Mengenal Strategi Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang Berkelanjutan

Peningkatan produktivitas perkebunan sawit bisa dilakukan dengan cara menerapkan good agriculture practices, replanting, hingga pembenahan tata kelola pabrik kelapa sawit.

Mengenal Strategi Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang Berkelanjutan
Ilustrasi tanaman kelapa sawit di perkebunan. Indonesia perlu untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit demi mempertahankan posisi sebagai negara produsen terbesar dan mengoptimalkan prospek pasar global.

Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia. Areal perkebunan sawit Indonesia saat ini mencapai 16,38 juta hektare dan menghasilkan produksi minyak sawit mencapai 52,76 juta ton (GAPKI, 2025). Pangsa produksi minyak sawit Indonesia mencapai 58 persen dari produksi minyak sawit dunia, artinya Indonesia merupakan pemain penting dalam pasar minyak nabati dunia khususnya minyak sawit.

Di sisi lain, minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia dengan pangsa yang terus meningkat. Dalam rangka mempertahankan posisi sebagai produsen sekaligus suplier minyak sawit terbesar dunia maka produksi minyak sawit Indonesia harus meningkat sekitar 2,5 juta ton setiap tahunnya (asumsi jika konsumsi minyak sawit dunia meningkat sekitar 3,5 juta ton setiap tahun) (PASPI, 2017).

PASPI (2019) dalam studi literatur berjudul Peningkatan Produktivitas Minyak Sawit yang Berkelanjutan memaparkan, dalam rangka meningkatkan produktivitas kebun sawit untuk menghasilkan produksi minyak sawit yang lebih banyak, berkualitas, dan memperhatikan aspek keberlanjutan, maka strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: (1) kultur teknis dengan menerapkan good agriculture practices; (2) replanting dengan menggunakan benih unggulan; dan (3) memisahkan PKS untuk food grade dan non-food grade.

Dalam sumber yang sama dijelaskan PASPI, kultur teknis dalam kebun sawit merupakan strategi peningkatan produktivitas parsial (capital driven) karena tidak mengganti varietas benih sawit yang digunakan. Penggunaan kultur teknis dapat mengakomodasi pengaplikasian good agricultural practices (GAP) dalam perkebunan sawit.

GAP merupakan salah satu sistem sertifikasi dalam cara pelaksanaan budidaya tanaman pertanian dan perkebunan yang telah sesuai dengan standar yang ditentukan agar menghasilkan produk pertanian dan perkebunan yang bermutu baik, ramah lingkungan, memperhatikan aspek keberlanjutan, dan berdaya saing.

Perkebunan merupakan mata rantai pertama proses produksi minyak sawit sehingga pelaksanaan GAP pada tingkat perkebunan bertujuan untuk mencegah kontaminasi dan mengurangi deteriorasi mutu tandan buah segar (TBS) selama pemeliharaan tanaman, panen, dan distribusi ke pabrik kelapa sawit (PKS).

Peningkatan produktivitas perkebunan sawit juga dapat tercapai dengan penerapan strategi replanting. Adapun, replanting adalah penanaman kembali pohon sawit dengan menggunakan varietas unggul terbaru (innovation-driven). Upaya replanting akan meningkatkan produktivitas total yang akan berimplikasi pada peningkatan produktivitas minyak sawit per hektare melebihi peningkatan produktivitas melalui kultur teknis (PASPI, 2018).

Hal ini penting bagi perkebunan sawit Indonesia dalam rangka mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar dan mengoptimalkan prospek pasar global.

Replanting bukan hanya sebatas mengganti tanaman sawit baru, namun juga memiliki peran yang lebih strategis dalam pembangunan ekonomi baru di Indonesia. Hal ini disebabkan, industri sawit nasional bersifat inklusif dan memiliki dampak yang sangat luas dalam pembangunan ekonomi Indonesia dan daerah serta merupakan salah satu sumber devisa negara.

Selain itu, strategi replanting tanaman sawit juga menguatkan peranan industri sawit Indonesia untuk mencapai sustainable development goals (SDGs) dalam bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan (PASPI, 2019).

Dijelaskan PASPI (2019), perkebunan sawit rakyat merupakan target kebijakan replanting mengingat proporsi luas areal perkebunan sawit yang besar dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah dibandingkan produktivitas sawit nasional. Oleh karena itu, program ini sangat penting dilakukan oleh perkebunan sawit rakyat dalam rangka meningkatkan produktivitas.

Program replanting pada perkebunan rakyat tidak hanya soal mengganti kebun sawit dengan bibit unggul dan kultur teknis budidaya sawit yang modern, tetapi program ini memiliki manfaat lain yang tidak kalah penting yaitu: (1) pembenahan tata kelola sawit rakyat (legalitas usaha, lahan, dan kawasan); (2) pembenahan kemampuan SDM sawit rakyat baik dalam teknologi budidaya maupun manajerial; dan (3) pembenahan organisasi dan kelembagaan kemitraan sawit rakyat.

Upaya replanting perkebunan sawit di Indonesia didukung penuh oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) melalui penyaluran bantuan dana kepada pekebun rakyat dengan nilai sebesar Rp30 juta per ha/pekebun. Terdapat tiga model skema pembiayaan yang bisa diterapkan dalam program ini berdasarkan kemampuan pekebun.

Skema pertama adalah kebutuhan biaya dipenuhi dari dana bantuan BPDP sebesar Rp30 juta/ha/pekebun ditambah dengan dana tabungan milik pekebun. Skema kedua, kebutuhan dana pembiayaan dipenuhi dari dua sumber, yakni memanfaatkan dana bantuan BPDP dan kredit usaha rakyat (KUR) dari pekebun.

Sedangkan pada skema ketiga, dana pembiayaan diperoleh dari tiga sumber, yakni bantuan BPDP, tabungan pekebun, dan KUR.

Selain kultur teknis dan replanting sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas minyak sawit pada level perkebunan, perbaikan tata kelola pada level PKS dapat juga menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas minyak sawit.

Perbaikan tata kelola pada level PKS dengan cara memisahkan minyak sawit untuk food grade (pangan) dan non-food grade (non-pangan seperti biofuel dan oleokimia). Separasi PKS penting dilakukan untuk mengakomodir berbagai kualitas minyak sawit yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat, negara, dan swasta.