Potensi Bahan Baku SAF Sawit di Indonesia
Indonesia tak hanya mengimplementasikan penggunaan SAF pada sektor penerbangan, tetapi juga berperan dalam pengembangan industri SAF nasional.

Indonesia dengan kekayaan sumber daya nabati memiliki potensi besar dalam pengembangan sustainable aviation fuel (SAF) atau bioavtur. Beberapa bahan baku (feedstock) yang potensial untuk produksi SAF seperti minyak sawit, PFAD, POME, minyak jelantah, hingga tandan kosong kelapa sawit.
PASPI Monitor (2025) dalam jurnal berjudul Pengembangan SAF Sawit untuk Langit yang Lebih Hijau mengatakan bahwa Indonesia tak hanya mengimplementasikan penggunaan SAF pada sektor penerbangan, tetapi juga berperan dalam pengembangan industri SAF nasional dengan memanfaatkan keberlimpahan sumber daya lokal. Salah satunya adalah kelapa sawit, termasuk minyak, produk samping (by-product), dan limbah. Berikut ini ulasan mengenai potensi bahan baku SAF yang tersedia di Indonesia.
Minyak Sawit. Minyak sawit menjadi salah satu bahan baku untuk produksi SAF. Secara kimiawi, asam lemak dari minyak sawit sangat mirip dengan susunan hidrokarbon pada bahan bakar fosil. Asam laurat pada minyak inti sawit dapat diubah menjadi undekana atau bioavtur (PASPI Monitor, 2020; 2025a). Dengan menggunakan teknologi hydro-processed esters and fatty acid (HEFA), asam lemak pada minyak inti sawit dapat diolah menjadi SAF.
Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) melalui program Grant Riset Sawit (GRS) telah memfasilitasi riset inovasi pengembangan bioavtur berbasis minyak sawit (PASPI Monitor, 2025a). Salah satunya riset Reksowardojo et.al. (2022) yang menghasilkan bioavtur sawit dengan blending rate sebesar 2,4 persen (J2.4) yang dapat digunakan untuk bahan bakar pesawat. Program GRS juga melahirkan inovasi teknologi Katalis Merah Putih untuk memproduksi biofuel termasuk untuk avtur (Subagjo et.al., 2021; 2022).
Hasil riset inovasi GRS tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan skala yang lebih besar. Pada tahun 2021, Kilang Pertamina Internasional (KPI) Cilacap berhasil memproduksi bioavtur dengan menggunakan feedstock minyak inti sawit atau refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO) dengan teknologi co-processing dan menggunakan Katalis Merah Putih (KPI, 2025). Tingkat pencampuran (blending rate) antara bioavtur tersebut dengan avtur fosil sebesar 2,4 persen atau J2.4.
Selanjutnya dilakukan uji penerbangan bioavtur J2.4 dengan menggunakan pesawat CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia pada Oktober 2021 dan Garuda Indonesia dengan rute penerbangan Jakarta-Solo pada Oktober 2023. Hasil uji terbang tersebut menunjukkan bahwa kinerja mesin stabil tanpa perbedaan signifikan dibandingkan avtur konvensional.
Keberhasilan tersebut menimbulkan optimistik dalam pengembangan bioavtur/SAF di Indonesia. Pengembangan bioavtur/SAF berbasis minyak inti sawit (J2.4) di Indonesia siap untuk masuk ke tahap komersialisasi. Faktor yang mendukung kesiapan tersebut adalah ketersediaan bahan baku dan teknologi HEFA serta kapabilitas eksisting kilang produksi coprocessing milik KPI sebesar 347 juta kiloliter per tahun (KPI, 2025). Produksi bioavtur/SAF J2.4 juga telah memenuhi sertifikasi teknis untuk aplikasi pada pesawat komersial dan telah lulus uji terbang.
Minyak Jelantah dan PFAD. Selain minyak sawit, terdapat produk olahan sawit yang berpotensi menjadi bahan baku SAF di Indonesia yakni minyak jelantah (used cooking oil/UCO) dan palm fatty acid distillate (PFAD). Minyak jelantah dianggap sebagai limbah dari penggunaan minyak goreng sawit, sedangkan PFAD dianggap sebagai by-product. Dengan status tersebut, pengurangan emisi siklus hidup dari SAF berbasis minyak jelantah atau PFAD lebih signifikan dibandingkan avtur fosil sehingga menjadikan kedua feedstock tersebut termasuk dalam positive list sebagai CORSIA eligible fuel dan mendapatkan sertifikasi keberlanjutan.
Sebagai bahan bakar pesawat yang berkelanjutan, SAF harus memenuhi kriteria berkelanjutan CORSIA sehingga dapat tergolong sebagai CORSIA eligible fuel (ICOA, 2025a; DGCA, 2025). Dalam publikasi ICAO (2025b), feedstock yang memenuhi kriteria sebagai CORSIA eligible fuel jika nilai life cycle assessment (default core LCA value) rendah dan tidak terkait secara langsung dengan konversi lahan (indirect land use change/ILUC) setelah 1 Januari 2008.
Penggunaan limbah seperti minyak jelantah sebagai bahan baku SAF memberikan keuntungan karena nilai default ILUC dianggap nol sehingga dapat mengurangi emisi lebih besar dibandingkan produk primer seperti minyak nabati atau lemak hewani (IATA, 2025).
Selain itu, SAF yang diproduksi dari minyak jelantah akan menghasilkan penghematan emisi karbon (carbon intensity) yang paling rendah dibandingkan SAF berbasis feedstock lain. Kemampuan reduksi emisi karbon dari penggunaan SAF berbasis minyak jelantah relatif tinggi yakni sekitar 84 persen dibandingkan avtur fosil (ICAO, 2021; Kemenko Marves, 2024).
Pemanfaatan limbah minyak jelantah ini juga mendukung ekonomi sirkuler sehingga nilai keberlanjutannya semakin tinggi. Hal tersebut yang melatarbelakangi upaya pemerintah untuk mengembangkan SAF berbasis minyak jelantah (UCO) di Indonesia.
Dengan potensi minyak jelantah yang berhasil dikumpulkan sebanyak tiga juta kiloliter (TNP2K, 2020; Prasetiawan, 2022) atau sekitar 3,9 juta ton per tahun pada tahun 2023 (Kemenko Marves, 2024) diharapkan mampu mendukung pengembangan SAF yang memenuhi kriteria berkelanjutan CORSIA.
Keunggulan lainnya adalah penggunaan teknologi jalur HEFA untuk mengolah minyak jelantah (maupun RBDPKO) menjadi SAF tergolong sebagai teknologi yang relatif matang, aman, dan sudah dikembangkan di Indonesia.
Selain minyak inti sawit, PFAD, dan minyak jelantah, produk sampingan (joint product) dari tanaman sawit juga masih menyimpan potensi sebagai alternatif feedstock SAF. Produk yang dimaksud adalah POME dan TKKS.
Palm Oil Mill Effluent (POME) dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Kedua feedstock tersebut tergolong sebagai kelompok limbah yang berpotensi memenuhi kriteria CORSIA eligible fuel dan mendapatkan sertifikasi keberlanjutan. Dengan menggunakan teknologi jalur HEFA, limbah POME yang kaya senyawa organik dan fraksi lipid berpotensi untuk diolah menjadi SAF.
Dengan menggunakan jalur teknologi fischer tropsch atau alcohol-to-jet, biomassa TKKS yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku SAF pada masa mendatang (PASPI, 2025).