Pengembangan Komoditas Kakao Melalui Dana Perkebunan

Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menyelenggarakan kegiatan In-Depth Interview bertemakan "Pengembangan Komoditas Kakao Melalui Dana Perkebunan" di Kantor Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), Jember, pada hari Kamis dan Jumat, tanggal 10 s.d 11 Juli 2025.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh masih terbatasnya data komoditas kakao yang dapat diandalkan untuk menentukan arah pengembangan komoditas kakao dan penyusunan model proyeksi harga kakao secara akurat, dengan narasumber utama dari Puslitkoka serta berbagai stakeholder terkait.
Hari pertama diisi dengan sesi wawancara mendalam bersama Kepala Puslitkoka, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo), Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Jember, Tim Riset Kakao PT Mondelez Indonesia, serta Perwakilan Asosiasi Petani Kakao.
Dalam sesi tersebut, Ketua Umum Dekaindo, Bapak Soetanto, menyampaikan bahwa harga kakao terutama dipengaruhi oleh keseimbangan supply-demand, yang sejak tahun 2023 telah menyebabkan kenaikan harga lebih dari 400%, mencapai sekitar Rp 100.000 per kilogram di tingkat petani. Beliau menyoroti faktor logistik dan kebijakan ekspor-impor sebagai faktor penting lainnya. Khususnya, biji kakao Indonesia dikenakan bea masuk ke Uni Eropa, berbeda dari Afrika yang bebas bea masuk. Beliau juga menjelaskan pentingnya rasio stok terhadap kapasitas grinding sebagai indikator utama pergerakan harga kakao.
Ibu Dini Astika selaku Kepala Puslitkoka memaparkan data global komoditas kakao, harga kakao mengalami kenaikan signifikan dari USD 2.500 per ton menjadi puncaknya sekitar USD 10.000 per ton pada tahun 2024, dengan perkiraan harga akan bertahan tinggi di kisaran USD 7.000–8.000 per ton pada periode 2025–2027. Produksi global menunjukkan tren pertumbuhan jangka panjang, meski beberapa tahun terakhir terjadi stagnasi, yang menambah tekanan pada harga.
Di sisi lain, potensi pengembangan industri hilir kakao telah meningkat, meski industri produk akhir masih belum menunjukkan perbaikan signifikan. Sektor swasta mulai aktif melakukan pembinaan terhadap petani, meski jumlah perusahaan yang memiliki kebun sendiri masih terbatas.
Menurut diskusi, produksi kakao Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi tantangan, terutama karena stagnasi harga yang lama di sekitar USD 2,5/kg yang menyebabkan motivasi petani menurun dalam pemeliharaan tanaman kakao. Ditambah lagi, hama dan penyakit tanaman akibat perubahan iklim secara tidak langsung meningkatkan biaya produksi.
Di sisi lain, potensi pengembangan industri hilir kakao telah meningkat, meski industri produk akhir masih belum menunjukkan perbaikan signifikan. Sektor swasta mulai aktif melakukan pembinaan terhadap petani, meski jumlah perusahaan yang memiliki kebun sendiri masih terbatas.
Data produksi kakao masih memerlukan perbaikan akurasi karena adanya perbedaan angka antara Direktorat Jenderal Perkebunan dengan data dari sumber lain seperti Mondelez. Sebaliknya, data ekspor-impor dari Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai cukup akurat.
BPDP menyampaikan rencana dukungan strategis yang mengadopsi keberhasilan program kelapa sawit melalui empat pilar utama: peremajaan kebun kakao dengan benih unggul bersertifikat, pengembangan sarana dan prasarana berupa bantuan alat produksi dan akses transportasi, peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan teknis serta beasiswa pendidikan, dan penguatan riset inovasi untuk mendukung pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan hilir.
Sebagai kelanjutan, kegiatan hari pertama ditutup dengan kunjungan ke kebun budidaya kakao milik Puslitkoka untuk mengamati hasil dari pengembangan bibit unggul serta metode penanamannya. Hasil observasi menunjukkan bahwa metode yang digunakan sangat efektif, dengan mengombinasikan tiga varietas unggul yang mampu menghasilkan lebih dari 15 buah per pohon untuk tanaman berumur 3 tahun, dan lebih dari 20 buah per pohon untuk tanaman berumur 5 tahun atau lebih. Dengan metode ini, petani berpotensi menghasilkan minimal Rp 1 juta per pohon untuk pohon berumur 3 tahun, mengingat harga kakao sekitar Rp 100.000 per kilogram, dan setiap pohon bisa menghasilkan sekitar 10 kg biji kakao siap jual.
Hari kedua dilanjutkan dengan kunjungan ke kebun petani yang telah menerapkan bibit unggul dan metode penanaman hasil inovasi dari Puslitkoka. Temuan lapangan ini memperkuat pentingnya penggunaan bibit unggul serta penerapan metode tanam yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.
Dari segi industri, potensi pengembangan hilirisasi kakao masih menghadapi beberapa tantangan meskipun industri produk setengah jadi menunjukkan peningkatan. Industri produk akhir masih perlu didorong lebih lanjut. Upaya peningkatan produksi, stabilisasi harga, serta peningkatan kualitas produk kakao dan hilirisasi menjadi fokus utama dalam pengembangan komoditas ini, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana Perkebunan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2025 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja BPDP.
Melalui acara ini, BPDP menegaskan komitmennya untuk terus mendukung pengembangan komoditas kakao nasional secara berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan petani, serta memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak terkait.