Kelapa Sawit Jadi Solusi Kebutuhan Minyak Nabati Global
Solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati global adalah dengan cara meningkatkan produktivitas minyak sawit.
Kebutuhan minyak nabati dunia pada masa mendatang diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi global. Menurut data FAO-OECD (2015), konsumsi minyak nabati dunia mencapai sekitar 19 kilogram per kapita. Konsumsi di Uni Eropa telah mencapai 24 kilogram per kapita, China 22 kilogram per kapita, Amerika Serikat 39 kilogram per kapita, dan India sekitar 15 kilogram per kapita.
Apabila diasumsikan konsumsi minyak nabati dunia pada tahun 2050 meningkat menjadi 26 kilogram per kapita dengan populasi global diproyeksikan mencapai 10 miliar jiwa maka kebutuhan minyak nabati pada masa tersebut diperkirakan mencapai 260 juta ton. Jumlah tersebut berarti terjadi tambahan sekitar 70 juta ton apabila dibandingkan dengan produksi tahun 2020.
PASPI Monitor (2021) dalam jurnal berjudul Industri Minyak Sawit Hemat Deforestasi Dunia? mengatakan bahwa solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia pada tahun 2050 mendatang tanpa menyebabkan deforestasi adalah dengan cara meningkatkan produktivitas minyak sawit. Hal tersebut berdasarkan studi Corley (2015) dan PASPI (2015) yang menyusun berbagai skenario penyediaan minyak nabati global untuk masa mendatang.
Pada Skenario S2 atau business as usual (BAU), keempat tanaman minyak nabati utama diasumsikan tetap berekspansi secara proporsional untuk memenuhi peningkatan konsumsi menuju tahun 2050. Keempat minyak nabati utama dunia tersebut adalah minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari. Pangsa keempat minyak nabati tersebut mencapai 85-90 persen dari total konsumsi minyak nabati dunia.
Dalam Skenario S2 untuk periode periode 2020–2050, luas areal kedelai meningkat dari 127 juta hektare menjadi 180 juta hektare. Luas areal rapeseed meningkat dari 35,5 juta hektare menjadi 50 juta hektare; bunga matahari dari 27,6 juta hektare menjadi 39 juta hektare; dan kelapa sawit dari 25 juta hektare menjadi 34 juta hektare.
Dengan demikian, apabila BAU terus berlangsung hingga tahun 2050 mendatang maka akan terjadi deforestasi tambahan seluas 89 juta hektare untuk ekspansi keempat tanaman minyak nabati dunia. Kondisi tersebut jelas bukan pilihan terbaik, terutama bagi masyarakat internasional yang menghendaki penghentian deforestasi.
Apabila masyarakat dunia berkomitmen untuk tidak lagi melakukan deforestasi dalam penyediaan minyak nabati global maka Skenario S3 menjadi alternatif yang paling dapat diterima untuk memenuhi peningkatan konsumsi. Dalam skenario tersebut, luas lahan untuk keempat tanaman minyak nabati dipertahankan, tetapi produktivitas kelapa sawit harus ditingkatkan menjadi 6,5 ton per hektare pada tahun 2050 mendatang.
Potensi peningkatan produktivitas kelapa sawit masih terbuka luas (Corley, 1998). Produktivitas rata-rata global baru mencapai sekitar 4,3 ton minyak per hektare pada tahun 2020, sementara potensi varietas unggul yang telah dikembangkan dapat melebihi delapan ton per hektare. Peningkatan tersebut dapat dicapai melalui penerapan good agricultural practices (GAP), perbaikan teknik budidaya, serta pemanfaatan varietas bibit unggul.
Produktivitas kedelai, rapeseed, dan bunga matahari juga masih dapat ditingkatkan, meskipun kenaikannya diperkirakan tidak signifikan. Ketiga tanaman tersebut tidak dapat dijadikan sumber utama pertumbuhan produksi minyak nabati global pada masa mendatang.
Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan minyak nabati dunia secara berkelanjutan tanpa menambah deforestasi hanya dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit di tingkat global.

































