Asal-Usul Lahan Kebun Sawit Indonesia

Sumber lahan terbesar bagi perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah degraded land.

Asal-Usul Lahan Kebun Sawit Indonesia

Studi tentang asal-usul lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah dilakukan oleh Gunarso et al. (2013). Kemudian studi asal-usul lahan kebun sawit Indonesia dilanjutkan oleh Suharto et al. (2019). Kajian tersebut memanfaatkan data perubahan penggunaan lahan (land use change) berdasarkan citra satelit yang diterbitkan oleh Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Studi-studi tersebut melakukan sinkronisasi land cover yang mencakup 22 tipe guna memperoleh gambaran lebih rinci terkait asal-usul lahan perkebunan kelapa sawit. Ke-22 tipe tersebut mulai dari hutan tidak terganggu (undisturbed upland forest) hingga lahan terlantar (bare soil).

PASPI Monitor (2021) dalam jurnal berjudul Asal Usul Lahan Perkebunan Sawit Indonesia dan Polemik Deforestasi mengatakan bahwa sumber lahan terbesar bagi ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama periode tahun 1990–2018 berasal dari degraded land, yaitu sebesar 61,6 persen. Kategori degraded land mencakup upland shrub & grassland, swamp shrub & grassland, disturbed swamp forest, disturbed upland forest, bare soil, dan kategori lain.

Sumber terbesar kedua berasal dari lahan pertanian atau perkebunan, yaitu sebesar 37 persen yang terdiri atas intensive agriculture, plantation, dan agroforestry. Kemudian sisanya sebesar 1,4 persen berasal dari hutan tidak terganggu seperti undisturbed upland forest, undisturbed swamp forest, dan undisturbed mangrove. Dengan demikian, secara keseluruhan 98,6 persen asal-usul lahan perkebunan sawit di Indonesia bukan berasal dari konversi hutan atau bukan merupakan deforestasi.

Temuan tersebut sekaligus membantah hasil studi Wilcove dan Koh (2008) yang mengklaim bahwa konversi hutan primer dan sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 56 persen atau seluas 1,7 juta hektare.

Analisis terbaru ini juga mengoreksi studi Fitzherdbert et al. (2008) yang memperkirakan deforestasi akibat konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit sebesar 16 persen serta studi Wicke et al. (2011) yang menyebutkan bahwa dari 9,7 juta hektare deforestasi yang terjadi pada periode tahun 1997-2003, sekitar 27 persen atau 2,6 juta hektare dialokasikan menjadi perkebunan sawit. Ketiga studi tersebut tidak didukung oleh data valid mengenai asal-usul lahan perkebunan kelapa sawit.

Sejumlah studi lain turut memperlihatkan bahwa deforestasi di Indonesia tidak memiliki korelasi positif langsung dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit (PASPI, 2017; Roda, 2019). Faktor-faktor utama penyebab deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia berasal dari tiga hal yakni kebijakan transmigrasi, kebijakan hak pengusahaan hutan, dan kebakaran hutan (Vadya, 1999; Gunarso et al., 2013; Santosa et al., 2020). Berikut ini ulasan mengenai ketiga penyebab deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia tersebut.

Kebijakan Transmigrasi. Kebijakan transmigrasi telah dilakukan sejak era kolonial Belanda (1905–1940) yang dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1969–2000. Kebijakan transmigrasi mengonversi 8,94 juta hektare hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman bagi 3,05 juta rumah tangga transmigran.

Kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kebijakan HPH sejak awal tahun 1970-an menyebabkan degradasi hutan di Sumatera seluas 6,7 juta hektare dan di Kalimantan sebesar 8,5 juta hektare pada periode 1985-1997.

Kebakaran Hutan. Kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada periode 1982-1983 seluas 3,6 juta hektare dan pada tahun 2011 seluas 2,6 juta hektare. Hutan-hutan eks-HPH dan eks-kebakaran tersebut kemudian menjadi degraded land berupa semak belukar maupun lahan terbuka.

Untuk meningkatkan pemanfaatan ruang serta mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, pemerintah Indonesia kemudian mengalokasikan degraded land tersebut menjadi areal hutan tanaman industri (HTI) maupun areal perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit.

Dengan demikian, lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak berasal dari proses deforestasi secara langsung. Bahkan, dengan adanya peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan ekologis pada kawasan perkebunan kelapa sawit apabila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya sebagai degraded land maka perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan sawit dapat dipandang sebagai bentuk restorasi sosial, ekonomi, dan ekologis.