BPDP DUKUNG RISET PERSIAPAN IMPLEMENTASI B50 (Hasil Kajian Aspek Teknis, Supply, Demand, Ekonomi dan Fiskal)
Jakarta, 23 Juli 2025. Bertempat di Ballroom Gedung Surachman Tjokrodisurjo, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Eddy Abdurrachman memimpin pertemuan untuk membahas hasil kajian yang mendukung persiapan implementasi pencampuran Bahan Bakar Nabati sebanyak 50% kedalam Bahan Bakar Minyak jenis Minyak Solar (B50). Pertemuan ini diselenggarakan sebagai forum strategis untuk membahas dinamika pasokan dan permintaan minyak kelapa sawit di Indonesia dalam konteks rencana implementasi kebijakan biodiesel B50. Fokus utama pertemuan adalah menyatukan pandangan lintas pemangku kepentingan termasuk lembaga penelitian, lembaga pemerintah, pelaku industri, serta perwakilan teknis untuk merumuskan strategi dan langkah konkret dalam mendukung kebijakan energi berbasis kelapa sawit yang berkelanjutan.
Pada tahun 2024 yang lalu, BPDP bersama dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyiapkan kajian kesiapan implementasi B50 dengan pendekatan aspek teknis, keterjaminan pasokan, permintaan, aspek ekonomi hingga fiskal. Aspek teknis dikaji oleh Kementerian ESDM dengan pelaksana Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”, sementara aspek pasokan, permintaan, ekonomi dan fiskal dikaji oleh Kementerian Pertanian dengan pelaksana KSO (Kerja Sama Operasi) antara PT SUCOFINDO dengan APPERTANI (Aliansi Peneliti Pertanian Indonesia).
Dalam sesi pemaparan awal, tim peneliti menyampaikan hasil studi terbaru terkait proyeksi produksi CPO (Crude Palm Oil) nasional, dimana dijelaskan dengan kondisi saat ini, produksi tahun 2045 diperkirakan hanya akan mencapai sekitar 60 juta ton. Penyebab utama tidak tercapainya target produksi adalah stagnasi produktivitas di sektor hulu, keterbatasan lahan baru, dan ancaman penyakit tanaman, khususnya Ganoderma, yang diproyeksikan memberi dampak lebih besar daripada El Niño maupun La Niña. Oleh karena itu, direkomendasikan strategi luar biasa (extraordinary measures) berupa peningkatan produktivitas tanaman, optimalisasi lahan terlantar, serta pemanfaatan teknologi dan input pertanian yang lebih efisien.
Kebutuhan CPO diperkirakan mencapai 17.5-18 juta ton untuk mendukung skema B50. Hasil Kajian KSO Sucofindo dan Appertani memproyeksikan akan terjadi penurunan total ekspor minyak sawit seiring meningkatnya kebutuhan dalam negeri. Akan terjadi shock yang signifikan pada tahun 2026 saat penerapan B50 dimulai. Data pertumbuhan produksi CPO cenderung stagnan dibandingkan pertumbuhan kebutuhan dalam negeri dan penurunan ekspor CPO yang terus meningkat. Dampak Implementasi B50 terhadap total ekspor diproyeksikan turun 11.40% dibandingkan ekspor tahun 2024.
Isu lain yang menjadi sorotan adalah ketergantungan pada impor metanol untuk proses produksi biodiesel. Metanol menjadi komponen penting apabila direaksikan dengan basa oksidanya (NaOH/KOH) sebagai katalis dalam produksi biodiesel. DMSI (2023) menyebutkan bahwa impor katalis biodiesel mencapai US$190 juta atau setara dengan Rp2,85 Triliun. Hal ini dinilai dapat menggerus manfaat penghematan devisa yang seharusnya diperoleh dari kebijakan B50.
