Peran Strategis Kebijakan Pungutan Ekspor yang Dikelola BPDP bagi Ekosistem Industri Perkebunan Sawit Nasional

Pemerintah Indonesia memiliki kebijakan pungutan ekspor (export levy) guna menjaga stabilitas industri perkebunan sawit nasional.

Peran Strategis Kebijakan Pungutan Ekspor yang Dikelola BPDP bagi Ekosistem Industri Perkebunan Sawit Nasional
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit. Kebijakan pungutan ekspor merupakan salah satu kebijakan yang strategis bagi industri sawit nasional.

Indonesia merupakan produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia di mana jutaan petani sawit dan korporasi perkebunan sawit (swasta dan BUMN) tersebar pada sekitar 235 kabupaten/kota di 25 provinsi (Ditjenbun, 2022). Posisi Indonesia sebagai produsen maupun sekaligus konsumen minyak sawit terbesar dunia menjadi tantangan pengelolaan industri sawit yang komprehensif dan berkelanjutan agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya dan inklusif bagi Indonesia.

Tantangan yang dimaksud adalah bagaimana kebijakan membuat industri sawit Indonesia mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit domestik dan menghasilkan devisa semaksimal mungkin secara berkesinambungan, namun juga dapat memenuhi kebutuhan minyak sawit domestik (PASPI, 2023).

Salah satu kebijakan pemerintah yang diimplementasikan untuk menjaga stabilitas industri perkebunan sawit nasional ialah kebijakan pungutan ekspor (export levy). Dijelaskan PASPI (2023) dalam policy brief berjudul Peranan Kebijakan Pungutan Ekspor Sawit dan BPDPKS dalam Industri Sawit Nasional, kebijakan pungutan ekspor yang diberlakukan pemerintah sejak tahun 2015 merupakan salah satu kebijakan yang strategis bagi industri sawit nasional.

Kebijakan pungutan ekspor sawit berbeda dengan kebijakan pajak ekspor pada umumnya. Kebijakan tersebut didesain untuk berbagai tujuan strategis bagi keberlanjutan industri sawit nasional di mana hasil pungutan ekspor sawit tersebut diinvestasikan kembali ke industri sawit melalui berbagai program yang dikoordinasikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 jo. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memiliki tugas untuk menghimpun dana sawit yang bersumber dari pungutan yang dikenakan kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor produk sawit. Selain itu, BPDP mengelola dan menyalurkan dana sawit tersebut untuk pembiayaan program pengembangan industri sawit nasional.

Lebih lanjut dijelaskan PASPI (2023), setidaknya terdapat dua hal penting terkait peran pungutan ekspor sawit dan BPDP dalam desain pungutan ekspor sawit dan penyalur dana hasil pungutan ekspor sawit pada industri sawit. Pertama, desain pungutan ekspor sawit tidak hanya sekadar menjadi mekanisme penghimpunan dana sawit semata, namun juga sekaligus didesain untuk mencapai tujuan-tujuan strategis keberlanjutan industri sawit nasional.

Besaran, cakupan, struktur tarif pungutan ekspor sawit (tarif dasar dan tarif tambahan) didesain sedemikian rupa agar memberi insentif bagi pengembangan hilirisasi sawit domestik untuk menghasilkan produk hilir baik untuk konsumsi langsung domestik, substitusi impor, maupun tujuan ekspor.

Kedua, desain BPDP untuk penghimpunan dan pengelolaan dana pungutan ekspor sawit. Dana hasil pungutan ekspor sawit yang dihimpun selanjutnya disalurkan ke industri sawit sebagaimana amanat UU 39/2014 dan peraturan pelaksanaanya. Untuk mengeksekusi pengelolaan dana hasil pungutan ekspor sawit dilakukan oleh BPDP melalui pembiayaan untuk kepentingan: (1) peremajaan sawit rakyat; (2) sarana dan prasarana; (3) pengembangan SDM; (4) penelitian dan pengembangan; (5) promosi; (6) pemenuhan kebutuhan pangan; (7) hilirisasi industri perkebunan sawit; dan (8) penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati.

Desain tarif pungutan ekspor dan penyaluran dana hasil pungutan ekspor sawit oleh BPDP tersebut menjadi instrumen kebijakan untuk penguatan industri sawit nasional secara keseluruhan. PASPI (2023) dalam policy brief berjudul Peranan Kebijakan Pungutan Ekspor Sawit dan BPDPKS dalam Industri Sawit Nasional memaparkan peran-peran strategis yang tercipta dari kebijakan pungutan ekspor sawit tersebut.

