Menapak Langkah Menuju Mandatori B30
SUDAH hampir 13 tahun pogram mandatori biodiesel berjalan. Sudah banyak pula perkembangan dan hasil yang dicapai selama kurun waktu itu.
SUDAH hampir 13 tahun pogram mandatori biodiesel berjalan. Sudah banyak pula perkembangan dan hasil yang dicapai selama kurun waktu itu. Dimulai pada 2006 dengan campuran bahan bakar nabati sebesar 2,5%, kini kandungan campuran itu sudah mencapai 20% dan akan terus ditingkatkan.
Mandatori biodiesel merupakan program penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan yang merupakan hasil percampuran solar dengan bahan bakar nabati. Bahan yang digunakan untuk campuran solar itu merupakan bahan bakar nabati (fatty acid methyl eter/FAME) berbahan dasar sawit. Persentase kandungan bahan bakar nabati tersebut terus berubah setiap tahun.
Dalam kaitan ini, pemerintah terlihat cukup agresif menerapkannya. Pada periode 2006 hingga 2009, tingkat pencampuran ditetapkan 2,5% hingga 7,5%. Persentase pencampuran terus meningkat pesat, dimulai pada 2013 hingga 2014 yang mencapai 10% (B10). Tahun berikutnya, persentase itu meningkat lagi menjadi 15% dan setahun kemudian naik menjadi 20% hingga saat ini. Ditargetkan, pencampuran itu bisa mencapai 30% (B30) pada tahun 2025.
Salah satu poin terpenting dari semua itu adalah cakupan pemanfaatan biodiesel yang semakin meluas. Jika pada masa awal penerapan biodiesel hanya digunakan untuk kendaraan biasa, maka kini sektor yang memanfaatkannya sudah meluas hingga ke pertambangan dan industri. Bahkan pembangkit listrik dan angkutan kereta api juga sudah mulai menerapkannya. Namun demikian, saat ini biodiesel B20 hanya digunakan untuk solar bersubsidi. Sedangkan kereta api masih menggunakan biodiesel B5 dan pertambangan biodiesel B15.
Program mandatori biodiesel memberikan banyak manfaat bagi negara. Dengan program ini, Indonesia dapat melakukan konservasi penggunaan energi fosil, mendongkrak harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang merupakan penghasil devisa terbesar, dan petani sawit juga akan diuntungkan.
`Program biodiesel ini guna mengamankan devisa negara dan wujud komitmen pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca,` kata Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana di Palembang, belum lama ini.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi salah satu pendorong yang dominan dalam penerapan mandatori biodiesel ini. Sebab, sejak 2015, BPDPKS telah menyalurkan insentif sehingga tidak ada lagi keberatan dari produsen untuk memproduksi biodiesel.
“Insentif Biodiesel adalah salah satu wujud keberpihakan pemerintah kepada masyarakat. Sumber dananya bukan dari APBN, sehingga negara tidak mengeluarkan uang untuk insentif ini,” ujar Direktur Utama BPDPKS Dono Boestami.
Kualitas Dijaga
Saat ini, program mandatori biodiesel tengah diperluas, tidak hanya pada sisi konsumsi, tetapi juga pada sisi kualitasnya. Ini berarti pemerintah tidak hanya memacu konsumsi biodiesel sebanyak mungkin, tetapi juga memberikan manfaat seluas mungkin dan keuntungan sebanyak mungkin dengan cara menjaga kualitas.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana, pemerintah telah membuat pedoman penanganan biodiesel saat didistribusikan. Yakni dengan menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) solar sebelum dan setelah dicampur FAME.
“Biodiesel itu diperiksa di semua titik. Baik di tingkat produsen, ketika didistribusikan, pada saat penyimpanan, dan di titik terakhir sebelum dijual ke konsumen,” jelas Rida.
Jika penggunaannya semakin meluas tentu dibutuhkan lebih banyak lagi pasokan biodiesel di pasaran. Pertanyaannya sekarang, mampukah permintaan pasar itu dipenuhi?
Menurut Rida pasokan biodiesel masih melimpah mengingat kapasitas terpasang pabriknya mencapai 11,74 juta kl. Artinya, kapasitas yang ada masih bisa dioptimalkan hingga batas maksimal. “Target 2018, dengan adanya perluasan ke pertambangan, kami harapkan kurang lebih 3,5 juta kl. Ada tambahan 600 ribu kl dari pertambangan dalam satu tahun,” tutur Rida. ***