Kontribusi Industri Sawit dalam Pembangunan Pilar Ekonomi dan Sosial Indonesia

Industri sawit telah membuktikan diri sebagai bagian dari solusi pencapaian SDGs melalui kontribusi dalam pembangunan pilar ekonomi dan sosial.

Kontribusi Industri Sawit dalam Pembangunan Pilar Ekonomi dan Sosial Indonesia
Suasana di perkebunan kelapa sawit. Industri sawit telah membuktikan diri sebagai bagian dari solusi pencapaian SDGs melalui kontribusi dalam pembangunan pilar ekonomi dan sosial.

Sebagai salah satu industri strategis nasional, industri sawit telah membuktikan dirinya sebagai bagian dari solusi pencapaian SDGs melalui kontribusi dalam pembangunan pilar ekonomi dan sosial.

Berdasarkan studi atau kajian empiris menunjukkan industri sawit telah berkontribusi pada pencapaian 16 tujuan dari 17 tujuan SDGs baik pada tingkat lokal, daerah, nasional, hingga global (PASPI, 2024). Adapun, uraian kontribusi pada masing-masing pilar pembangunan yang dimaksud dijelaskan PASPI (2024) dalam jurnal berjudul Capaian SDGs Industri Sawit Nasional sebagai berikut.

Pilar Pembangunan Ekonomi. Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-7 (affordable and clean energy) ditunjukkan dengan produk biofuel/bioenergi berbasis minyak sawit (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023e). Saat ini, biodiesel sawit banyak digunakan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.

Pengembangan biodiesel sawit di Indonesia melalui program mandatori mampu menyediakan alternatif biofuel yang renewable dan rendah emisi dengan harga yang cukup kompetitif dan terjangkau bagi masyarakat. Pada level global, minyak sawit banyak digunakan sebagai bahan oleh industri biodiesel karena harganya yang relatif kompetitif, volume besar, dan pasokan yang stabil sepanjang tahun (Mekhlief et.al., 2021; PASPI Monitor, 2021d; PASPI, 2023).

Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-8 (decent work and economic growth) ditunjukkan berbagai studi empiris. Sektor industri perkebunan sawit secara keseluruhan mampu menciptakan kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja secara langsung di kawasan pedesaan dan perkotaan (Rifin, 2011; PASPI, 2014; Syahza dan Asmit, 2019; PASPI, 2023) maupun di negara-negara importir sawit di dunia (European Economics, 2016; PASPI Monitor, 2021b; PASPI, 2023).

Perkebunan sawit juga mampu menjadi lokomotif yang inklusif bagi perkembangan sektor ekonomi lain sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi kawasan pedesaan yang kemudian menciptakan efek domino bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional (Tomic dan Mawardi, 1995; Sato, 1997; Susila, 2004; Susila dan Munadi, 2008; World Growth, 2011; Sipayung, 2012; PASPI, 2014, 2023; Kasryno, 2015; Haryanti et.al., 2022).

Kontribusi industri sawit pada level global juga ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan dan penerimaan pajak akibat kegiatan impor dan hilirisasi sawit di negara importir (European Economics, 2016; Shigetomi et al., 2020; PASPI Monitor, 2021c; PASPI, 2023).

Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-9 (industry, innovation, and infrastructure) ditunjukkan dengan perkembangan hilirisasi sawit domestik. Secara umum, hilirisasi minyak sawit yang sedang berlangsung di Indonesia dapat dikelompokkan atas tiga jalur hilirisasi (Sipayung, 2018; PASPI, 2023) yakni oleo food complex, oleochemical complex, dan biofuel complex.

Kinerja perkembangan hilirisasi sawit domestik menunjukkan manfaat bagi perekonomian Indonesia seperti meningkatkan devisa ekspor, nilai tambah, pendapatan, dan kesempatan kerja (PASPI Monitor, 2023g, 2024a, 2024h).

Capaian yang demikian merupakan hasil inovasi yang dilakukan para periset, akademisi, lembaga penelitian, dan lain-lain yang juga didukung oleh grand policy atau kebijakan hilirisasi sawit nasional.

Salah satu contoh konkret dari perkembangan hilirisasi sawit yang memberikan manfaat ekonomi secara nyata yakni melalui program biodiesel. Pengembangan biodiesel dengan program mandatori B30/B35 pada tahun 2023 (PASPI Monitor, 2024j) mampu menghemat devisa solar impor sebesar Rp121,5 triliun; menciptakan nilai tambah sebesar Rp15,9 triliun; serta menciptakan kesempatan kerja sebanyak 1,5 juta orang pada level kebun (on farm) dan 11,6 ribu orang pada level industri (off farm).