Pertama, percepatan hilirisasi sawit domestik. Dengan tarif pungutan ekspor produk sawit yang makin ke hilir makin rendah, telah mendorong percepatan hilirisasi sawit domestik baik melalui ketiga jalur hilirisasi sawit (PASPI, 2023) yakni hilirisasi produk pangan, oleokimia, hingga bahan bakar nabati.

Percepatan hilirisasi sawit tersebut telah mengubah posisi Indonesia dari eksportir dengan dominasi minyak mentah (CPO/CPKO) menjadi eksportir produk olahan.

Kedua, memperluas dan memperbesar penyerapan minyak sawit di pasar domestik. Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia akan menghadapi risiko tinggi jika terlalu tergantung pada pasar minyak sawit dunia. Masyarakat Indonesia juga ingin menikmati sebesar-besarnya manfaat dari sawit.

Oleh karena itu, pemanfaatan minyak sawit di pasar domestik perlu diperbesar dan diperluas, salah satunya melalui pengembangan biodiesel sawit. Dengan dukungan insentif dari dana sawit untuk implementasi kebijakan mandatori biodiesel (substitusi solar fosil impor) telah berhasil memperbesar daya serap minyak sawit di pasar domestik.

Seiring dengan meningkatnya blending rate biodiesel sawit (FAME) dengan solar fosil akan semakin memperbesar penyerapan minyak sawit domestik. Kondisi ini berimplikasi pada posisi Indonesia yang semakin kuat dalam mempengaruhi harga minyak sawit dunia. Bahkan, para ahli forecaster harga minyak sawit dunia menyebutkan program mandatori biodiesel Indonesia sebagai game changer harga sawit dunia (PASPI, 2023).

Ketiga, mengelola harga minyak sawit dunia dan harga tandan buah segar (TBS) petani. Sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, besaran volume dan ragam minyak sawit yang diekspor Indonesia akan mempengaruhi dinamika harga minyak sawit dunia.

Dengan kombinasi desain tarif pungutan ekspor, hilirisasi sawit domestik, dan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel domestik merupakan instrumen penting bagi Indonesia untuk mengelola dinamika harga minyak sawit dunia. Peningkatan atau penurunan tarif pungutan ekspor sawit dan intensitas mandatori biodiesel Indonesia telah menjadi variabel penting yang mempengaruhi dinamika harga minyak sawit dunia.

Tren harga minyak sawit dunia yang demikian kemudian akan ditransmisikan pada harga TBS yang diterima oleh petani (PASPI, 2023).

Keempat, meningkatkan kemampuan bertumbuh (capacity building) industri sawit domestik secara berkelanjutan. Penyaluran dana sawit hasil pungutan ekspor oleh BPDP untuk berbagai program seperti peremajaan sawit rakyat (PSR), sarana prasarana, pengembangan SDM, serta riset penelitian dan pengembangan merupakan suatu investasi untuk meningkatkan kemampuan industri sawit nasional dalam menghasilkan produksi sawit secara berkelanjutan.

Berdasarkan data BPDP (2023) diketahui bahwa dalam periode 2015-2022 secara akumulatif telah disalurkan dana sawit hasil pungutan ekspor ke industri sawit melalui berbagai program pengembangan industri sawit berkelanjutan. Penyaluran dana sawit untuk program PSR sekitar Rp7,5 triliun; insentif biodiesel sebesar Rp144,6 triliun; penelitian dan pengembangan sekitar Rp501,2 miliar; pengembangan SDM sebesar Rp305,2 miliar; promosi Rp439,5 miliar; dan sarana dan prasarana Rp44,3 miliar.

Kelima, promosi industri sawit nasional. Keberhasilan minyak sawit menjadi minyak nabati utama dunia telah menggeser peran minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Akibatnya terjadi persaingan non-harga dengan cara kampanye negatif melalui penyebaran berbagai isu yang menyudutkan minyak sawit (PASPI, 2023).

Jika kampanye negatif dibiarkan terus-menerus akan merugikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit dunia. Sejak tahun 2015, BPDP telah melakukan penyaluran dana pungutan ekspor untuk membiayai berbagai program yang bertujuan untuk meng-counter isu negatif, membangun citra positif sawit, dan melakukan advokasi minyak sawit yang dilakukan stakeholder industri sawit di dalam maupun luar negeri.