Gula Merah Sawit, Produk Hilirisasi yang Mendukung Kebutuhan Pokok Masyarakat
Gula merah sawit bisa menjadi alternatif sumber produksi gula domestik yang potensial.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan pencapaian swasembada pangan. Salah satu bahan pangan yang memperoleh perhatian serius untuk dicapai tingkat swasembadanya adalah gula.
Hal ini dikarenakan gula merupakan komoditas yang ketergantungan pada impor (import dependency ratio/IDR) yang cukup besar dan cenderung meningkat. Menurut data Kementerian Pertanian (2024), IDR gula Indonesia meningkat dari tahun ke tahun yang menunjukkan tingkat ketergantungan Indonesia pada gula impor semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Di Indonesia, gula termasuk ke dalam salah satu kategori sembilan bahan pokok (sembako). Artinya, gula menjadi kebutuhan dasar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Seiring dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk dan perekonomian Indonesia, konsumsi gula juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data USDA (2024), pada tahun 2000 konsumsi domestik gula di Indonesia masih sekitar 3,3 juta ton, kemudian meningkat pada tahun 2023 menjadi 7,9 juta ton.
Meningkatnya ketergantungan Indonesia pada gula impor tersebut disebabkan oleh kemampuan produksi gula domestik yang belum mampu mengimbangi besarnya laju pertumbuhan konsumsi domestik. Laju produksi gula domestik yang makin tertinggal jauh dari laju konsumsi gula domestik, telah menyebabkan tingkat ketergantungan Indonesia pada gula impor semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu, untuk mencapai swasembada gula domestik maka perlu upaya akselerasi produksi gula domestik (PASPI, 2024). Sumber produksi gula domestik selama ini hanya mengandalkan dari perkebunan tebu domestik. Sementara itu, alternatif sumber produksi gula domestik yang potensial yang selama ini kurang dimanfaatkan adalah dari perkebunan sawit yang juga dapat menghasilkan gula merah sawit.
Indonesia memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 16,8 juta hektare. Dari luasan tersebut, dengan mengikuti norma pengelolaan perkebunan sawit yang baik dan benar diperlukan sekitar empat persen replanting kebun sawit setiap tahun. Tujuannya agar komposisi tanaman relatif seimbang untuk menjamin stabilitas produksi minyak sawit.
Dari kebun replanting tersebut, terdapat batang pohon sawit ditumbang yang dapat menghasilkan nira untuk produksi gula merah sawit (Fauzi, 2006; Tim Riset PASPI, 2019). Berdasarkan pengalaman petani di berbagai daerah, pohon batang kelapa sawit hasil replanting yang sudah ditebang dapat menghasilkan air nira selama 30-40 hari dengan produksi 5-7 liter per hari.
Apabila air nira ini diolah menjadi gula merah, dengan tingkat rendemen gula 20-30 persen maka dapat dihasilkan gula merah sawit sebanyak 1,2-1,75 kg/pohon/hari selama fase produksi air nira tersebut. Artinya, selama 30 hari dapat diperoleh sekitar 6,84 ton/hektare replanting. Jika luasan replanting sawit Indonesia sekitar 572 ribu hektare per tahun maka produksi gula merah per tahun dapat mencapai 3,9 juta ton/tahun (Siahaan, 2018).
PASPI (2024) dalam diseminasi policy brief berjudul Gula Merah Sawit untuk Swasembada Gula Berkelanjutan memaparkan, terdapat beberapa keunggulan dari gula merah sawit.
Pertama, gula merah sawit merupakan gula fruktosa, bukan gula sukrosa seperti gula yang berasal dari tebu. Berdasarkan aspek kesehatan, gula merah sawit lebih sehat dibandingkan gula tebu.
Gula fruktosa ini bukan hal yang baru di dunia, bahkan Amerika Serikat telah mengembangkan sirup fruktosa dari jagung (high fructose corn syrup) sejak tahun 1970-an untuk mengurangi impor gula tebu. Konsumsi gula merah juga sudah menjadi bagian dari budaya setiap daerah di Indonesia sehingga dari segi acceptability tidak perlu diragukan lagi.
Kedua, dari segi ketersediaan (availability). Gula merah sawit tersedia sepanjang tahun, seiring dengan implementasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) dengan target luasan replanting sekitar empat persen per tahun dari luas areal kebun sawit.
Sehingga produksi gula merah sawit sekitar 3,7 juta ton setiap tahun akan tersedia dari perkebunan sawit.
Ketiga, dari segi keterjangkauan (affordability) baik secara ekonomi maupun fisik/ruang akan terpenuhi dengan baik. Gula merah sawit yang diproduksi dari kebun sawit replanting yang tersebar pada 26 provinsi dan lebih dari 250 kabupaten di Indonesia, secara alamiah telah terdistribusi dan dikonsumsi secara lokal.
Tidak ada biaya produksi yang dikeluarkan selain biaya pemanenan dan pengolahan sederhana, mengingat sumber gula merah sawit berasal dari batang sawit saat replanting. Sehingga hal ini menyebabkan harga gula merah sawit tersebut relatif terjangkau dibandingkan gula tebu.
Keempat, dari segi keberlanjutan (sustainability), gula merah sawit jelas relatif lebih sustainable (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2024). Pemanfaatan gula merah sawit merupakan bentuk ekonomi sirkuler karena memanfaatkan limbah batang sawit yang di-replanting. Selain itu, sumber gula merah sawit dari batang sawit juga tidak terkait dengan land use changes atau ekspansi lahan.
Produksi dan konsumsi gula merah sawit juga biasanya dalam lingkup lokal. Implikasinya, produksi gula merah sawit ini memiliki jejak karbon (carbon footprint) yang mendekati nol, atau jauh lebih rendah dibandingkan gula tebu.
Kelima, produksi gula merah sawit dengan cara pemanfaatan batang pohon sawit yang demikian dapat menekan hama penyakit kumbang tanduk (oryctes) musuh utama tanaman sawit, mempercepat pengolahan batang kelapa sawit, dan mengurangi biaya replanting (untuk chipping).
Dengan kata lain, gula merah sawit secara availability, acceptability, affordability, dan sustainability menyuguhkan alternatif untuk sumber gula nasional. Dengan produksi sekitar 3,7 juta ton per tahun tersebut dan ditambah dengan produksi gula tebu yang ada akan mempercepat Indonesia mencapai swasembada gula.
Tidak hanya swasembada gula semata, tetapi juga swasembada gula yang lebih sustainable dan kompetitif (PASPI, 2024).