Kontribusi Besar Industri Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Aspek Ketenagakerjaan

Seperti apa fungsi sosial terkait penyerapan tenaga kerja di sektor industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia?

Kontribusi Besar Industri Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Aspek Ketenagakerjaan
Para tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit. Pertumbuhan sektor industri kelapa sawit senantiasa disertai dengan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri.

Salah satu multifungsi pertanian (Aldington, 1998; Dobbs and Petty, 2001; Moyer dan Josling, 2002; Harwood, 2003; Jongeneel dan Slangen, 2004, Huylenbroeck, et.al, 2007) yang melekat pada pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit, adalah fungsi sosial.

Fungsi sosial perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada dampaknya dalam pembangunan pedesaan, penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan kemiskinan.

Tidak hanya pada level desa, fungsi sosial tersebut juga dapat dinikmati pada level daerah, nasional, maupun global. Lantas, seperti apa fungsi sosial terkait penyerapan tenaga kerja di sektor industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia tersebut?

Industri sawit merupakan sektor industri yang padat karya dan berbasis pada sumber daya lokal. Oleh karena itu, tidak heran jika pertumbuhan sektor industri sawit akan disertai dengan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri (PASPI, 2025).

Sektor perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja secara langsung di kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perkebunan kelapa sawit memiliki indeks multiplier tenaga kerja sebesar 2,6. Artinya, perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan kesempatan kerja dalam perekonomian nasional sebesar 2,6 kali dari tenaga kerja yang terserap dalam industri sawit (PASPI, 2014).

Pada sektor perkebunan, masyarakat pedesaan terlibat secara langsung, baik sebagai petani sawit maupun karyawan perusahaan perkebunan. Selain itu, tenaga kerja pedesaan juga terserap pada sektor ekonomi lain yang memiliki keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan perkebunan kelapa sawit seperti sektor perdagangan, transportasi dan pengangkutan, sektor makanan-minuman, dan sektor lainnya.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2022), secara umum, jumlah tenaga kerja yang terserap pada industri sawit mengalami peningkatan yakni dari 12,5 juta orang pada tahun 2015 menjadi sekitar 16,5 juta orang pada tahun 2024.

Dari 16,5 juta tenaga kerja yang terserap pada perkebunan kelapa sawit Indonesia tersebut, sebanyak 9,7 juta orang merupakan tenaga kerja langsung. Angka tersebut terdiri dari 5,2 juta orang tenaga kerja perkebunan kelapa sawit rakyat dan 4,5 juta karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit negara-swasta.

Sisanya yakni sekitar delapan juta orang merupakan tenaga kerja tidak langsung yang bergerak pada kegiatan pengangkutan TBS/CPO, supplier pupuk dan alat-alat perkebunan, supplier alat-alat kantor, dan kegiatan lainnya yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit.

Penyerapan tenaga kerja tersebut masih belum memperhitungkan tenaga kerja yang terserap pada sektor hulu, hilir, dan jasa terkait dalam sistem dan usaha agribisnis sawit (PASPI Monitor, 2017). Kegiatan hilir sawit, misalnya pabrik oleofood, oleokimia, bioenergi, dan kegiatan perdagangan dari distribusi hingga retail, jelas menyerap tenaga kerja yang cukup besar.

Sektor industri perkebunan sawit juga ramah terhadap gender tenaga kerja. Dalam artian, pembagian kerja antara pekerja perempuan atau laki-laki sesuai dengan core competency yang merupakan bentuk bagian perlindungan dari tenaga kerja itu sendiri.

Mengingat pekerjaan budidaya di perkebunan kelapa sawit membutuhkan kekuatan fisik level tertentu yang dinilai terlalu berat untuk perempuan, membuat pekerjaan tersebut lebih didominasi oleh pekerja laki-laki (Villamor et.al., 2015; Mehraban et.al., 2022).

Dalam laman PASPI (2025) berjudul 19 Mitos Industri Sawit dalam Isu Sosial dijelaskan, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia dari segi ideologi hingga kebijakan telah menganut perlindungan dan kesetaraan gender.

