Peremajaan Sawit Rakyat Kian Mendesak

Peremajaan Sawit Rakyat Kian Mendesak

Peremajaan Sawit Rakyat Kian Mendesak

Selain memacu produktivitas dan produksi sawit nasional, peremajaan tanaman dinilai perlu untuk mendongkrak pendapatan petani. Langkah peremajaan juga menjadi pintu masuk menuju pengelolaan sawit rakyat yang berkelanjutan.

Besarnya dana yang tersedia dinilai belum dimanfaatkan secara optimal untuk peremajaan sawit rakyat. Salah satunya karena problem legalitas lahan pada kebun sawit rakyat di kawasan hutan. Padahal, selain mendongkrak produktivitas, peremajaan perlu sebagai pintu masuk mewujudkan sawit berkelanjutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.

Pemerintah menargetkan peremajaan (replanting) kebun sawit milik petani seluas 540.000 hektar hingga tahun 2024. Namun, menurut data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) sejak tahun 2016 hingga 30 Juni 2022 baru mencapai 256.744 hektar.

Salah satu pemicu lambatnya peremajaan adalah problem legalitas lahan sawit rakyat di kawasan hutan. Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya menjadi bagian upaya mempercepat peremajaan sawit rakyat.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, Kamis (18/8/2022), UU Cipta Kerja tidak serta-merta melepaskan lahan sawit dari kawasan hutan. ”Sebab dalam tata cara penyelesaian sawit dalam kawasan dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), ada poin-poin yang harus dipenuhi petani, salah satunya foto udara, sebelum dan setelah ditanam,” katanya.

Gulat menambahkan, pihaknya sudah beberapa kali audiensi dengan KLHK. Dari pertemuan itu, hal-hal yang masih jadi kendala sebenarnya bisa dibicarakan lagi. Namun, pada operasional di lapangan, semua masih terasa rumit dan sulit bagi petani. Oleh karena itu, petani perlu uluran tangan.

Sebulan terakhir, setelah komunikasi dengan KLHK, telah keluar peta indikatif bagi masyarakat yang telah memiliki sertifikat dan terindikasi di kawasan hutan. ”Semoga dalam waktu dekat bisa diusulkan untuk replanting. Namun, (luasnya) itu hanya nol sekian persen dari kebun sawit di kawasan hutan. Bagi yang bersertifikat, kami seharusnya bisa langsung dikeluarkan,” ujarnya.

Menurut catatan Apkasindo, dari total 6,7 juta hektar lahan sawit petani, ada sekitar 2,4 juta hektar di antaranya yang wajib diremajakan karena usia tanaman yang lebih dari 15 tahun. Penghitungan itu belum termasuk tanaman muda yang tak produktif. ”Kalau ini tak terselesaikan atau serapan PSR lambat, dampak pastinya biaya produksi semakin tinggi, berpengaruh pada pendapatan petani. Sebab, produktivitas stagnan atau turun, sedangkan biaya produksi naik,” katanya.

Menurut Gulat, persoalan lahan sawit di kawasan hutan memang menjadi otoritas KLHK. ”Namun, Kementerian Pertanian seharusnya mampu menggambarkan dan memberi bingkai persoalan. Sebab, program PSR kan ada di Kementerian Pertanian,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung berpendapat, peremajaan tanaman menjadi jalan masuk bagi teknologi dan inovasi baru untuk meningkatkan produktivitas. Selain menambah pendapatan petani, hal itu akan meningkatkan produksi minyak sawit Indonesia.

Selain itu, peremajaan menjadi jalan masuk menuju pengelolaan kebun sawit rakyat yang berkelanjutan. ”Di (peremajaan) itu kan diatur semua, seperti penggunaan bibit unggul, cara memupuk, mengelola, memanen, dan pada aspek keberlanjutan,” ujarnya.

