Mendorong Pengembangan Bioplastik Sawit di Indonesia

Keunggulan utama bioplastik terletak pada ketersediaan bahan baku yang melimpah dan memiliki sifat renewable.

Mendorong Pengembangan Bioplastik Sawit di Indonesia
Bioplastik sawit memiliki keunggulan biaya yang kompetitif (low cost) karena faktor ketersediaan bahan baku yang melimpah.

Ketergantungan pada petroplastik menimbulkan masalah serius karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable), berasal dari turunan energi fosil, serta menghasilkan emisi karbon dioksida yang besar selama proses produksinya (Spierling et.al., 2018; Zheng dan Suh, 2019). Lebih lanjut, petroplastik memiliki sifat non-biodegradable dan membutuhkan waktu lebih dari 450 tahun untuk terurai secara alami. Akibatnya, sampah petroplastik terus terakumulasi, mencemari perairan, lautan, dan tanah di seluruh dunia.

PASPI Monitor (2025) dalam jurnal berjudul Bioplastik Sawit sebagai Substitusi Petroplastik mencatat bahwa produksi petroplastik global telah melonjak drastis dari sekitar dua juta ton pada tahun 1950 menjadi 475 juta ton pada tahun 2022 lalu. Peningkatan eksponensial ini, meskipun didominasi oleh lima negara produsen teratas seperti China, Amerika Serikat, India, Uni Eropa, dan Jepang, juga melibatkan Indonesia sebagai konsumen petroplastik yang signifikan dengan volume impor yang terus meningkat.

Stanton (2022) dalam jurnal berjudul 100 Ocean Plastic Pollution Statistics & Facts memperkirakan sekitar 50-70 triliun sampah petroplastik mencemari perairan global dan diproyeksikan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2040 mendatang. Adapun, saat ini upaya daur ulang petroplastik belum menjadi solusi efektif mengingat sekitar 85 persen konsumsi petroplastik dunia setiap tahun berakhir sebagai sampah (Hariz et.al., 2023).

Oleh karena itu, urgensi untuk mengembangkan plastik yang mudah terurai secara alamiah (biodegradable) dan dapat diperbarui (renewable) menjadi sangat tinggi. Pengembangan bioplastik yang renewable, biodegradable, dan rendah emisi adalah jawaban atas tantangan ini menjadikannya pengganti (substitusi) yang vital bagi petroplastik.

PASPI Monitor (2025) mencatat beberapa keunggulan bioplastik berbasis biomassa sawit yang menjadikannya alternatif superior dibandingkan petroplastik, terutama dalam konteks rantai pasok hulu-hilir yang berkelanjutan.

Keunggulan utama terletak pada ketersediaan bahan baku yang melimpah dan sifatnya yang renewable. Biomassa sawit, yang mencakup tandan kosong, cangkang, serat, batang, dan pelepah kelapa sawit, memiliki potensi produksi bahan kering sekitar 80,1 hingga 95,9 ton per hektare per tahun (Ng et.al., 2011; Hariz et.al., 2023).

Dengan luas kebun sawit dunia yang mencapai sekitar 27,4 juta hektare pada tahun 2024, potensi biomassa sawit global diperkirakan mencapai 2,16 hingga 2,6 miliar ton bahan kering setiap tahun. Ketersediaan bahan baku ini sepanjang tahun dan dalam jumlah besar serta sifatnya sebagai joint product dari minyak sawit menjadikan bioplastik sawit memiliki keunggulan biaya yang kompetitif (low cost) (PASPI Monitor, 2025).

Selain itu, bioplastik sawit memiliki jejak karbon yang jauh lebih rendah bahkan mendekati nol emisi karbon (zero atau low carbon), dibandingkan dengan petroplastik. Penggunaan bioplastik dapat menghemat emisi karbon sekitar 30-70 persen dibandingkan emisi petroplastik (Lackner, 2015). Jika 65,8 persen konsumsi petroplastik diganti dengan bioplastik maka diperkirakan akan menurunkan emisi gas rumah kaca global sekitar 241-316 ribu ton CO2 eq (Spierling et.al., 2018).

Keunggulan lingkungan lainnya adalah sifat biodegradabilitas bioplastik sawit. Jika petroplastik memerlukan sekitar 500 tahun untuk terdegradasi, bioplastik hanya memerlukan beberapa hari hingga beberapa bulan untuk terurai secara alami, tergantung jenisnya. Sebagai contoh, bioplastik golongan thermoplastic starch (TPS) memerlukan waktu degradasi sekitar 72-726 hari, polyhydroxyalkanoates (PHA, PHB, dan PHV) sekitar 15-280 hari, polylactic (PLA) sekitar 28-98 hari, cellulose-based polymers sekitar 14-154 hari, dan proteinbased polymers sekitar 36-50 hari (Costa et.al., 2023; Ashok et.al., 2018, dan Shafqat et.al., 2022).

