Minyak Kelapa Sawit Solusi untuk Atasi Stunting

KANDUNGAN vitamin dan nutrisi dalam minyak kelapa sawit menjadi solusi untuk mengatasi persoalan gizi buruk dan stunting di masyarakat. Kelapa sawit bisa menghasilkan aneka produk olahan yang kaya akan vitamin A.

Minyak Kelapa Sawit Solusi untuk Atasi Stunting

KANDUNGAN vitamin dan nutrisi dalam minyak kelapa sawit menjadi solusi untuk mengatasi persoalan gizi buruk dan stunting di masyarakat. Kelapa sawit bisa menghasilkan aneka produk olahan yang kaya akan vitamin A. Demikian benang merah Dialog Majalah Sawit Indonesia bertema `Sawit Menjawab Kebutuhan Gizi dan Persoalan Kesehatan`, di Jakarta, Rabu (6/3/2019).

Dialog yang menghadirkan pakar pangan dan kesehatan serta praktisi di sektor kelapa sawit ini didukung penuh oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Tampil sebagai pembicara dalam dialog tersebut Direktur Gizi Kementerian Kesehatan RI Doddy Izwardy, Direktur Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology Center (SEAFAST) IPB Nuri Andarwulan, Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) Darmono Taniwiryono, dan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia GIMNI) Sahat Sinaga.

Doddy Izwardy menjelaskan perbaikan gizi merupakan investasi ekonomi di mana kecukupan gizi makro dan mikro merupakan prasyarat membangun kualitas sumber daya manusia termasuk kualitas fisik dan intelektual serta produktivitas tinggi.

Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan berharap kelapa sawit bisa menghasilkan menghasilkan produk olahan yang kaya akan vitamin A. Menurutnya, masalah stunting di Indonesia berdampak kepada tiga aspek yaitu gagal tumbuh, gangguan kognitif dan gangguan metabolisme. Jika masalah stunting tidak diatasi, maka Indonesia mengalami kerugian dari aspek ekonomi.

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang lama. Stunting pada umumnya terjadi karena asupan makan yang tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh badan. “Untuk itu, kami berharap kelapa sawit dapat menjadi solusi dalam mengatasi stunting. Karena masalah yang dihadapi pola konsumsi,” jelasnya. 

Sementara itu, peneliti dari MAKSI menawarkan solusi pemakaian minyak sawit merah alami untuk mengatasi kekurangan gizi masyarakat Indonesia. Darmono Taniwiryono mengungkapkan, di Afrika terdapat masyarakat yang sejak 5.000 tahun lalu memiliki tradisi mengonsumsi makanan olahan minyak sawit merah dengan teknik ekstraksi sederhana.

Di Indonesia, kelapa sawit merah belum dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia. "Di Indonesia, minyak sawit merah alami bisa dipakai sebagai campuran minyak makan pada berbagai tingkat persentase. Saat ini, telah ada minyak sawit merah yang dapat dikonsumsi untuk makanan olahan dan pakan ternak," ujar Darmono yang juga merupakan Direktur Utama PT Nutri Palma Nabati.

Pendapat senada disampaikan Nuri Andarwulan bahwa minyak sawit sangat cocok untuk bahan baku minyak goreng karena mengandung hampir 50 persen asam lemak jenuh dan hampir 50 persen lemak tidak jenuh. Selain itu, terdapat pula kandungan omega 9 yang berfungsi untuk membangun dinding sel dan membran sel tubuh.

Dijelaskan Nuri, susu formula mengandung campuran spesifik lemak nabati yang berasal dari minyak sawit untuk meniru kandungan asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tak jenuh rantai tunggal (MFA), dan asam lemak tak jenuh rantai jamak (PUFA) pada ASI3. "Banyak orang tidak tahu kandungan di susu formula berasal dari minyak sawit," ujarnya.

Di antara minyak nabati lain, minyak sawit juga mengandung kandungan karoten (Vitamin A), tokoferol dan tokotrienol (Vitamin E) yang sangat tinggi sehingga mengandung zat antioksidan. 

Dibandingkan minyak kedelai, kandungan tokotrienol minyak sawit dua kali lebih banyak Sahat Sinaga juga sependapat bahwa asupan vitamin A di dalam minyak sawit dapat menanggulangi masalah stunting di Indonesia, melalui pemanfaatan minyak sawit merah yang alami.

Pemerintah dalam hal ini harus berkomitmen untuk mengubah pemakaian minyak goreng dari curah menjadi kemasan. "Pemerintah jangan lagi mundur dari kewajiban minyak goreng kemasan pada 1 Januari 2020. Sebaiknya diberikan insentif kepada pelaku industri," ujar Sahat.

Di sisi lain, kata Sahat, minyak jelantah harus dilarang peredarannya karena berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Sahat meminta Kementerian Perdagangan untuk mengawasi peredaran minyak jelantah. Meskipun diakuinya, rencana fortifikasi minyak goreng belum bisa terealisasi, karena masih mengalami banyak perdebatan dari berbagai pihak. “Untuk itu, program ini butuh dukungan semua pihak termasuk di dalamnya industri dan para pemangku kepentingan.” ***