Indonesia Dinilai Sukses Merestorasi Gambut

PAKAR lahan gambut dari Universitas Greifswald, Jerman, Hans Joosten menilai Indonesia terbilang berhasil dalam merestorasi lahan gambut ketimbang negara lain, termasuk negara-negara di Eropa yang sering menuding Indonesia sebagai perusak lahan gambut. Ini menunjukkan bahwa komitmen Indonesia untuk menangani lahan gambut telah berjalan baik. Hal tersebut disampaikan Joosten dalam business forum di ajang International Green Week Berlin 2019 di Berlin, Jerman, (22/1/2019).

Indonesia Dinilai Sukses Merestorasi Gambut
PAKAR lahan gambut dari Universitas Greifswald, Jerman, Hans Joosten menilai Indonesia terbilang berhasil dalam merestorasi lahan gambut ketimbang negara lain, termasuk negara-negara di Eropa yang sering menuding Indonesia sebagai perusak lahan gambut. Ini menunjukkan bahwa komitmen Indonesia untuk menangani lahan gambut telah berjalan baik. Hal tersebut disampaikan Joosten dalam business forum di ajang International Green Week Berlin 2019 di Berlin, Jerman, (22/1/2019). Penanganan lahan gambut yang dimaksud adalah merestorasi dengan cara membasahi kembali lahan gambut yang sudah kering. “Dalam 2017 dan 2018, Indonesia telah berhasil membahasi gambut dua kali lebih banyak dibandingkan seluruh Eropa sekaligus menjadi yang terluas sepanjang sejarah, mencapai 4.000 km2,” ujar Joosten. Dalam hal ini Eropa tertinggal jauh oleh Indonesia. Sebagai contoh, program membasahi kembali gambut di Jerman diproyeksikan hanya mencapai 400 km2 per tahun hingga 2050. Sementara, langkah pengeringan gambut di Eropa juga cukup tinggi. Finlandia misalnya, dalam tahun 1970-an telah mengeringkan lahan gambut hingga 3.000 km2 setiap tahun. Joosten berpendapat, langkah pemerintah Indonesia mewajibkan perkebunan kelapa sawit untuk menaikkan ketinggian air hingga 40 cm di bawah permukaan merupakan langkah yang tepat. Dalam kondisi ini kelapa sawit masih bisa tumbuh dengan baik, tetapi penurunan muka tanah dan emisi terpotong setengahnya. Risiko kebakaran hutan juga otomatis akan turun. Menurutnya, perkebunan kelapa sawit di atas lahan gambut yang dikeringkan menghasilkan 60 ton emisi Co2 per hektar per tahun. Jumlah itu sama dengan mobil yang menempuh perjalanan sejauh 300.00 km atau pesawat kelas ekonomi yang menempuh perjalanan pulang pergi Berlin-Jakarta. Lahan gambut di Indonesia berkontribusi terhadap 30% dari seluruh emisi yang dihasilkan pertanian. Namun demikian emisi lahan gambut di Eropa juga sangat besar. Di Jerman misalnya, 7% lahan yang digunakan untuk pertanian menghasilkan 37% dari total emisi, termasuk CH4 dari peternakan dan N20 dari pupuk. Pertanian di lahan gambut di Jerman merusak iklim yang menyebabkan kerugian senilai 3,6 miliar euro setiap tahun. “Biogas dari pertanian jagung di atas gambut di Lower Saxony, Jerman menyebabkan kerusakan iklim 8 kali lebih besar ketimbang membakar batu bara. Ini jauh lebih buruk ketimbang kelapa sawit di lahan gambut,” tutur Joosten. Joosten mengajak semua pihak untuk terus merestorasi lahan gambut dengan sejumlah cara. Pertama, membiarkan lahan gambut yang sudah basah untuk tetap basah atau tidak mengeringkannya. Kedua, membasahi kembali lahan gambut yang sudah kering. Ketiga, jika ingin memanfaatkan lahan gambut, maka salah satu cara yang bisa ditempuh adalah menerapkan paludikultur, yakni budi daya tanaman menggunakan jenis-jenis tanaman rawa atau tanaman lahan basah yang tidak memerlukan adanya drainase air gambut. ***