Kontribusi Industri Sawit dalam Pilar Pembangunan Lingkungan
Kontribusi besar industri sawit nasional terhadap lingkungan mencakup berbagai macam hal mulai dari menghasilkan sumber energi ramah lingkungan hingga mendukung kelestarian lingkungan.
Industri kelapa sawit yang merupakan salah satu sektor strategis di Indonesia telah terbukti memberikan kontribusi signifikan sebagai pilar pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam aspek lingkungan.
PASPI (2024) dalam jurnal berjudul Capaian SDGS Industri Sawit Nasional mengatakan kontribusi besar industri sawit nasional terhadap lingkungan mencakup berbagai macam hal mulai dari membentuk konservasi siklus hidrologis, menghasilkan sumber energi ramah lingkungan, menjadi bagian dari solusi mitigasi perubahan iklim, mendukung pelestarian keanekaragaman hayati, hingga mendukung kelestarian lingkungan.
Berikut ini ulasan mengenai kontribusi industri sawit nasional terhadap pilar pembangunan lingkungan.
Membentuk Konservasi Siklus Hidrologis. Perkebunan kelapa sawit berperan dalam konservasi siklus hidrologis melalui struktur morfologi tanaman (PASPI, 2023). Struktur pelepah yang berlapis (Turner dan Gillbanks, 1974; Harahap, 2006; Pambudi et al., 2016) serta sistem perakaran serabut yang masif dan dalam membentuk biopori alami (Harahap, 2007; Harianja, 2009) sehingga meningkatkan kapasitas penyerapan air (water holding capacity), mengurangi limpasan permukaan (run-off), serta meminimalkan erosi tanah.
Menghasilkan Sumber Energi Ramah Lingkungan. Kontribusi industri sawit juga ditunjukkan melalui pemanfaatan biomassa dan limbah sawit sebagai sumber energi listrik bagi desa sekitar perkebunan. Teknologi methane capture pada pengolahan limbah palm oil mill effluent atau POME telah dimanfaatkan untuk menyediakan energi listrik (PASPI Monitor, 2020c).
Menjadi Bagian dari Solusi Mitigasi Perubahan Iklim. Industri sawit memiliki peran dan kontribusi sebagai bagian dari solusi mitigasi perubahan iklim (PASPI Monitor, 2023a; 2024f). Hal tersebut dihasilkan melalui lima fungsi utama yakni (1) sebagai penyerap karbon (carbon sink) (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023f); (2) aforestasi melalui peningkatan stok karbon lahan; dan (3) penyedia energi terbarukan beremisi lebih rendah dibanding energi fosil (Beyer et al., 2020; Beyer dan Rademacher, 2021; PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023e).
Kemudian (4) penyedia pangan beremisi relatif rendah dibanding minyak nabati substitusi (PASPI, 2023) serta (5) peningkatan teknologi dan tata kelola rantai pasok untuk menurunkan emisi dan memperbesar serapan karbon bersih (net carbon sink) industri (PASPI Monitor, 2021f; 2023c).
Mendukung Pelestarian Keanekaragaman Hayati. Perkebunan sawit telah terbukti mampu mendukung pelestarian keanekaragaman hayati di dunia melalui lima mekanisme utama yaitu (1) pengembangan varietas tanaman sawit; (2) penerapan high carbon stock (HCS) dan high conservation value (HCV), (3) regrowth biodiversity, (4) pengembangan cover crop dan daur ulang biomassa, serta (5) integrasi tanaman pangan–ternak–sawit.
Berbagai mekanisme tersebut menunjukkan bahwa produksi minyak sawit relatif memiliki risiko kehilangan biodiversitas yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan minyak nabati lain (Beyer et al., 2020; Beyer dan Rademacher, 2021).
Selain itu, keberadaan perkebunan sawit di wilayah pedesaan berpotensi untuk mendukung pelestarian satwa liar melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan penurunan tingkat kemiskinan serta program corporate social responsibility atau CSR perusahaan (PASPI Monitor, 2024d).
Mendukung Kelestarian Lingkungan. Kemudian industri sawit berkomitmen untuk menerapkan sistem produksi berkelanjutan melalui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO dan Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO (PASPI, 2023). Upaya perbaikan tata kelola melalui penguatan ISPO dan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) mendorong peningkatan produktivitas melalui intensifikasi tanpa perluasan lahan sehingga dapat menekan deforestasi sekaligus melestarikan biodiversitas secara berkelanjutan.
Industri sawit juga memproduksi biosurfaktan dan bioplastik yang memiliki sifat mudah terurai secara hayati atau biodegradable (PASPI Monitor, 2020c; PASPI, 2023). Hal tersebut menjadi alternatif ramah lingkungan terhadap produk berbasis fosil yang bersifat non-degradable.

