Komitmen stakeholder sawit dalam mewujudkan kesetaraan gender pada perkebunan kelapa sawit tertuang dalam sistem sertifikasi ISPO (Perpres Nomor 44 Tahun 2020 dan Permentan Nomor 38 Tahun 2020) serta Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Inpres No. 6 Tahun 2019).

Dalam regulasi tersebut telah memasukkan prinsip non-diskriminasi gender (berbasis jenis kelamin) dan responsif gender. Perwujudan kesetaraan gender juga telah menjadi komitmen bersama antara asosiasi pelaku sawit dengan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, dan NGO pegiat ketenagakerjaan/gender.

Komitmen tersebut tertuang dalam panduan teknis perlindungan hak pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit dalam Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan. Panduan teknis tersebut kemudian diturunkan menjadi regulasi perlindungan hak pekerja perempuan di level perusahaan.

Secara umum, terdapat dua komponen penting yang tertuang dalam regulasi perusahaan dalam meningkatkan kesetaraan dan perlindungan gender pada pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit (GAPKI, 2021).

Pertama, kesetaraan gender dalam kesempatan kerja dan perlindungan dari diskriminasi gender. Hal ini ditunjukkan dari keterwakilan pekerja perempuan di seluruh lini perusahaan baik di level kebun maupun kantor administrasi.

Pekerja perempuan di bagian operasional kebun bertugas sebagai tenaga kerja penyemprotan, pemupukan, perawatan, pembibitan, dan pemungut brondol. Pekerja perempuan juga menempati posisi strategis di kantor administrasi sebagai auditor internal, unit K3, komisi persetujuan, bagian keanggotaan, sekretaris, dan bendahara.

Perusahaan juga mendorong pekerja perempuan untuk melamar pada posisi pemimpin/top-management di perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut serta mendorong transparansi dalam rekrutmen pekerja.

Kedua, perlindungan terhadap hak pekerja perempuan. Regulasi perusahaan harus melindungi hak dasar perempuan (seperti cuti hamil, cuti melahirkan, cuti keguguran, cuti haid, kesempatan menyusui) dan hak pekerja perempuan (kesempatan mendapatkan upah, istirahat, pelatihan kompetensi, promosi, dan jaminan yang sama).

Perusahaan juga harus menyediakan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi hak-hak pekerja perempuan, misal dengan menyediakan ruang laktasi, fasilitas penitipan anak, fasilitas klinik dan pemeriksaan kesehatan rutin, fasilitas sarana sanitasi yang bersih, ruang istirahat layak, penyediaan alat pelindung diri (APD) dan peralatan kerja (termasuk otomasi) yang aman hingga subsitusi pekerjaan alternatif untuk perempuan hamil dan menyusui.

Bentuk komitmen perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam perlindungan pekerja perempuan adalah mulai dibentuknya komite gender. Komite gender merupakan wadah pekerja perempuan bersuara memberikan masukan kepada manajemen perusahaan untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan, perlindungan, dan pemberdayaan perempuan.

Selain itu, komite gender juga memberikan perlindungan pekerja perempuan dari pelecehan seksual dan kekerasan.

Komitmen perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam memenuhi dan melindungi hak-hak pekerja perempuan ditunjukkan salah satunya dengan tingkat kepuasan kerja pekerja perempuan yang bersangkutan.

Selain kompensasi dan insentif ekonomi (Bahruni, 2015; Kamaruddin et.al., 2016; Hee et.al., 2019), terpenuhinya kebutuhan dan perlindungan hak dasar perempuan (cuti haid, cuti melahirkan, dan hak lainnya), tidak adanya diskriminasi, serta pemberian fasilitas layanan kesehatan dan keselamatan, membuat pekerja perempuan di perusahaan perkebunan kelapa sawit memiliki kepuasan kerja yang relatif tinggi dibandingkan dengan pekerja laki-laki (Rahman dan Hidayat, 2014; Siahaan, 2022).

Tingkat kepuasan kerja pada pekerja perempuan yang relatif tinggi tidak mungkin terwujud jika terjadi diskriminasi gender dan pelanggaran hak-hak perempuan.