Komparasi Biodiversity Loss pada Minyak Nabati

Minyak sawit merupakan minyak nabati paling rendah biodiversitity loss apabila dibandingkan dengan minyak nabati lain.

Komparasi Biodiversity Loss pada Minyak Nabati

Empat sumber minyak nabati utama dunia yaitu minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak biji bunga matahari, dan minyak sawit, menyumbang sekitar 85-90 persen dari total produksi minyak nabati global. Tercatat luas areal tanaman kedelai mencapai 127 juta hektare; rapeseed 35,5 juta hektare; bunga matahari 27,3 juta hektare; serta kelapa sawit 24 juta hektare (USDA, 2021).

Perubahan penggunaan lahan (land use change) dari fungsi awal menjadi area produksi tanaman minyak nabati secara alami berdampak pada perubahan keanekaragaman hayati (biodiversity). Dengan demikian, perubahan biodiversitas akibat land use change pada ekosistem global merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari. Dalam konteks tersebut, ekspansi perkebunan kelapa sawit yang berkembang pesat dalam dua dekade terakhir kerap disorot sebagai penyebab biodiversity loss (Fitzherbert et al., 2008; Koh and Wilcove, 2008; Vijay et al., 2016; Qaim et al., 2020).

PASPI Monitor (2021) dalam jurnal berjudul Benarkah Biodiversitas Loss untuk Memproduksi Minyak Sawit Lebih Tinggi dari Produksi Minyak Nabati Lain? mengatakan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati paling rendah biodiversitity loss apabila dibandingkan dengan minyak nabati lain. Konsumsi minyak sawit yang kemudian disubsitusi dengan peningkatan konsumsi minyak nabati lain sama artinya dengan meningkatkan biodiversity loss secara global.

PASPI Monitor (2021) menjelaskan perkebunan kelapa sawit dibangun di wilayah tropis yang kaya sinar matahari dan air. Berbeda dengan tanaman penghasil minyak nabati lain yang berukuran relatif kecil dan bersifat tanaman semusim, kelapa sawit merupakan tanaman tahunan berukuran besar, tumbuh cepat, dan memiliki tutupan kanopi mendekati 100 persen.

Kelapa sawit dibudidayakan dengan minimal pengolahan tanah (minimum tillage), pembersihan gulma minimal (minimum weeding), tidak memiliki ratoon, serta mampu berproduksi dalam satu siklus hidup selama 25-30 tahun. Selain menghasilkan minyak sawit sebagai produk utama, tanaman ini menghasilkan biomassa dalam jumlah besar.

Menurut data USDA (2021), produktivitas minyak sawit pada tahun 2020 mencapai sekitar 4,4 ton per hektare. Sebagai perbandingan, produktivitas minyak kedelai hanya 0,47 ton per hektare; minyak rapeseed 0,78 ton per hektare; dan minyak biji bunga matahari 0,7 ton per hektare. Dengan karakteristik tersebut, secara teoritis perkebunan kelapa sawit dapat mendukung keberadaan biodiversitas tertentu. Saat proses pembukaan lahan (land clearing), sebagian fauna mungkin hanya bermigrasi sementara dan kemudian kembali ke area perkebunan setelah kondisi stabil.

Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) melakukan studi komparasi biodiversity loss global antar-sumber minyak nabati utama global dengan mengukur perubahan tutupan lahan sebelum dan sesudah konversi. Studi tersebut menggunakan indikator jejak species richness loss (SRL) per liter minyak sebagai ukuran tingkat biodiversity loss.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SRL minyak kedelai 284 persen lebih tinggi apabila dibandingkan dengan minyak sawit, SRL minyak rapeseed 79 persen lebih tinggi, dan SRL minyak biji bunga matahari 44 persen lebih tinggi. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa minyak sawit merupakan komoditas minyak nabati dengan tingkat biodiversity loss paling rendah, sementara minyak kedelai merupakan yang tertinggi.

Penelitian tersebut juga memperlihatkan perbedaan tingkat SRL antar-negara produsen. Untuk minyak sawit, SRL di Indonesia, Malaysia, dan Thailand lebih rendah apabila dibandingkan dengan Nigeria. Untuk minyak kedelai, SRL di Brasil dan Argentina jauh lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat dan India.

Pada minyak rapeseed, Kanada dan Jerman memiliki SRL terendah, sedangkan India dan Australia tertinggi. Pada minyak biji bunga matahari, SRL terendah ditemukan di Prancis dan Amerika Serikat, disusul Rusia, Ukraina, dan China.

Temuan Beyer et al. (2020) menegaskan bahwa per liter minyak yang dihasilkan, minyak sawit memiliki dampak biodiversity loss paling rendah apabila dibandingkan dengan sumber minyak nabati utama lain. Dengan demikian, apabila pengurangan biodiversity loss menjadi pertimbangan utama dalam produksi dan konsumsi minyak nabati maka minyak sawit dapat dikategorikan sebagai pilihan yang paling berkelanjutan.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan temuan IUCN (2018) yang menyatakan bahwa kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati paling efisien dalam penggunaan lahan, sementara tanaman alternatif membutuhkan hingga sembilan kali lebih banyak lahan untuk menghasilkan volume minyak yang setara. Menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya justru berpotensi meningkatkan tekanan terhadap lahan dan memperburuk ancaman terhadap biodiversitas.