Mengenal Pola Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Berbagai pola Perkebunan Inti Rakyat atau PIR menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam industri kelapa sawit nasional.
Industri kelapa sawit nasional memiliki sejarah yang sangat panjang. Tahun 1911 dianggap sebagai titik awal sejarah perkebunan kelapa sawit komersial di Indonesia. Kala itu perusahaan asal Belgia memulai usaha perkebunan kelapa sawit di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh). Pada tahun yang sama, perusahaan Jerman membuka perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu.
Langkah investor Belgia dan Jerman kemudian diikuti oleh investor Belanda dan Inggris. Jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit meningkat dari 19 perusahaan pada tahun 1916 menjadi sebanyak 34 perusahaan pada 1920. Pabrik kelapa sawit (PKS) pertama di Indonesia dibangun di Sungai Liput pada tahun 1918 dan disusul di Tanah Itam Ulu pada 1922.
Untuk mempercepat perkembangan industri kelapa sawit nasional, pemerintah Indonesia menetapkan sejumlah kebijakan penguatan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yaitu PBSN I (1977-1978), PBSN II (1981-1986), dan PBSN III (1986-1990). Melalui kebijakan tersebut, pemerintah menyediakan fasilitas kredit berbunga rendah bagi PBSN untuk merehabilitasi kebun eksisting maupun membuka perkebunan baru.
Kemudian pada tahun 1977, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Germany Government Donor Agency (KfW), serta International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk membangun proyek Nucleus Estate and Smallholders (NES) atau Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
Proyek PIR/NES tersebut menjadi model perkebunan kelapa sawit yang mengintegrasikan petani dengan korporasi. Keberhasilan uji coba NES/PIR (I–IV) kemudian melahirkan berbagai pola pengembangan perkebunan kelapa sawit berikutnya (Badrun, 2010; Sipayung, 2011; Kasryno, 2015; PASPI, 2022).
Tungkot Sipayung (2023) dalam buku berjudul Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global Edisi Keempat mengatakan bahwa berbagai pola PIR menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam industri kelapa sawit nasional. Kebijakan dan program PIR tidak hanya membentuk perkebunan rakyat peserta petani plasma, tetapi juga mendorong kelahiran petani non-plasma yang mengembangkan kebun kelapa sawit secara mandiri yang kemudian dikenal sebagai petani swadaya.
Sedikitnya ada lima pola pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yakni Pola PIR Khusus dan PIR Lokal, Pola PIR Transmigrasi, Pola PIR Koperasi Primer Para Anggota, Pola Kemitraan, dan Kebijakan Kemitraan Revitalisasi Perkebunan (PASPI, 2023). Berikut ini ulasan mengenai kelima pola pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut.
Pola PIR Khusus dan PIR Lokal. Program ini dimulai sejak tahun 1980 dan merupakan kelanjutan dari proyek NES/PIR yang didukung pembiayaan oleh Bank Dunia. Program ini kemudian dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah.
Pola PIR Transmigrasi. Pola PIR Transmigrasi atau PIR-Trans dimulai sejak tahun 1986. Pola ini menghubungkan perusahaan perkebunan negara dan swasta sebagai inti dengan masyarakat transmigran sebagai plasma.
Pola PIR Koperasi Primer Para Anggota. Pola PIR Koperasi Primer Para Anggota atau PIR-KPPA dimulai pada tahun 1996. Pola ini mengintegrasikan pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan kelembagaan koperasi. Perusahaan perkebunan berperan sebagai inti, sementara petani anggota koperasi menjadi plasma.
Pola Kemitraan. Pola ini dikembangkan sejak tahun 1999. Dalam pola ini, perusahaan perkebunan negara maupun swasta wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari total areal perkebunan untuk pengembangan kebun masyarakat. Modelnya dapat berupa pengelolaan satu siklus budidaya dalam satu manajemen perusahaan atau skema build, operate, and transfer (BOT) yang kemudian dialihkan kepada petani.
Kebijakan Kemitraan Revitalisasi Perkebunan. Kebijakan Kemitraan Revitalisasi Perkebunan atau Revit-Bun dimulai sejak tahun 2006. Kebijakan ini menyediakan fasilitas kredit dengan subsidi bunga yang dikaitkan dengan pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan.
Saat ini perkebunan kelapa sawit rakyat memegang peranan penting dalam industri sawit nasional. Pangsa luas areal perkebunan sawit rakyat meningkat signifikan dari sekitar dua persen pada tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2025.
Bahkan, perkebunan kelapa sawit rakyat Indonesia telah melampaui total areal perkebunan sawit di Malaysia yang merupakan negara produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia. Kondisi ini menunjukkan bahwa perkebunan sawit rakyat di Indonesia merupakan perkebunan petani terbesar di dunia.

































