Perkembangan Positif Devisa Sawit di Indonesia

Industri kelapa sawit nasional berperan dalam menghasilkan dua jenis devisa sekaligus, yaitu devisa ekspor dan devisa substitusi impor.

Perkembangan Positif Devisa Sawit di Indonesia

Sebagai produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar di dunia, ekspor minyak sawit memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia (World Growth, 2011; Rifin, 2011, 2012; Edward, 2019; Rifin et al., 2020). Selain berkontribusi terhadap ekspor, minyak sawit juga dimanfaatkan untuk menghasilkan produk substitusi impor, yaitu biodiesel. Dengan demikian, industri kelapa sawit Indonesia berperan dalam menghasilkan dua jenis devisa sekaligus, yaitu devisa ekspor dan devisa substitusi impor (PASPI Monitor, 2022, 2024a, 2024b).

Devisa ekspor merupakan penerimaan devisa yang diperoleh dari net ekspor minyak sawit dan produk turunannya, sedangkan devisa substitusi impor merupakan penghematan devisa yang timbul akibat penggantian (substitusi) penggunaan solar fosil impor dengan biodiesel berbasis kelapa sawit.

PASPI Monitor (2025) dalam jurnal berjudul Devisa Sawit dalam Neraca Perdagangan Indonesia menjelaskan bahwa sejak tahun 2000, kebijakan perdagangan industri minyak sawit nasional berorientasi ekspor (export orientation). Melalui kebijakan berorientasi ekspor tersebut, industri kelapa sawit Indonesia berhasil mencatat peningkatan signifikan dalam volume maupun nilai ekspor minyak sawit secara berkelanjutan.

Hal ini terbukti dari data ekspor minyak sawit dan produk turunannya selama 24 tahun terakhir. Nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya meningkat secara signifikan dari US$1,1 miliar pada tahun 2000 menjadi US$21,6 miliar pada tahun 2010. Bahkan, devisa ekspor produk sawit mencapai rekor tertinggi pada masa pandemi Covid-19, yaitu sekitar US$39 miliar pada tahun 2022 (PASPI Monitor, 2023a).

Setelah itu, nilai devisa ekspor mengalami fluktuasi hingga pada tahun 2024 mencapai US$28,3 miliar. Besarnya devisa ekspor sawit tersebut dipengaruhi oleh volume ekspor, komposisi produk ekspor, serta harga minyak sawit dunia.

PASPI (2025) mengatakan bahwa terjadi perubahan positif atas komposisi ekspor dalam periode tahun 2011 hingga 2024. Pada tahun 2011, ekspor minyak sawit Indonesia masih didominasi oleh produk mentah (crude palm oil/CPO dan crude palm kernel oil/CPKO) dengan pangsa mencapai 52 persen. Namun, kemajuan program hilirisasi yang pesat dan signifikan mulai terlihat setelah tahun 2015, yaitu ketika kebijakan hilirisasi sawit domestik diintegrasikan dengan kebijakan perdagangan internasional melalui penerapan pungutan ekspor minyak sawit (PASPI Monitor, 2023b; 2023d; 2024b; 2025a).

Keberhasilan hilirisasi sawit domestik tersebut tercermin dari komposisi ekspor sawit Indonesia pada tahun 2024 yang didominasi oleh produk olahan sebesar 74 persen dan produk akhir sebesar 16 persen, sementara produk mentah hanya menyumbang 10 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas devisa ekspor produk sawit Indonesia meningkat karena komposisi ekspor kini lebih banyak terdiri dari produk olahan (refined dan palm oil-based products) dibandingkan produk mentah (crude).

Selain devisa ekspor sawit, Indonesia memperoleh devisa substitusi impor yang bersumber dari penghematan devisa impor solar fosil akibat penerapan program mandatori biodiesel di dalam negeri. Pengembangan biodiesel berbasis kelapa sawit dan kebijakan penggunaannya di pasar domestik telah dimulai sejak tahun 2006 (Sipayung, 2018).

Dalam kurun waktu 2015–2024, kebijakan mandatori biodiesel Indonesia menunjukkan perkembangan yang konsisten dari B15 (PSO) pada tahun 2015, meningkat menjadi B20 untuk seluruh sektor (PSO dan Non-PSO) pada tahun 2018, kemudian B30 pada tahun 2020, B35 pada tahun 2023, hingga B40 pada tahun 2024 (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023c; 2024c). Pemerintah Indonesia berencana menerapkan mandatori B50 pada tahun 2026 mendatang (PASPI Monitor, 2025b).

Devisa substitusi impor yang dihasilkan dari kebijakan mandatori biodiesel pada periode tersebut menunjukkan tren peningkatan meskipun relatif berfluktuasi. Nilainya meningkat dari sekitar US$0,3 miliar pada tahun 2015 menjadi US$8,3 miliar pada tahun 2022.

Kemudian nilai tersebut kembali meningkat mencapai US$8,1 miliar pada tahun 2024. Nilai devisa substitusi impor tersebut dipengaruhi oleh tingkat implementasi dan volume mandatori biodiesel serta harga solar fosil di pasar dunia.

Secara keseluruhan, devisa sawit yang terdiri atas devisa ekspor sawit dan devisa substitusi impor mengalami peningkatan signifikan dari sekitar US$18,9 miliar pada tahun 2015 menjadi US$36,4 miliar pada tahun 2024. Rekor tertinggi total devisa sawit tercatat pada tahun 2022 dengan nilai mencapai US$47,3 miliar.