Deforestasi Bukan Disebabkan Perkebunan Sawit
KALANGAN akademisi Indonesia kembali menegaskan kepada publik Eropa dan dunia bahwa kelapa sawit bukanlah penyebab langsung deforestasi.
KALANGAN akademisi Indonesia kembali menegaskan kepada publik Eropa dan dunia bahwa kelapa sawit bukanlah penyebab langsung deforestasi.
Dalam seminar bisnis bertajuk “Sustainable Peat Land and Palm Oil Contribution Toward the Achievement the UN SDGs” di Oslo, Norwegia, (28/6/2019), diungkapkan bahwa lahan sawit tidak dibangun di atas hutan, melainkan di lahan terdegradasi akibat penebangan untuk industri kayu maupun kebakaran hutan.
Penegasan tersebut disampaikan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa. Menurutnya, kesimpulan itu antara lain didasarkan pada pendekatan badan PBB Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang menyebutkan bahwa deforestasi merupakan hilangnya tutupan hutan secara permanen maupun temporer.
“Dari studi secara historis mengenai penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, terbukti bahwa satu tahun sebelum izin usaha perkebunan dikeluarkan, lahan-lahan tersebut digunakan untuk pertanian. Ini sejalan dengan analisis perkembangan tutupan lahan yang menunjukan bahwa lahan tersebut didominasi oleh semak-semak, lahan kosong, dan perkebunan. Merujuk pada definisi deforestasi dari FAO, jelas bahwa perkebunan sawit bukan hasil dari deforestasi,” ujar Yanto.
Menurutnya, jika perkebunan sawit yang berasal dari pengalihan hutan sekunder dikategorikan sebagai deforestasi, maka jumlah lahannya hanya berkisar 20-25% dari total lahan sawit yang ada. Sedangkan sisanya, 75%-80% merupakan “reforestasi” serta terjadi peningkatan produktivitas lahan yang terdegradasi. “Ini penting bukan hanya dilihat dari sisi ekonomi, tetapi juga untuk peningkatan stok karbon atau tingkat penyerapan CO2,” tegas Yanto.
Ia juga menyebutkan di negara-negara berkembang, konversi lahan untuk kepentingan pangan biasa terjadi. “Kegiatan konversi lahan demi kepentingan ekonomi dan keamanan pangan merupakan hal yang lumrah, terutama pada negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia.` Dalam seminar yang sama, dipaparkan pula peran penting sawit bagi perekonomian Indonesia dan dalam pencapaian agenda PBB Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Paparan disampaikan oleh Direktur Utama Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dono menegaskan bahwa Indonesia kini lebih peduli pada masalah keberlanjutan. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai tindakan untuk memastikan bahwa unsur keberlanjutan diterapkan dalam pengelolaan sektor kelapa sawit. “Kami sekarang lebih peduli pada keberlanjutan karena ini merupakan bagian dari hidup kami dan upaya ini terus kami lakukan,” ujar Dono.
Tindakan pemerintah yang dimaksud antara lain penerapan peraturan mengenai Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), moratorium dan penataan hutan primer dan lahan gambut, pencegahan kebakaran hutan, dan lain-lain. Bahkan, untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit, pemerintah telah menerapkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Melalui program PSR, produktivitas bisa ditingkatkan tanpa harus membuka lahan perkebunan baru. “Saat ini, pemerintah terus berupaya untuk memperkuat ISPO dan melanjutkan moratorium hutan primer dan lahan gambut,” papar Dono.
Seminar yang dibuka oleh Duta Besar RI untuk Kerajaan Norwegia Todung Mulya Lubis ini juga menghadirkan sejumlah pembicara lain, yakni Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, Ketua Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang, CEO 1st Norway Kristine Vergli Grant-Carlsen, Manager Corporate Communication Nestle Norway Axel Heiberg-Andersen, dan Guru Besar John Cabot University Prof. Pietro Paganini. ***