Kelapa Sawit dan Perjanjian IEU-CEPA

Dengan kesepakatan IEU-CEPA, hubungan perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa akan memasuki babak baru.

Kelapa Sawit dan Perjanjian IEU-CEPA
Ilustrasi buah kelapa sawit. Tuntutan utama Indonesia dalam perundingan IEU CEPA adalah agar Uni Eropa menghapus berbagai kebijakan non-tarif yang diberlakukan ke minyak sawit.

Setelah melalui hampir satu dekade proses perundingan, pemerintah Indonesia dan Uni Eropa (UE) akhirnya berhasil menyepakati Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen di Brussels, Belgia, pada 13 Juli 2025 lalu.

Negosiasi IEU-CEPA yang dimulai pada 18 Juli 2016 telah berlangsung selama 19 putaran hingga akhirnya tercapai kesepakatan pada Juli 2025. Kesepakatan prinsip ini menandai bahwa kedua belah pihak berhasil menyepakati seluruh bab dalam perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA).

Salah satu isu yang menjadi titik perhatian (standing point) bagi Indonesia dalam perundingan IEU-CEPA adalah soal minyak sawit. Uni Eropa merupakan salah satu pasar tradisional utama bagi ekspor produk sawit Indonesia dengan pangsa ekspor sebesar 11,8 persen selama periode 2020–2024 (ITC Trademap, 2025).

CSIS Indonesia (2021) dalam jurnal berjudul Memetik Keuntungan dari Perjanjian Ekonomi Transformatif: Studi mengenai Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement mencatat bahwa sejak tahun 2013, ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren penurunan. Secara rata-rata berjalan, ekspor sawit nasional ke Uni Eropa pada periode tahun 2017–2019 mengalami penurunan sekitar 13 persen atau setara dengan US$327 juta dibandingkan periode 2012–2013.

Data lain menunjukkan, volume ekspor minyak sawit dan produk turunan ke Uni Eropa menurun dari sekitar lima juta ton pada tahun 2020 menjadi hanya sekitar 3,4 juta ton pada tahun 2024 (ITC Trademap, 2025). Sehubungan dengan penurunan tersebut, salah satu  tuntutan utama Indonesia dalam perundingan IEU CEPA adalah agar Uni Eropa menghapus berbagai kebijakan non-tarif yang diberlakukan terhadap perdagangan minyak sawit.

PASPI Monitor (2025) dalam jurnal berjudul IEU-CEPA, Tarif Resiprokal Trump, dan Prospek Industri Sawit Indonesia mengatakan bahwa selama ini Uni Eropa menerapkan berbagai hambatan non-tarif terhadap minyak sawit dan produk turunan asal Indonesia, antara lain melalui kebijakan Renewable Energy Directives II Indirect Land Use Change (RED-II ILUC) (PASPI Monitor, 2019) hingga kebijakan terbaru berupa European Union Deforestation Regulation (EUDR) (PASPI Monitor, 2022a,b,c; 2023a,b,c,d; 2024a,b).

Dengan kesepakatan IEU-CEPA, hubungan perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa akan memasuki babak baru berupa perdagangan bebas. Hasil simulasi mengenai implementasi perdagangan bebas Indonesia-Uni Eropa (Damuri et.al., 2021; Friawan, 2023) menunjukkan bahwa apabila kebijakan tersebut diberlakukan secara penuh dengan tarif impor nol maka produk domestik bruto (PDB) riil Indonesia maupun Uni Eropa akan mengalami peningkatan.

Laju pertumbuhan PDB riil Indonesia diproyeksikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan Uni Eropa. Selain itu, ekspor Indonesia ke Uni Eropa diperkirakan meningkat sekitar 57,7 persen, sementara ekspor Uni Eropa ke Indonesia meningkat sekitar 76 persen.

Salah satu sektor yang berpotensi memperoleh keuntungan signifikan dari implementasi perdagangan bebas ini adalah sektor minyak nabati, khususnya industri minyak sawit. Apabila perdagangan bebas diberlakukan secara penuh dengan tarif impor nol serta penghapusan hambatan non-tarif maka terdapat peluang besar untuk meningkatkan ekspor minyak sawit dan produk turunan ke pasar Uni Eropa.

Dian Cahyaningrum (2025) dalam jurnal berjudul Peluang Industri Nasional PascaKesepakatan IEU-CEPA mencatat sejumlah peluang strategis bagi sektor industri nasional, khususnya industri kelapa sawit. Peluang tersebut meliputi:

(1) optimalisasi potensi ekspor,
(2) perluasan dan diversifikasi pasar ekspor,
(3) peningkatan daya saing nasional,
(4) penguatan daya kompetitif produk nasional di pasar global, serta
(5) penciptaan peluang strategis bagi pengembangan sektor industri nasional.

Peningkatan kinerja ekspor industri diproyeksikan memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional. Melalui implementasi IEU-CEPA, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa diperkirakan meningkat lebih dari 50 persen dalam kurun waktu tiga hingga empat tahun mendatang.

Selain itu, perjanjian ini diharapkan dapat memperkuat tren surplus perdagangan nasional yang sebelumnya telah tercatat, yakni sebesar US$4,5 miliar pada tahun 2024 dan US$2,33 miliar pada periode Januari–April 2025.

Dengan berlanjutnya tren positif tersebut, IEU-CEPA berpotensi untuk menciptakan efek berganda bagi perekonomian nasional, termasuk pembukaan lapangan kerja dalam skala besar dengan estimasi kebutuhan tenaga kerja mencapai sekitar satu juta orang (Cahyaningrum, 2025).