GenerasiSawit: Tidak Ada Perluasan Lahan Khusus Untuk Produksi Biodiesel Sawit

GenerasiSawit: Tidak Ada Perluasan Lahan Khusus Untuk Produksi Biodiesel Sawit
Foto: Talkshow GenSawit Corner "Benarkah Sawit dan Biodiesel Penyebab Deforestasi?" (Dok. Live Instagram GenerasiSawit.id)

Jakarta – Tudingan terhadap biodiesel dari sawit sebagai penyebab deforestasi ditanggapi oleh komunitas GenerasiSawit.id dalam Talkshow GenSawit Corner dengan tema “Benarkah Sawit dan Biodiesel Penyebab Deforestasi?” yang diselenggarakan pada Kamis, (28/10) di Jakarta.

“Informasi yang disampaikan tidak valid dan tidak akurat,” tegas koordinator komunitas GenerasiSawit.id Luthfi Harisma melalui keterangan tertulisnya menanggapi kampanye anti biodiesel dan sawit oleh beberapa pihak.

Luthfi Harisma mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas yang miliki banyak keunggulan kompetitif. Jadi, wajar jika banyak pihak anti sawit yang iri dengan kelapa sawit, “Anak muda harus membuka mata dan menyadari betapa pentingnya peran kelapa sawit, jangan mudah menerima dengan bulat informasi negatif tentang sawit” kata Luthfi.

Menurut Luthfi, data menunjukkan pada tahun 2015 s.d. 2020, laju deforestasi Indonesia stabil menurun dan bahkan turun tajam 75% di tahun 2019-2020, pada periode yang sama dimana Indonesia menerapkan mandatori biodiesel sawit B20 dan kemudian meningkat menjadi B30 (pencampuran 30% biodiesel sawit dan 70% minyak solar – red).

“Jadi jelas, tidak ada korelasi antara peningkatan konsumsi biodiesel dari sawit dengan peningkatan deforestasi,” lanjut Luthfi menerangkan.

Irma Rachmania, Ketua Bidang Pemasaran APROBI menambahkan, tidak ada penggunaan atau perluasan lahan khusus untuk produksi biodiesel sawit. “Kita menggunakan dari stock CPO yang sudah ada,” kata Irma.   

Sementara itu, petani sawit milenial, Djono Albar Burhan mengatakan, “dengan adanya B30, Indonesia bisa memaksimalkan penyerapan CPO dalam negeri. Dan yang paling penting, ending stock CPO yang menurun karena B30, dapat meningkatkan harga TBS di tingkat petani.”

“Jika dilihat dari harga TBS, harga Rp2.000 itu merupakan cita-cita petani sawit pada 2 – 3 tahun yang lalu, sementara sekarang, harga TBS sudah Rp3.000. Salah satunya karena biodiesel B30,” kata Djono.

Dijelaskan Djono, kelapa sawit tidak hanya menguntungkan korporasi besar, tetapi bahkan menguntungkan semua masyarakat Indonesia, terutama petani sawit itu sendiri.

Luthfi menyampaikan, dalam jangka panjang kekhawatiran deforestasi akibat biodiesel sawit juga tidak beralasan. “Saat ini berlaku ketentuan moratorium perluasan lahan sawit yang didalamnya juga diatur peningkatan produktifitas lahan,” kata Luthfi.

Ada program peremajaan sawit rakyat, yang ditujukan meningkatkan produktifitas kebun sawit rakyat yang sudah tidak produktif atau berusia tua. ”Dengan program peremajaan, kebun sawit rakyat dapat ditingkatkan produktifitasnya hingga 2 kali lipat, tanpa harus memperluas lahan kebun. Hasil inilah yang akan menjadi tambahan pasokan kebutuhan minyak sawit di masa datang,” papar Luthfi.

Pegiat lingkungan, Fransisca Simanjuntak menyampaikan bahwa banyak pihak yang tidak paham definisi hutan dan deforestasi, bahkan tidak kenal dengan kelapa sawit. “Profesor kehutanan pernah mengatakan, kebun sawit di Indonesia bukan dari hutan primer. Itu dari belukar, hutan sekunder, bukan hutan yang pohonnya gede-gede banget itu, enggak seperti itu,” ujar Fransisca.

Ditinjau dari aspek sustainability, kelapa sawit merupakan komoditas minyak nabati yang dituntut memiliki sertifikat berkelanjutan. Sementara minyak nabati lain seperti minyak kedelai, tidak dituntut demikian. “Ketika mereka menggunakan minyak kelapa sawit harus dinyatakan berkelanjutan, sedangkan untuk minyak zaitun, kedelai, mereka tidak menyebutkan minyak berkelanjutan. Inikan standar ganda sebenarnya” tegas Irma Rachmania.

Lalu pertanyaannya, mengapa biodiesel sawit masih menjadi sasaran black campaign oleh LSM anti sawit? Dikatakan Fransisca, 30 persen minyak yang ada pada B30 berasal dari tanaman kelapa sawit, yang melalui proses fotosintesis. “Sebagai tanaman, kelapa sawit berfotosintesis. Selama berfotosintesis, kelapa sawit sudah menyerap karbon.”

Kelapa sawit menghasilkan minyak yang bisa dipakai untuk mengurangi pemakaian batu bara dan minyak fosil yang dalam prosesnya tidak berfotosintesis dan tidak menyerap karbondioksida. “Jadi, siapa yang menyerap karbon? Ya, kelapa sawit,” tegas Fransisca.  

Melihat besarnya kontribusi sawit, Luthfi Harisma khawatir narasi negatif yang gencar terhadap sawit beresiko buruk bagi perkembangan ekonomi nasional dan daerah.

“Stigma negatif yang dilontarkan terhadap sawit secara terus menerus, berpotensi melemahkan upaya pemulihan ekonomi Indonesia khususnya di masa pandemi saat ini,” tegas Luthfi.

Kelapa sawit, menurut Luthfi, terbukti bertahan di masa sulit pandemi Covid-19. Hasil devisa ekspor sawit mampu mencapai Rp300 triliun per tahun, menyerap tenaga kerja dan petani hingga 16 juta orang, dan produk turunannya digunakan dalam barang konsumsi sehari-hari masyarakat sehingga harganya menjadi terjangkau.

Lutfi juga berpendapat bahwa stigma negatif tersebut dapat dimanfaatkan oleh negara-negara kompetitor Indonesia dalam persaingan minyak nabati dunia.

Isu deforestasi, kata Luthfi, telah digunakan negara-negara Uni Eropa untuk menghambat ekspor sawit ke wilayah mereka. Marak pula penggunaan label “No Palm Oil” pada produk-produk konsumsi di wilayah tersebut dengan alasan sawit berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan. “sayangnya, isu-isu tersebut justru bersumber dan digaungkan oleh bangsa kita sendiri,” ujar Luthfi.     

“Untuk itu, generasi muda harus satu suara, kuat dan teguh dalam memberikan edukasi dan literasi yang baik bagi masyarakat berdasarkan fakta dan data yang benar tentang sawit, dalam upaya mempertahankan sawit sebagai komoditas strategis, sehingga dapat terus berkontribusi bagi kemajuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia” pesan Luthfi mengakhiri paparannya. *** (Press Release Generasisawit.id/ANW)