Partisipasi Besar Rakyat dalam Sejarah Panjang Perkebunan Sawit Indonesia

Kelapa sawit yang dikenal sebagai emas hijau memiliki dampak ekonomi yang signifikan khususnya bagi Indonesia.

Partisipasi Besar Rakyat dalam Sejarah Panjang Perkebunan Sawit Indonesia
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848. Dr. D. T. Pryce menanam empat bibit kelapa sawit di Kebun Raya Bogor sebagai koleksi tumbuhan.

Di Indonesia, setiap tanggal 18 November merupakan momen penting bagi sektor perkebunan nasional karena secara khusus ditetapkan sebagai Hari Sawit Nasional yang diperingati untuk menghargai dan meningkatkan industri kelapa sawit Indonesia.

Kelapa sawit yang dikenal sebagai "emas hijau", telah menjadi komoditas utama dan unggulan dalam perdagangan global dan memiliki dampak ekonomi yang signifikan khususnya bagi Indonesia. Berbagai pihak mulai dari pemerintahan, swasta, hingga rakyat turut berpartisipasi besar dalam perkembangan sektor industri perkebunan sawit nasional.

Melansir laman PASPI (2023) berjudul Begini Ternyata Sejarah Perkebunan Sawit Indonesia diulas sebagai berikut sejarah perkebunan sawit Indonesia.

Awal Mula Sejarah Sawit Indonesia (1848)
Kelapa sawit (elaeis guineensis) bukanlah tanaman asing bagi kehidupan manusia. Berdasarkan terbitan De Oliepalm, masuknya kelapa sawit ke Indonesia terjadi pada tahun 1848, dan selanjutnya ditanam di Kebun Raya Bogor. Empat bibit kelapa sawit oleh Dr. D. T. Pryce untuk ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai koleksi tumbuhan.

Keturunan empat bibit asal Kebun Raya Bogor tersebut ditanam sebagai tanaman hias sekaligus menjadi uji lokasi di perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara, Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Maluku (PASPI, 2023).

Sejarah Perkebunan Sawit Indonesia (1878-1911)
Pada tahun 1878, Deli Maatschappij mencoba membudidayakan kelapa sawit di Deli, Sumatera Utara, yang menjadi langkah awal menuju perkebunan komersial. Perusahaan Belgia dan Jerman memulai usaha perkebunan kelapa sawit komersial pada tahun 1911 di Pulau Raja (Asahan), Sungai Riput (Aceh), dan Tanah Itam Ulu (Sumatera Utara).

Keberhasilan tersebut membuat perusahaan Belgia memulai usaha perkebunan kelapa sawit komersial perdana pada tahun 1911 yang mulai beroperasi di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Riput (Aceh). Pada tahun yang sama, perusahaan asal Jerman juga memulai usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu (Sumatera Utara).

Banyak investor asing yang mulai mengikuti jejak yang sama untuk mengusahakan perkebunan kelapa sawit sehingga jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu pada tahun 1918 dibangun pabrik kelapa sawit (PKS) pertama di Indonesia yakni di Sungai Liput dan di Tanah Itam Ulu pada tahun 1922 (PASPI, 2023). 

Industri Hilir Sawit Pertama di Indonesia (1976)
Kelapa sawit tidak hanya dimanfaatkan dari sektor hulu saja, tetapi pemanfaatannya juga berkembang hingga ke hilir. Pada tahun 1976, guna memperluas pemanfaatan dan nilai tambah minyak sawit dalam negeri, pemerintah Indonesia membangun industri hilir pertama yaitu PAMINA yang berlokasi di Adlina, Sumatera Utara (PASPI, 2023).

BUMN Pertama di Indonesia
Sejak masa kolonial hingga masa Orde Lama, perkembangan perkebunan kelapa sawit banyak dipengaruhi oleh dinamika politik Indonesia. Proses peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia juga mencakup nasionalisasi perkebunan milik perusahaan swasta kolonial dan asing yang kemudian menjadi cikal-bakal badan usaha milik negara/BUMN (PASPI, 2023).

Proyek NIS atau PIR (1977)
Pada tahun 1977, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan World Bank, Asian Development Bank (ADB), Germany Government Donor Agency (KfW), dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk mendirikan proyek NES (Nucleus Estate and Smallholders) atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat).

PIR merupakan model perkebunan kelapa sawit yang lahir dari sinergi antara petani dan perusahaan. Keberhasilan uji coba PIR (I-IV) dikembangkan lebih lanjut dalam berbagai model/pola di perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Badrun, 2010; Sipayung, 2011; Kasryno, 2015; PASPI, 2022; PASPI, 2023). 

Industri Sawit Indonesia Mengalahkan Malaysia
Penguatan kebijakan pemerintah pusat dan daerah (desentralisasi) dengan menerapkan berbagai model PIR dan kemitraan, serta mendukung pengelolaan perizinan berdampak pada percepatan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pertumbuhan perkebunan sawit Indonesia yang revolusioner bahkan disebut menandingi green revolution. Indonesia bahkan berhasil setelah menggeser posisi Malaysia dengan menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia tahun 2006.

Hingga saat ini, posisi tersebut masih dipegang oleh Indonesia yang memiliki luas kebun sawit mencapai 16,38 juta hektare tahun 2024 (Ditjenbun Kementan, 2024).

Partisipasi Rakyat di Industri Sawit Nasional
Selain mengantarkan Indonesia menduduki posisi sebagai "Raja Minyak Sawit Dunia", hal yang menarik untuk dibahas adalah partisipasi rakyat (petani) dalam usaha budidaya perkebunan sawit Indonesia. Pada awal pengembangan perkebunan sawit di Indonesia, para ekonom besar global menyangsikan rakyat (petani) ikut serta dalam usaha budidaya sawit karena membutuhkan modal investasi yang sangat besar.

Namun berkat adopsi berbagai model PIR dan program pemerintah lainnya telah berhasil mengikutsertakan rakyat (petani) dalam usaha budidaya perkebunan sawit Indonesia.

Keberhasilan petani sawit plasma (yang mengadopsi model PIR/kemitraan dengan korporasi) juga mampu menjadi insentif bagi masyarakat lain untuk berpartisipasi menjadi petani sawit.

Secara mandiri, petani sawit swadaya menggunakan kemampuannya dan sumberdaya (modal) sendiri untuk membangun kebun sawitnya. Implikasinya perkebunan sawit rakyat semakin meluas dengan peningkatan pangsa yang siginifikan yakni dari hanya sekitar 2 persen menjadi 41 persen (PASPI, 2023).