Selain itu, pengembangan perkebunan sawit di daerah pelosok, terisolir, dan terbelakang juga turut membangun infrastruktur yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Infrastruktur yang dimaksud seperti jalan/jembatan masuk maupun fasilitas sosial lainnya seperti sekolah, klinik, rumah ibadah, saluran pipa air/sanitasi, koneksi listrik, dan koneksi telepon/internet (PASPI, 2014; Marwan et.al., 2016; Satria, 2017; Krishna et.al., 2017; Baihaqi, 2019).

Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-10 (reduced inequalities) ditunjukkan dengan perannya dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi inklusif (PASPI, 2023).

Perkembangan perkebunan sawit tidak hanya menjadi sumber pendapatan bagi pelaku usaha yang terlibat langsung (petani sawit dan karyawan korporasi perkebunan), tetapi juga turut dinikmati oleh masyarakat lain yang bekerja di sektor ekonomi lain di kawasan pedesaan (Rifin, 2011; Budidarsono et.al., 2012; PASPI, 2014; Syahza, 2013; Gatto et.al., 2017; Edwards, 2019; PASPI, 2023).

Perkebunan sawit juga menjadi lokomotif yang mengintegrasikan ekonomi daerah sawit dengan daerah non-sawit melalui transaksi produk pertanian dengan masyarakat pedesaan (sentra pangan, perikanan, peternakan) dan produk industri dengan masyarakat perkotaan (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023d).

Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-17 (partnership for the goals) ditunjukkan pada berbagai level mulai dari lokal, nasional, maupun global. Pada level lokal, terdapat kemitraan perkebunan sawit antara korporasi (negara dan swasta) dengan rakyat (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2024e) dan kemitraan antar-petani sawit rakyat melalui poktan/gapoktan dan koperasi.

Hal yang serupa juga terjadi level korporasi yang ditunjukkan dengan kemitraan antar-sesama pekerja melalui serikat buruh atau asosiasi pekerja maupun kemitraan antar-korporasi dengan serikat buruh tersebut. Sementara pada level nasional juga ditunjukkan dengan terbentuknya berbagai asosiasi pelaku usaha industri sawit seperti Gapki, Apkasindo, GIMNI, AIMMI, APROBI, APOLIN, RSI, DMSI, dan lain-lain.

Pada level global juga ditunjukkan oleh kerja sama Indonesia, Malaysia, dan negara-negara produsen minyak sawit lainnya yang tergabung dalam Council of the Palm Oil Producing Countries (CPOPC).

Pilar Pembangunan Sosial. Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-1 (no poverty) baik pada level lokal hingga nasional/negara (PASPI, 2023). Misalnya pada level lokal, peningkatan pendapatan masyarakat desa yang dihela perkebunan sawit terbukti mampu berkontribusi pada pengurangan kemiskinan pedesaan (Syahza, 2005, 2013; Rist et.al., 2010; Alwarritzi et.al., 2015; Dib et.al., 2018; Santika et.al., 2020).

Studi empiris lainnya seperti PASPI (2014), Kasryno (2015), dan Edwards (2019) bahkan mengungkapkan bahwa laju penurunan kemiskinan pada kabupaten-kabupaten yang memiliki kebun sawit terbesar (sentra sawit) lebih cepat dibandingkan kabupaten-kabupaten yang tidak memiliki kebun sawit.

Demikian juga pada level nasional, studi Susila dan Munadi (2008), World Growth (2011), Joni (2012), PASPI (2014), TNP2K (2019) mengungkapkan bahwa peningkatan produksi minyak sawit nasional berkontribusi pada pengurangan kemiskinan.

Peranan perkebunan sawit dalam pengurangan kemiskinan juga signifikan terjadi di negara-negara produsen minyak sawit lainnya seperti di Malaysia (Norwana et.al., 2011), Nigeria (Adebo et.al., 2015), Ghana (Ayodele, 2010), dan Kolombia (Potter, 2020).

Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-2 (zero hunger) ditunjukkan dengan kehadiran berbagai produk pangan berbasis sawit. Minyak sawit memiliki berbagai keunggulan dari sisi komposisi seperti asam lemak jenuh dan tak jenuh yang unik dan seimbang sehingga menjadikannya sebagai bahan baku produk turunan yang serba guna dan luasnya pengaplikasian dalam produk pangan (PASPI, 2023).

