Peran Positif Devisa Sawit dalam Neraca Perdagangan Indonesia

Industri kelapa sawit nasional memiliki peran positif terhadap peningkatan surplus neraca perdagangan Indonesia.

Peran Positif Devisa Sawit dalam Neraca Perdagangan Indonesia

Neraca perdagangan (trade account) merupakan salah satu indikator utama dalam pengelolaan makroekonomi. Stabilitas neraca perdagangan mencerminkan kondisi perekonomian nasional secara keseluruhan. Surplus neraca perdagangan akan dapat meningkatkan perolehan devisa yang berperan positif sebagai sumber injeksi bagi perekonomian Indonesia.

Salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap peningkatan surplus neraca perdagangan Indonesia adalah industri kelapa sawit. Selama periode tahun 2015 hingga 2024, tercatat surplus neraca perdagangan nasional meningkat dari US$7,5 miliar (sekitar Rp125 triliun) menjadi US$31 miliar (sekitar Rp518 triliun). Tanpa industri sawit, neraca perdagangan Indonesia bisa mengalami defisit sekitar US$5 miliar (sekitar Rp84 triliun) hingga US$11 miliar (sekitar Rp184 triliun) per tahun (PASPI Monitor, 2025).

PASPI Monitor (2025) dalam jurnal berjudul Devisa Sawit dalam Neraca Perdagangan Indonesia mengatakan bahwa devisa sawit mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia melalui dua jalur yakni jalur neraca perdagangan migas dan jalur neraca perdagangan nonmigas. Berikut ini ulasan mengenai kontribusi devisa sawit terhadap neraca perdagangan melalui kedua jalur tersebut.

Jalur Neraca Perdagangan Migas. Devisa kelapa sawit melalui jalur neraca perdagangan migas dihasilkan oleh penghematan impor solar fosil sebagai dampak dari implementasi program mandatori biodiesel di dalam negeri.

Selama periode tahun 2015–2024 apabila program mandatori biodiesel tidak diterapkan maka defisit neraca perdagangan migas diperkirakan mencapai US$6,4 miliar (sekitar Rp107 triliun) pada tahun 2015 dan meningkat menjadi US$28,5 miliar (sekitar Rp476 triliun) pada tahun 2024. Dengan penerapan program mandatori biodiesel, defisit tersebut berhasil ditekan menjadi US$6,1 miliar (sekitar Rp102 triliun) pada tahun 2015 dan US$20,4 miliar (sekitar Rp341 triliun) pada tahun 2024 (PASPI Monitor, 2025).

Selama periode tersebut, kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia mengalami perkembangan signifikan. Pada tahun 2015 implementasi mandatori biodiesel dimulai dengan B15 yang diterapkan pada sektor public service obligation (PSO). Kemudian kebijakan tersebut ditingkatkan menjadi B20 untuk seluruh sektor (PSO dan non-PSO) pada tahun 2018.

Selanjutnya, peningkatan kembali dilakukan hingga mencapai level B30 pada tahun 2020, B35 pada tahun 2023, dan B40 pada tahun 2024 (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023c; 2024c). Rencananya, Indonesia akan menerapkan mandatori B50 pada tahun 2026 mendatang (PASPI Monitor, 2025b).

Dengan demikian, kebijakan mandatori biodiesel sebagai substitusi impor solar fosil terbukti mampu mengurangi defisit neraca perdagangan migas Indonesia secara konsisten setiap tahun.

Jalur Neraca Perdagangan Nonmigas. Devisa kelapa sawit melalui jalur neraca perdagangan nonmigas dihasilkan oleh kebijakan perdagangan industri minyak sawit yang berorientasi ekspor. Sebagai produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar di dunia (PASPI, 2023; USDA, 2025), ekspor minyak sawit memiliki peranan strategis bagi perekonomian Indonesia (World Growth, 2011; Rifin, 2011, 2012; Edward, 2019; Rifin et al., 2020).

Tanpa kontribusi devisa ekspor minyak sawit maka neraca perdagangan nonmigas Indonesia akan mengalami defisit sebesar US$5 miliar (sekitar Rp84 triliun) pada tahun 2015 dan hanya mencatatkan surplus relatif kecil pada tahun 2024 sebesar US$23,1 miliar (sekitar Rp386 triliun).

Dengan adanya penerimaan devisa ekspor sawit, kinerja tersebut berubah signifikan sehingga neraca perdagangan nonmigas mencatatkan surplus yang jauh lebih besar, yaitu US$13,6 miliar (sekitar Rp227 triliun) pada tahun 2015 dan US$51,4 miliar (sekitar Rp858 triliun) pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan bahwa devisa ekspor sawit secara konsisten memperkuat posisi neraca perdagangan nonmigas Indonesia setiap tahun.

Gabungan dampak dari substitusi impor serta penerimaan devisa ekspor sawit menghasilkan surplus yang signifikan pada total neraca perdagangan Indonesia. Surplus tersebut meningkat dari US$7,5 miliar (sekitar Rp125 triliun) pada tahun 2015 menjadi US$31 miliar (sekitar Rp518 triliun) pada tahun 2024.

Bahkan, pada tahun 2022 Indonesia mencatatkan surplus tertinggi sepanjang periode tersebut yaitu sebesar US$52,4 miliar (sekitar Rp875 triliun) (PASPI Monitor, 2023a). Kinerja positif tersebut terutama ditopang oleh ekspor sawit dan penghematan devisa akibat implementasi biodiesel berbasis kelapa sawit.

Oleh karena itu, keberadaan industri kelapa sawit nasional tidak hanya memperbaiki posisi neraca perdagangan tetapi juga memperkuat fondasi struktur perdagangan Indonesia secara berkelanjutan. Surplus tersebut berfungsi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru yang meningkatkan kapasitas perekonomian nasional dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan (Palley, 2012; Kang, 2015; Murugesan, 2019).