Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Lumbung Vitamin A dan E
Tanaman kelapa sawit secara joint product memiliki potensi sebagai bahan baku industri farmasi.

Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan volume produksi crude palm oil (CPO) pada tahun 2024 mencapai sekitar 48 juta ton. Selain menghasilkan minyak, tanaman kelapa sawit secara joint product memiliki potensi untuk menghasilkan berbagai jenis fitonutrien (mikronutrien) yang bermanfaat sebagai bahan baku industri farmasi, khususnya dalam produksi vitamin, suplemen, maupun superfood.
PASPI Monitor (2021) dalam jurnal berjudul Kebun Sawit Lumbung Vitamin A dan Vitamin E mengatakan bahwa tanaman kelapa sawit merupakan salah satu sumber utama vitamin A dan vitamin E. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kumar dan Krishna (2014), kandungan vitamin A (beta-karoten) dalam minyak sawit mencapai sekitar 569 ppm, sedangkan kandungan vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) mencapai sekitar 1.367 ppm.
Berikut ini ulasan mendalam mengenai potensi pengoptimalan vitamin A dan E dari perkebunan kelapa sawit nasional yang dirangkum dari jurnal PASPI tersebut.
Vitamin A. Salah satu tantangan gizi mikro yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah pemenuhan kebutuhan vitamin A. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penduduk Indonesia yang mengalami kekurangan vitamin A mencapai sekitar 10 juta jiwa, yakni terdiri atas 37 persen anak balita, 17 persen perempuan hamil, dan 13 persen ibu menyusui (Wahyuniardi et.al., 2017). Kekurangan vitamin A berpotensi menimbulkan gangguan penglihatan hingga kebutaan serta meningkatkan risiko stunting bagi balita dan anak-anak.
Untuk memenuhi kebutuhan vitamin A, Indonesia melakukan impor produk tersebut dari berbagai negara. Volume impor produk vitamin A dan turunannya tercatat sebesar 227 ton pada tahun 2001 dan mengalami peningkatan hampir dua kali lipat menjadi 517 ton pada tahun 2020.
PASPI (2021) mengatakan Indonesia memiliki potensi produksi vitamin A dari minyak sawit mencapai sekitar 22,5 ribu ton berdasarkan data volume produksi minyak sawit nasional yang mencapai sekitar 45 juta ton CPO pada tahun 2020. Dengan teknologi yang tersedia, vitamin A yang terkandung dalam minyak sawit dapat diekstraksi dan diproduksi dalam skala industri (Andarwulan, 2020; Hutabarat, 2020). Hal ini memungkinkan vitamin A tersebut diakses oleh masyarakat Indonesia melalui berbagai bentuk produk turunan (consumer goods) yang siap dikonsumsi.
Kandungan vitamin A pada minyak sawit lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kandungan vitamin A pada bahan pangan yang jamak dianggap sebagai sumber vitamin A, seperti jeruk, wortel, pisang, dan lain-lain (PASPI, 2021). Minyak sawit mengandung vitamin A sekitar 15 kali lipat lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wortel. Bahkan, apabila dibandingkan dengan pisang, kandungan vitamin A pada minyak sawit hampir 100 kali lipat lebih besar (Hariyadi, 2019).
Selain itu, minyak sawit telah diakui secara global sebagai richest source of natural carotenoid dengan kandungan beta-karoten yang sangat tinggi (Nagendran et.al., 2000; Dauqan et.al., 2011).
Vitamin E. Kebutuhan vitamin E di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Vitamin E merupakan salah satu zat gizi esensial yang memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan tubuh manusia. Zat gizi ini berfungsi sebagai antioksidan, mencegah penuaan dini, menjaga kesehatan kulit, mendukung kesuburan reproduksi, mencegah aterosklerosis, berperan sebagai antikanker, hingga meningkatkan sistem imunitas tubuh.
Berbagai manfaat tersebut menyebabkan permintaan terhadap vitamin E di Indonesia sangat tinggi. Permintaan atas vitamin E tidak hanya datang dari industri farmasi (suplemen) dan industri pangan olahan (fortifikasi), tetapi juga dari industri kosmetik, termasuk produk skincare, make up, dan body care.
Untuk memenuhi kebutuhan vitamin E tersebut, Indonesia masih bergantung pada impor dari berbagai negara. Data menunjukkan bahwa total volume impor vitamin E dan produk turunannya meningkat signifikan dari 352 ton pada tahun 2001 menjadi 2.542 ton pada tahun 2020. Dengan demikian, terjadi kenaikan volume impor vitamin E dan produk turunan lebih dari delapan kali lipat selama periode 2001-2020.
PASPI (2021) mengatakan Indonesia memiliki potensi produksi vitamin E mencapai sekitar 61,5 ribu ton berdasarkan data volume produksi minyak sawit nasional yang mencapai sekitar 45 juta ton CPO pada tahun 2020. Potensi produksi vitamin E berbasis minyak sawit di dalam negeri dapat dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan sumber daya ini tidak hanya berpotensi memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga mengurangi ketergantungan terhadap impor sekaligus membuka peluang pengembangan industri hilir berbasis vitamin E di Tanah Air.
Minyak sawit mengandung vitamin E dalam jumlah yang cukup tinggi dan merupakan yang tertinggi apabila dibandingkan dengan minyak nabati lain, termasuk lemak hewani (Slover, 1971; Gunstone, 1989). Minyak zaitun yang sering dianggap sebagai makanan kesehatan atau superfood ternyata memiliki kandungan vitamin E yang jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan minyak sawit.
Seperti telah disampaikan di atas, kandungan vitamin E pada minyak sawit mencapai sekitar 1367 ppm. Adapun, kandungan vitamin E pada minyak zaitun hanya sebesar 51 ppm. Demikian pula, minyak sawit lebih unggul apabila dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai (958 ppm), minyak biji bunga matahari (546 ppm), hingga minyak jagung (782 ppm).
Selain itu, vitamin E dalam minyak sawit terdiri atas 20 persen tokoferol dan 80 persen tokotrienol. Keduanya berfungsi sebagai antioksidan yang berperan penting dalam menjaga kesehatan tubuh (Man dan Haryati, 1997).
Ulasan di atas menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit dapat dikatakan sebagai lumbung vitamin A dan E nasional. Perkebunan kelapa sawit tidak hanya berperan sebagai penghasil minyak nabati terbesar dan paling efisien di dunia, tetapi juga merupakan sumber vitamin A dan E yang melimpah (PASPI, 2021).
Perkebunan kelapa sawit juga mampu menyediakan pasokan vitamin A dan E secara relatif stabil dan berkesinambungan sehingga dapat memenuhi kebutuhan industri domestik. Dengan umur produksi mencapai lebih dari 25 tahun per siklus serta proses pemanenan minyak yang dilakukan setiap bulan sepanjang tahun, pemanenan vitamin A dan E dari kebun kelapa sawit sangat layak dilakukan dari segi keekonomian (PASPI, 2021).
Selain untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, minyak sawit berpotensi untuk memenuhi kebutuhan permintaan vitamin A dan E dari masyarakat global. Banyak negara berpendapatan rendah yang mengalami kekurangan vitamin A dan E. Peran tersebut dapat diwujudkan melalui penyediaan minyak goreng yang diperkaya vitamin A dan E atau produk superfood berbasis kelapa sawit lain, seperti red palm oil (Schrimsow, 2000).