Menurut Tungkot, persoalan legalitas lahan yang menghambat peremajaan perlu dituntaskan. Namun, hal itu tidak bisa diselesaikan petani karena merupakan urusan atau tanggung jawab pemerintah. Apabila persoalan peremajaan tak terselesaikan hingga 2025, bakal ada tanaman-tanaman sawit tua dan rentan di tahun itu. ”Itu berarti produktivitas sawit nasional drop dan kita akan kesulitan memperoleh produksi seperti saat ini. Pendapatan petani juga akan turun. Jadi, jika belum selesai, bisa menyisakan bom waktu,” katanya.

Sebelumnya, dalam Kompas Talks bertajuk ”Kondisi Perdagangan Kelapa Sawit Nusantara”, Kamis (21/7/2022), Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyoroti gap yang melebar antara produktivitas perusahaan besar swasta (PBS) dan perkebunan rakyat (PR), khususnya dalam dekade terakhir.

Ia menyampaikan, pada 2010, produktivitas PR mencapai 2,5 ton per hektar, sementara PBS 2,9 ton per hektar. Namun, pada 2021, produktivitas PR stagnan, yakni 2,75 ton per hektar, sedangkan PBS mencapai 3,84 ton per hektar. ”Ini menjadi persoalan kritis dan harus menjadi perhatian. Jangan sampai semakin turun, dengan segala alasan. Kita harus waspada,” kata Moeldoko.

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, saat dikonfirmasi mengenai titik temu dengan asosiasi petani soal sawit rakyat di kawasan hutan, hingga Kamis (18/8) malam, belum merespons. Demikian pula Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri dan Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto soal upaya pemerintah mendukung peremajaan sawit rakyat.

Menurut data BPDPKS, dari 2016 hingga 30 Juni 2022, realisasi penyaluran dana PSR mencapai 256.744 hektar untuk 112.414 pekebun dan dana Rp 7,01 triliun. Pada 2020 realisasinya mencapai 94.033 hektar, tetapi pada 2021 turun jadi 42.212 hektar.

Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizal Sutawijaya menuturkan telah melaksanakan program kemitraan dengan perusahaan sawit untuk peremajaan sawit rakyat. Selain percepatan PSR, kemitraan itu untuk memastikan kualitas sawit rakyat sama dengan kebun perusahaan mitranya.

Selain itu, PSR kemitraan juga ditempuh untuk mempermudah pencairan dana Rp 30 juta per hektar dari BPDPKS. Upaya lain ditempuh pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dengan peraturan itu, perusahaan sebagai inti bermitra dengan kelembagaan pekebun untuk mengusulkan PSR melalui kemitraan tanpa rekomendasi teknis Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.

Sementara itu, harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani belum sesuai harapan kendati sejumlah upaya telah ditempuh pemerintah. Selain mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunan, pemerintah juga mengupayakan percepatan dan menghapus pungutan ekspor agar pabrik-pabrik pengolah bisa menyerap lebih banyak TBS sawit petani.

Akan tetapi, upaya itu belum signifikan mengangkat harga TBS. Di Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, misalnya, TBS sawit petani hanya dihargai Rp 1.400 per kilogram (kg), jauh di bawah harga kesepakatan bersama Dinas Perkebunan Provinsi Jambi yang ditetapkan di atas Rp 2.000 per kg.

”Memang harga ketetapan terbilang tinggi, tetapi harga sawit petani ditentukan sepihak oleh pabrik,” kata Riswanto, Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Karya Mukti di Pelepat, Kabupaten Bungo, Kamis (18/8).

Sebagaimana di Jambi, para petani sawit di Kalimantan Tengah berharap harga TBS sawit lebih tinggi lagi. Menurut Wakil Ketua Dewan Pengurus Wilayah Apkasindo Kalimantan Tengan Hatir Tarigan, petani berharap pemerintah dapat segera menstabilkan harga TBS sawit. ”Petani juga perlu diberi subsidi agar dapat membeli pupuk,” ujarnya.

 

(IRMA TAMBUNAN/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO)
Sumber