Keunggulan lain yang penting adalah tidak adanya food-fuel trade-off karena bahan baku biomassa sawit tidak bersaing dengan kebutuhan pangan. Biomassa sawit merupakan green feedstock dan sumber daya yang dapat diperbarui, menjadikannya bagian integral dari konsep circular economy (Jabean et.al., 2015; Lackner, 2015).

Berbagai riset inovasi di bawah program Grant Riset Sawit (GRS) telah membuktikan bahwa pengolahan biomassa sawit dapat menghasilkan berbagai jenis bioplastik seperti polybutylene succinate (PBS), polylactic acid (PLA), polyhydroxyalkanoates (PHA), dan polyhydroxybutyrate (PHB). Polimer terbarukan ini dapat menjadi substitusi petroplastik seperti polyethylene (PE), polypropylene (PP), dan polystyrene (PS).

Pengembangan bioplastik sawit didukung oleh serangkaian inovasi teknologi yang signifikan, terutama melalui program Grant Riset Sawit (GRS) yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Inovasi-inovasi ini berfokus pada pemanfaatan biomassa sawit sebagai bahan baku utama untuk produksi polimer terbarukan yang dapat menggantikan petroplastik.

PASPI Monitor (2025) mencatat beberapa terobosan teknologi kunci meliputi: Pemanfaatan Berbagai Komponen Biomassa Sawit: Riset telah menunjukkan bahwa berbagai bagian biomassa sawit, seperti tandan kosong (empty fruit bunch), cangkang (oil palm kernel shell), serat (oil palm mesocarp fibre), batang kelapa sawit (oil palm trunk), dan pelepah sawit (oil palm fronds), dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku.

Komponen-komponen ini kaya akan selulosa, hemiselulosa, dan lignin, menjadikannya sangat potensial untuk produksi bioplastik.

Produksi Asam Laktat dari Selulosa: Salah satu inovasi penting adalah kemampuan menghasilkan asam laktat dari selulosa yang terkandung dalam tandan kosong sawit. Asam laktat ini merupakan bahan baku utama dalam pembuatan poli asam laktat (PLA), sejenis polimer biodegradable yang dapat menjadi alternatif pengganti polimer konvensional seperti polyethylene (PE), polypropylene (PP), polyethylene terephthalate (PET), dan polystyrene (PS). 

Pengembangan Berbagai Jenis Bioplastik: Melalui program GRS, berbagai penelitian telah berhasil memproduksi beragam jenis bioplastik dari biomassa sawit. Ini termasuk polybutylene succinate (PBS), polylactic acid (PLA), polyhydroxyalkanoates (PHA), dan polyhydroxybutyrate (PHB).

Keberhasilan ini menunjukkan fleksibilitas biomassa sawit dalam menghasilkan bioplastik dengan karakteristik yang berbeda untuk berbagai aplikasi.

Riset Terkait Degradasi Bioplastik: Studi inovatif telah dilakukan untuk mengukur waktu degradasi berbagai jenis bioplastik, memberikan data penting mengenai sifat biodegradabilitas produk yang dihasilkan. Misalnya, bioplastik golongan thermoplastic starch (TPS) memerlukan waktu degradasi sekitar 72-726 hari, polyhydroxyalkanoates (PHA, PHB, dan PHV) sekitar 15-280 hari, polylactic (PLA) sekitar 28-98 hari, cellulose-based polymers sekitar 14-154 hari, dan protein-based polymers sekitar 36-50 hari. Informasi-informasi tersebut sangat krusial untuk pengembangan bioplastik yang sesuai dengan kebutuhan end-of-life produk.

Inovasi-inovasi tersebut di atas tidak hanya membuktikan kelayakan teknis bioplastik sawit sebagai substitusi petroplastik, tetapi juga membuka jalan bagi pengembangan industri bioplastik yang lebih efisien dan berkelanjutan pada masa depan.

Berikut salah satu hasil riset terkait pengembangan bioplastik melalui program Grant Riset Sawit (GRS) yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Riset ini dihasilkan oleh Dina SF, Ginting TP, Hutajulu PE, Indriati L, Sitinjak M, Saragih G, Fernandez BR, Pratikha RS, Silalahi M (2024) berjudul Aplikasi Biodegradable Polimer Sintetik pada Pembuatan Paperbag dari Pulp Tandan Kosong Kelapa Sawit untuk Kemasan Pembibitan