Selain itu, para peserta membahas pentingnya diversifikasi bahan baku (feedstock) biodiesel. Beberapa bahan baku alternatif seperti minyak asam tinggi (High FFA) yang dihasilkan dari limbah maupun biomassa pabrik kelapa sawit (EFB Oil, POME Oil), hasil samping proses di refinery (SBE Oil), dan minyak goreng bekas (UCO) diidentifikasi memiliki potensi besar untuk diintegrasikan ke dalam rantai produksi biodiesel. Menurut Prof. Udin Hasanudin (Guru Besar UNILA, Komite Litbang BPDP) potensi bahan baku berbasis limbah ini mencapai lebih dari 2 juta ton. Penggunaan feedstock selain CPO akan dengan mulus terbebas dari isu EUDR. Namun demikian, diperlukan pengujian lanjutan, penyesuaian spesifikasi teknis, serta regulasi pendukung untuk memastikan keamanan, efisiensi, dan kompatibilitas bahan-bahan tersebut. Alternatif bahan baku dari tanaman penghasil minyak nabati selain sawit juga berpotensi untuk dikembangkan.
Di sisi teknis, Tim LEMIGAS mempresentasikan hasil uji karakteristik biodiesel untuk berbagai komposisi campuran, termasuk B35D15, B40D10, dan B50 untuk menyiapkan standar dan mutu (spesifikasi) biodiesel yang paling baik untuk campuran B50. Campuran B35D15 (Biodiesel 35% ditambah Diesel Biohidrokarbon / HVO 15%) sejauh ini menunjukkan hasil terbaik dari sisi performa daya, konsumsi bahan bakar, emisi dan filtrasi. Sementara itu, apabila campurannya menggunakan B50 (Biodiesel 50%) maka perlu dilakukan peningkatan standar kualitas biodiesel pada kandungan air, kandungan monogliserida dan stabilitas oksidasi, serta pengujian lanjutan dalam kondisi operasional yang lebih luas, termasuk simulasi ketahanan di lapangan (road endurance tests). Di sisi lain, penerapan campuran B35D15 atau B40D10 juga terkendala pasokan produksi D15/D10 (Diesel Biohidrokarbon).
Pada pendekatan dimensi ekonomi dan fiskal, studi menunjukkan potensi defisit subsidi mencapai lebih dari Rp25 triliun pada tahun 2026–2027 jika kebijakan diterapkan tanpa penyesuaian. Karena itu, analisis lebih lanjut mengenai skenario harga CPO global, efisiensi subsidi, dan potensi tabungan devisa menjadi elemen penting yang perlu dikaji. Penekanan juga diberikan pada perlunya simulasi ulang berdasarkan harga CPO maksimum di kisaran USD 1000–1100 per ton.
Dari sisi kebijakan, BPDP bersama kementerian dan perwakilan pemerintah lainnya menyepakati perlunya pendekatan yang lebih fleksibel terhadap implementasi B50. Fleksibilitas ini mencakup penyesuaian blending ratio berdasarkan harga pasar CPO, mirip dengan model dinamis yang diterapkan pada bioetanol di Brasil. Hal ini juga berkaitan dengan kesiapan kapasitas produksi domestik, baik dari sisi infrastruktur (termasuk pabrik Green Refinery pengolahan HVO/D100 milik Pertamina di kilang Cilacap dan Kilang Dumai), maupun logistik distribusi, terutama di daerah-daerah dengan pasokan CPO terbatas.
Sebagai langkah tindak lanjut, berbagai pihak diberi mandat untuk menyempurnakan studi masing-masing dengan menambahkan dimensi analisis yang belum lengkap, seperti aspek tarif, distribusi regional CPO, ketahanan pasok, serta implikasi kebijakan fiskal dan lingkungan. BPDP berencana akan menyelenggarakan pertemuan lanjutan guna meninjau hasil final dari studi teknis dan ekonomi, yang nantinya akan dijadikan dasar dalam penyusunan rekomendasi kebijakan kepada pembuat keputusan tingkat nasional.
Secara keseluruhan, pertemuan ini menegaskan pentingnya pendekatan holistik dan berbasis data dalam menyusun roadmap implementasi biodiesel B50 di Indonesia. Kolaborasi multipihak antara peneliti, pelaku industri, regulator, dan lembaga pendanaan menjadi kunci dalam menjamin keberhasilan transisi energi hijau yang tidak hanya ambisius secara angka, tetapi juga realistis dan berkelanjutan dalam praktik.
***(Fitriyah, Feri) BPDP