Perkembangan Sawit di Provinsi Riau Penyebab Deforestasi? Itu Hoaks!

Ekspansi perkebunan sawit merupakan land use change yang meningkatkan karbon stok lahan/reforestasi dan menciptakan pembangunan ekonomi di wilayah Riau.

Perkembangan Sawit di Provinsi Riau Penyebab Deforestasi? Itu Hoaks!
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit di Riau. Pandangan yang menyatakan bahwa ekspansi kebun sawit merupakan pemicu (driver) deforestasi di Provinsi Riau tidak didukung oleh fakta objektif.

Provinsi Riau merupakan sentra utama perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yakni mencakup 21,23% dari total areal perkebunan sawit Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, luas areal perkebunan kelapa sawit di Riau mencapai 3,40 juta hektare.

Dengan lahan yang luas tersebut, Riau berhasil memproduksi 9,22 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO). Angka ini tidak hanya menegaskan dominasi Riau dalam produksi sawit, tetapi juga menempatkannya sebagai pemain utama dalam mendukung kebutuhan domestik dan ekspor.

Perkembangan perkebunan sawit di Riau, secara empiris berdampak pada pembangunan wilayah pedesaan dan menjadikan pedesaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau. Daerah yang sebelumnya terbelakang dan tertinggal/degraded land telah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Evolusi perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit tersebut mengikuti dua fase, yakni fase gestation stage dan growth stages (PASPI, 2015).

Dijelaskan PASPI (2017) dalam studi literatur berjudul Proses Reforestasi dan Perbaikan Ekologi Melalui Perkebunan Sawit di Provinsi Riau, pada fase gestation stage perkebunan sawit dikembangkan oleh perusahaan negara (BUMN) atau perusahaan swasta yang bertindak sebagai inti, dan masyarakat lokal bertindak sebagai plasma.

Adapun pada fase growth stages berarti keberhasilan inti plasma menarik investasi petani lokal untuk menanam kelapa sawit (perkebunan rakyat swadaya). Pada fase ini, perkebunan rakyat bertumbuh secara revolusioner, terutama oleh petani swadaya.

Secara umum, peran perkebunan sawit dalam pembangunan di Provinsi Riau telah menciptakan proses ruralisasi yang positif (bukan urbanisasi) di mana desa telah tumbuh menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.

Kontribusi ini justru terjadi pada perkebunan rakyat yang proporsinya mencapai 62,63% dari total areal lahan sawit di Riau, yang sekaligus menurunkan tingkat kemiskinan di Provinsi Riau dan telah berhasil meningkatkan kelas petani miskin menjadi petani dengan berpendapatan menengah ke atas (PASPI, 2017).

Dalam sumber yang sama, lebih lanjut dijelaskan PASPI, sisi lain yang unik dan menarik adalah aspek timing dalam kebijakan Pembangunan di Provinsi Riau. Pada saat kontribusi minyak bumi dan gas semakin menurun maka Riau beralih pada pengembangan minyak sawit dan terbukti mampu mendorong pendapatan perkapita penduduk sebesar Rp79,11 juta/kapita/tahun (2012). Dari angka tersebut, kontribusi sawit adalah yang paling dominan yakni 63,2% dan selebihnya atau 36,8% adalah kontribusi dari minyak dan gas.

Kendati demikian, kemajuan perkebunan sawit di Provinsi Riau tersebut juga tidak luput dari adanya tekanan dari pihak ant-isawit yang mengaitkannya dengan isu deforestasi. Lantas, apakah tudingan terkait perkembangan sawit di Riau menjadi penyebab deforestasi tersebut benar? Berikut faktanya.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, PASPI (2017) memaparkan, dalam pembangunan harus dipahami bahwa deforestasi merupakan fenomena yang normal terjadi dalam poses pembangunan. Fenomena ini terjadi di setiap negara, termasuk Eropa dan Amerika Serikat.

Deforestasi juga merupakan pilihan rasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di setiap negara. Jika ditelusuri ke sejarah masa lalu setiap negara, semua kota-kota, kawasan industri/bisnis, pemukiman, lahan pertanian/perkebunan di seluruh dunia, merupakan hasil deforestasi.

Lebih lanjut dijelaskan PASPI, evolusi negara-negara Eropa dari masa ekonomi berburu sampai ke masa pertanian tetap, berlangsung sebelum abad ke-13. Sementara Amerika Serikat melalui masa berburu sampai ke masa pertanian tetap sampai awal abad ke-19.

Evolusi pembangunan dari awal ekonomi peladang berpindah sampai memasuki era ekonomi pertanian tetap merupakan masa di mana deforestasi berlangsung intensif. Kebutuhan lahan untuk pertanian, pemukiman, dan lain-lain yang disertai dengan pertambahan jumlah penduduk, menyebabkan konversi hutan harus dilakukan.

Evolusi pembangunan ekonomi dan deforestasi tersebut terkonfirmasi dengan hasil studi Prof. Matthew (1983) yang melakukan analisis perubahan vegetasi dan land use change global.

Pada periode era pra-pertanian sampai tahun 1980-an, negara-negara sub-tropis (seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara) telah melakukan deforestasi terhadap sekitar 653 juta hektare hutan subtropis. Sementara pada periode yang sama, negara-negara tropis baru melakukan deforestasi seluas 48 juta hektare, karena pada masa tersebut masih memulai pembangunannya.

Menurut data Peta Vegetasi Indonesia tahun 1950 oleh LW Hannibal yang dirangkum PASPI (2017), luas hutan di Provinsi Riau pada tahun 1950 adalah 8,7 juta hektare dan pada tahun 1985 luas hutan menjadi 5,07 juta hektare. Hingga tahun 2014, luas hutan di Provinsi Riau tercatat sebesar 2,5 juta hektare.

Dengan demikian sejak 1950-2014, perubahan fungsi hutan di Provinsi Riau akibat pembangunan ekonomi mencapai seluas 6,2 juta hektare.

Jika dikaitkan dengan luas deforestasi di Indonesia pada setiap periode, PASPI (2017) merangkum data sebagai berikut. Pada periode tahun 1950-1985, perubahan fungsi hutan akibat pembangunan ekonomi di Riau mencapai 3,63 juta hektare.

Sementara pada periode yang sama, kebun sawit di Provinsi Riau belum ada. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut di mana revolusi pembangunan terbesar terjadi di Riau, pemicu (driver) deforestasi sama sekali tidak ada kaitannya dengan perkebunan kelapa sawit. Bahkan perkebunan kelapa sawit sama sekali tidak ada (0 hektare).

Dengan demikian, pandangan selama ini yang menyatakan bahwa ekspansi kebun sawit merupakan pemicu (driver) deforestasi di Provinsi Riau tidak didukung oleh fakta objektif.

Bahkan sebaliknya, ekspansi perkebunan sawit justru merupakan suatu land use change yang meningkatkan karbon stok lahan/reforestasi yang secara ekologis dikehendaki dan menciptakan pembangunan ekonomi di wilayah Riau (PASPI, 2017).