Lumpur Sawit Dapat Dijadikan Sebagai Pakan Ayam Ras Petelur
Pemanfaatan lumpur sawit masih sangat terbatas sebagai pupuk atau humus karena belum ada pemanfaatan yang bernilai ekonomis.

Indonesia sebagai produsen minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) terbesar di dunia, menghasilkan produk utama berupa CPO mencapai sebanyak 50 juta ton setiap tahun.
Selain produk utama, hasil samping dari proses pemerasan buah sawit menjadi CPO tersebut menghasilkan lumpur sawit (solid decanter). Setiap unit produksi CPO dalam pemrosesannya menghasilkan sekitar 10% lumpur sawit (Asriani Hasanuddin, Rusdi, Minarny Gobel, dan Fatmawati Saloko, 2024 berjudul Produksi Telur Ayam Ras Fungsional Tinggi Antioksidan dan Rendah Kolesterol Melalui Pemberian Tepung Lumpur Sawit Hasil Biokonversi Kapang Neurospora SP pada 8th Pekan Riset Sawit Indonesia/PERISAI yang didanai oleh BPDP).
Lebih lanjut dijelaskan Hasanuddin, dkk (2024), pemanfaatan dari lumpur sawit masih sangat terbatas sebagai pupuk ataupun dibiarkan menjadi humus karena belum adanya pemanfaatan yang bernilai ekonomis. Di sisi lain, lumpur sawit masih mempunyai kandungan gizi yang cukup baik dan bisa dimanfaatkan sebagai pakan fungsional yang kaya akan betakaroten.
Namun dalam pemanfaatannya sebagai pakan unggas menghadapi kendala seperti serat kasar dan kadar air yang tinggi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut adalah melalui proses bioteknologi (biokonversi).
Biaya pakan merupakan modal terbesar dalam beternak di mana sekitar 60-70% modal berasal dari pakan sehingga biaya pakan menjadi penentu keberhasilan peternakan (Rasyaf, 2003). Ketersediaan pakan konvensional umumnya berfluktuatif karena perubahan iklim akan mempengaruhi produksi serta persaingan antar-peternak dalam memperoleh bahan pakan menyebabkan harga bahan pakan cenderung akan lebih mahal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan biaya ransum yaitu dengan cara pemanfaatan pakan non-konvensional seperti lumpur sawit ini.
Terkait hal tersebut, telah dilakukan serangkaian penelitian dengan memanfaatkan potensi limbah lumpur sawit dengan jalan mengurangi atau menekan kendala yang ada melalui proses biokonversi dengan menggunakan jamur atau kapang neurospora SP sebagai inokulum sehingga lumpur sawit yang telah mengalami proses biokonversi akan memberikan kualitas yang lebih baik dan akan menggantikan bahan pakan konvensional yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan pakan lokal untuk ternak unggas khususnya ayam petelur.
Penelitian ini merupakan laporan kemajuan penelitian tahun kedua yang juga didanai oleh BPDP dan bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan lumpur sawit hasil biokonversi dengan menggunakan kapang Neurospora SP dengan konsentrasi 8% (konsentrasi terbaik) pada hasil penelitian tahun pertama, terhadap penampilan dan kualitas telur ayam ras petelur.
Perlakuan diberikan kepada sebanyak 200 ekor ayam petelur periode pullet yang dipelihara selama 18 minggu. Perlakuan tersebut diterapkan dengan menempatkan ayam ke dalam lima kelompok perlakuan dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat ulangan masing-masing 10 ekor perulangan.
Parameter yang diamati meliputi:
- penampilan produksi telur antara lain: konsumsi ransum, produksi telur, massa telur, konversi ransum (FCR), IOFC, dan mortalitas;
- karateristik telur ayam meliputi: bobot telur, indeks albumin, indeks yolk, bobot albumin, bobot yolk, bobot cangkang, ketebalan cangkang, dan warna yolk;
- profil darah antara lain leukosit, limposit, monosit, eritrosit, haemoglobulin, trombosit, kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida. Untuk kandungan beta karoten, antioksidan, kolesterol, profil asam lemak dan asam amino telur masih dalam proses (menyusul kemudian).
Berdasarkan hasil penelitian, Hasanuddin, dkk (2024) memperoleh bahwa penggunaan 24% limbah lumpur sawit yang sudah melalui proses biokonversi di dalam ransum dapat mempertahankan/meningkatkan penampilan produksi ayam petelur.
Sementara untuk pengaruh terhadap karakteristik telur ayam tidak ada perbedaan yang nyata antar-perlakuan pada peubah bobot telur, indeks albumin, indeks yolk, bobot albumin, bobot cangkang. Sedangkan ketebalan cangkang dan warna yolk menunjukkan ada perbedaan yang nyata.
Untuk kandungan beta karoten dalam kuning telur diperoleh nilai tertinggi pada penggunaan solid decanter 24% (L4) yakni sebesar 4,69 mg/100g dan terendah diperoleh pada perlakuan control (L0) yakni sebesar 1,91 mg/100gr.
Sementara untuk aktivitas antioksidan diperoleh kecenderungan yang sama yakni nilai tertinggi pada perlakuan L4 yang ditunjukkan dengan nilai IC50 terendah yakni sebesar 82,27 ppm dan aktivitas antioksidan terendah diperoleh pada perlakuan L0 yang diperlihatkan dengan nilai IC50 tertinggi yakni sebesar 163,69 ppm (Hasanuddin, dkk., 2024).
Hasil analisis terhadap profil darah sebelum pemberian perlakuan lumpur sawit proses biokonversi menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap leukosit, limposit, monosit, eritrosit, haemoglobin, trombosit, dan HDL. Sedangkan terhadap kolesterol, LDL, dan tergliserida tidak ada perbedaan yang nyata (Hasanuddin, dkk., 2024).
Hasil penelitian Hasanuddin, dkk (2024) menyimpulkan bahwa penggunaan lumpur sawit hasil biokonversi dengan Neurospora SP dalam ransum sampai pada konsentrasi 24% dapat digunakan, karena tidak memberikan efek yang negatif terhadap semua parameter yang diukur.