Minyak sawit juga memiliki keunggulan lain (PASPI Monitor, 2024g) seperti harganya yang relatif lebih kompetitif (murah), pasokan dalam volume besar, dan stabil sepanjang tahun sehingga harga produk pangan olahan minyak sawit relatif lebih murah dibandingkan harga produk olahan minyak nabati lainnya.

Hal ini dapat meningkatkan kemampuan daya beli dan keterjangkauan (affordability) dari seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin di berbagai dunia (PASPI, 2023).

Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-3 (good health and wellbeing) ditunjukkan dari ketersediaan produk pangan bergizi dan kehadiran infrastruktur kesehatan di kawasan pedesaan. Minyak sawit memiliki kandungan gizi dan nutrisi yang tinggi (PASPI, 2023) karena "lumbung" vitamin A (Nagendran et.al., 2000; Mayamol et.al., 2007; Mukherjee dan Mitra, 2009; Hariyadi, 2010; Dauqan et.al., 2011) dan vitamin E (Chow, 1992; Sheppard et.al., 1993; EFSA, 2008), diperkaya dengan senyawa bioaktif/fitonutrien seperti fitosterol, squalene, coenzym Q10, phenolics, ubiquinone (Goh et.al., 1985; Tay et.al., 2000; Mukherjee dan Mitra, 2009; Loganathan et.al., 2010, 2017; Kumar dan Krishna, 2014; Hariyadi, 2020), memiliki komposisi asam lemak yang seimbang, serta mengandung asam lemak esensial (Hariyadi, 2010) sehingga produk pangan berbasis minyak sawit juga dapat memiliki nutrisi/gizi yang dapat bermanfaat bagi kesehatan.

Bahkan dengan teknologi pengolahan yang tepat, minyak sawit dapat diolah untuk menghasilkan produk yang tetap mempertahankan tingginya kandungan nutrisi/gizi seperti minyak makan merah (PASPI Monitor, 2023i).

Selain itu, kontribusi industri sawit di bidang kesehatan juga telah dibuktikan melalui peranannya dalam meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan masyarakat pedesaan sekitar perkebunan sawit kepada fasilitas kesehatan (PASPI, 2023). Perusahaan perkebunan sawit menyediakan fasilitas kesehatan (klinik/puskesbun) yang dapat diakses oleh karyawan perusahaan atau memberikan bantuan/fasilitas kesehatan bagi masyarakat sekitar melalui program corporate social responsibility (CSR).

Peningkatan pendapatan dari perkebunan sawit maupun sektor ekonomi lainnya yang berkembang di sekitar perkebunan sawit juga dapat meningkatkan akses petani, karyawan perusahaan perkebunan, dan masyarakat terhadap fasilitas dan layanan kesehatan (PASPI, 2024).

Kontribusi perkebunan sawit dalam pencapaian SDG-4 (quality education) ditunjukkan dengan ketersediaan dan keterjangkauan petani sawit dan karyawan perusahaan perkebunan maupun masyarakat sekitar terhadap fasilitas pendidikan (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2024b).

Peranan tersebut ditunjukkan dengan menyediakan (availability) fasilitas pendidikan melalui pembangunan fasilitas sekolah di kawasan perkebunan sawit dan program CSR perusahaan untuk membantu pengadaan fasilitas di sekolah daerah sekitar perkebunan sawit (Rist et.al., 2010; PASPI, 2014; Budidarsono et.al., 2012; Santika et.al., 2019; Syahza et.al., 2020).

Peranan lainnya dari perkebunan sawit adalah meningkatkan keterjangkauan (affordability) pendidikan melalui peningkatan pendapatan maupun pemberian beasiswa yang disediakan oleh perusahaan perkebunan sawit melalui program CSR dan beasiswa pendidikan oleh BPDP. 

Kontribusi industri sawit dalam pencapaian SDG-5 (gender equality) ditunjukkan dengan diberikannya peluang dan tempat yang sama terhadap gender laki-laki dan perempuan untuk berkarier di sektor hulu, kebun, hingga hilir sawit sesuai dengan core competency-nya, tingkat risiko pekerjaan, dan diberikan hak-hak yang sama (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2024c).

Bahkan bagi pekerja perempuan, perusahaan perkebunan sawit juga melindungi dan memberikan hak-hak dasar wanita seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Upaya dan komitmen terkait perlindungan dan kesetaraan gender juga telah diatur dalam sistem sertifikasi ISPO (Perpres Nomor 44 Tahun 2020 dan Permentan Nomor 38 Tahun 2020) serta Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Inpres Nomor 6 Tahun 2019).