Sepenggal Kisah Paulus Tjakrawan, Sang Pejuang Biodiesel Sawit yang Kini Telah Tiada

Sepenggal Kisah Paulus Tjakrawan, Sang Pejuang Biodiesel Sawit yang Kini Telah Tiada

 JAKARTA – Idealnya sebuah infant industry (industri baru) memiliki banyak dukungan. Dukungan yang diberikan bisa saja berasal dari pihak Pemerintah sebagai empunya regulasi, dalam bentuk berbagai kebijakan yang mendukung keberadaan industri biodiesel. Bisa jadi, energi biodiesel masih menjadi barang langka nan mahal saat ini. Namun, dalam konteks keamanan energi nasional, biodiesel dapat menjadi acuan bagi Indonesia untuk swasembada energi bahan bakar.

Keberadaan biodiesel, juga mampu menopang penghematan pemerintah terhadap bahan bakar minyak (bbm) dan gas. Sehingga, pemerintah dapat efisien dalam memberikan subsidi bbm dan gas, yang nilainya dapat mencapai Rp 200 Triliun. “Pemerintah akan lebih efisien, lantaran subsidi yang diberikan kepada bbm dan gas akan lebih kecil,” ujara Paulus menjelaskanm dikutip dari Majalah InfoSAWIT edisi Juli 2015 lalu.

Ketua harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Paulus Tjakrawan kala itu, secara gamblang menjelaskan keberadaan biodiesel nasional yang seharusnya menjadi bagian dari keamanan energi nasional. Kendati sulit, menurut Paulus, keberadaan biodiesel secara alami akan mendukung efisiensi anggaran pemerintah untuk subsidi sejak awalnya.

Dengan perubahan pola dan besaran subsidi, maka keberadaan biodiesel akan mampu di suplai secara berkelanjutan demi kemajuan nasional. Dengan pola subsidi yang efisien, maka keberadaan industri akan menjadi kekuatan baru dalam menopang perekonomian nasional. Lebih lanjut, Paulus menjelaskan keberadaan industri yang dibangunnya merupakan bagian dari implementasi idealisme nasional.

Idealisme perusahaan (afiliasi Grup Salim), secara nyata, ingin telibat secara aktif membangun perekonomian nasional melalui produksi bahan bakar. Industri nasional secara umum, masih membutuhkan banyak dukungan, terutama pihak pemerintah dan swasta.

Lantaran, harga biodiesel masih belum dapat tercapai secara nilai keekonomian, maka dibutuhkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk subsidi rupiah.

“Harga solar, kalau dicampur dengan biodiesel harganya akan naik sedikit. Maka pemerintah memberikan subsidi seribu rupiah, tapi ternyata berkembang pada Maret untuk April dan Mei,” kata Paulus, lebih lanjut,”Namun kondisi belakangan, pada bulan April berkembang isu, tidak ada lagi  dana untuk subsidi biodiesel. Bahkan, berkembang pola yang aneh-aneh ini”.

Secara ringkas, kemudian disepakati bentuk subsidi biodiesel dalam bentuk pungutan baru. Utamanya, demi kemajuan bersama, maka pihak pemerintah dan swasta menggagas adanya dana CPO Supporting Fund (CSF).

Lantas, Biodiesel sebagai sumber energi terbarukan, sejatinya harus terus berjalan dan berkembang di Tanah Air. Kendati, pihak pemerintah tidak memiliki dana mencukupi untuk mengembangkannya, maka pihak swasta harus ikut ambil bagian. Semisal, industri pabrikan mobil sebagai penggunanya.

Bila biodiesel dianggap sebagai program strategis pemerintah, maka harusnya dapat berjalan seiring kebijakan pembangunan pemerintah. “Jangan seolah-olah menjadikan biodiesel sangat bergantung terhadap pungutan baru kepada pihak swasta,” ujar Paulus menegaskan.

Sebab, biodiesel sebagai energi terbarukan merupakan kepentingan besar pemerintah guna mengembangkan ketahanan energi nasional. Bila tidak segera dimulai dan berkelanjutan, maka kondisi kedepan akan sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. “Biodiesel sebagai energi terbarukan sangat strategis dan harus terus berjalan,” tukasnya.

Kini sang pejuang biodiesel itu telah mangkat, dan memenuhi takdir alam. Namun cita-citanya guna biodiesel bisa terus berkembang  akan terus bergaung sesuai dengan harapan para pendahulu penggagas Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), seperti ketua umum pertama Aprobi, Purnardi Djojosudiro, yang juga telah duluan mangkat, serta para penggagas biodiesel lain yang tak bisa disebutkan satu per satu. Selamat jalan Pak Paulus Tjakrawan. (T1)

Sumber