Penelitian Gerbens-Leenes et.al., (2009) yang berjudul The Water Footprint of Energi from Biomass: A Quantitative Assesment and Consequences of an Increasing Share of Bioenergy Supply, menemukan hal yang menarik tentang tanaman apa yang paling hemat air dalam menghasilkan bioenergi.
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa kelapa sawit termasuk paling hemat (setelah tebu) dalam menggunakan air untuk setiap giga joule (GJ) bioenergi yang dihasilkan.
Penelitian tersebut mengungkap, tanaman penghasil bioenergi paling rakus air adalah rapeseed, disusul oleh kelapa, ubi kayu, jagung, kedelai, dan tanaman bunga matahari. Untuk menghasilkan setiap giga joule bionergi (minyak), tanaman rapeseed (tanaman minyak nabati Eropa) memerlukan 184 m3 air.
Sementara kelapa yang juga banyak dihasilkan dari Indonesia, Filipina, dan India, rata-rata memerlukan 126 m3 air. Ubi kayu (penghasil etanol) rata-rata memerlukan sekitar 118 m3 air. Sedangkan kedelai yang merupakan tanaman minyak nabati utama di Amerika Serikat, memerlukan rata-rata sebanyak 100 m3 air.
Tebu dan kelapa sawit ternyata paling hemat dalam menggunakan air untuk setiap bioenergi yang dihasilkan. Untuk setiap GJ bioenergi (minyak) yang dihasilkan, kelapa sawit hanya menggunakan air sebanyak 75 m3.
Hasil penelitian tersebut juga semakin menegaskan bahwa kebun sawit merupakan tanaman yang ramah lingkungan dan merupakan bagian dari konservasi tanah dan air. Mengembangkan kebun sawit merupakan bagian dari cara melestarikan tanah dan air (PASPI, 2021).