No Palm Oil, No SDGs

KAMPANYE boikot terhadap produk kelapa sawit di sejumlah negara dinilai bisa menganggu upaya pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Bahkan bisa dikatakan tanpa adanya kelapa sawit, maka SDGs tidak akan bisa terwujud. SDGs merupakan program yang disepakati dunia dan menjadi agenda PBB untuk diwujudkan hingga 2030, berisi mengenai program pembangunan yang berlandaskan prinsip berkelanjutan.

No Palm Oil, No SDGs
KAMPANYE boikot terhadap produk kelapa sawit di sejumlah negara dinilai bisa menganggu upaya pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Bahkan bisa dikatakan tanpa adanya kelapa sawit, maka SDGs tidak akan bisa terwujud. SDGs merupakan program yang disepakati dunia dan menjadi agenda PBB untuk diwujudkan hingga 2030, berisi mengenai program pembangunan yang berlandaskan prinsip berkelanjutan. “Adanya minyak kelapa sawit yang sustainable bisa mendukung tercapainya tujuan SDGs. No palm oil, no SDGs,” kata Pietro Paganini, dari John Cabot University, Roma, saat menjadi pembicara di hari kedua 14th Indonesia Palm Oil Conference 2018 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, (2/11/2018). Dalam keterangan pers Gapki, Paganini menyatakan bahwa kampanye negatif terhadap produk sawit merupakan promosi yang digalang oleh LSM untuk kepentingan dagang. “Bicara mengenai minyak kelapa sawit, maka akan berbicara mengenai perang iklan, promosi dan pangsa pasar,” katanya. Sejumlah LSM di Eropa menggunakan pola kampanye dengan memasang label “Free from palm oil…” untuk memberikan kesan kepada masyarakat bahwa produk yang mengandung  sawit adalah buruk. Padahal sesungguhnya, label itu hanya untuk menguntungkan produk saingan sawit, seperti kedelai, bunga matahari, biji rapa, dan lain-lain. “LSM memiliki peran yang sangat signifikan dalam kampanye ini,” katanya. Dia mengungkapkan, antara 2016 hingga awal 2018 terdapat perang yang sangat besar melawan minyak kelapa sawit. Mereka menyebutkan sawit merupakan produk yang buruk, padahal argumen-argumen tersebut seringkali dibuat tanpa landasan ilmiah. Kampanye tersebut, menurutnya, menyebabkan terjadinya penurunan impor minyak kelapa sawit untuk makanan sebesar 18%, penurunan impor dari minyak kelapa sawit Indonesia sebesar 70% untuk produk makanan dan 33% untuk produk non makanan. Penurunan ini diikuti dengan kenaikan produk berlabel “free from…” sebesar 12,9% pada tahun 2017 dan 13,5% pada tahun 2016. ***