Hasil Riset Buktikan Bahwa Minyak Sawit Paling Sustainable Dibandingkan Minyak Nabati Lain
Meskipun memiliki luas areal paling kecil dibandingkan minyak nabati lain, namun minyak sawit mencatatkan keunggulan dari segi volume produksi.

Minyak nabati merupakan salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat dunia. Minyak nabati digunakan sebagai bahan pangan sumber lemak/minyak, bahan baku industri oleokimia, dan bahan baku biofuel.
Sepanjang peradaban, masyarakat dunia telah mengembangkan sumber-sumber minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, minyak kelapa, minyak zaitun, minyak kacang tanah, minyak biji kapas, minyak jagung, dan lain-lain.
Dari berbagai macam jenis minyak nabati dunia, terdapat empat minyak nabati utama dunia yakni minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Keempat jenis minyak nabati utama tersebut mencakup sekitar 90 persen volume produksi dan konsumsi minyak nabati dunia (PASPI, 2023).
Berdasarkan data terbaru USDA (2024), luas areal tanaman kedelai tahun 2023 telah mencapai 139,7 juta hektare. Kemudian disusul luas tanaman rapeseed yang mencapai 41,5 juta hektare, dan tanaman bunga matahari mencapai 28,2 juta hektare. Sementara itu, luas areal perkebunan kelapa sawit dunia hanya mencapai 26,9 juta hektare.
Meskipun luas areal kebun sawit dunia paling kecil dibandingkan luas tanaman minyak nabati utama lainnya, namun dari segi volume produksi, minyak sawit mencatatkan keunggulan. Berdasarkan data USDA (2024), pada tahun 2023 volume produksi minyak nabati terbesar berturut-turut adalah minyak sawit (88,4 juta ton); minyak kedelai (62,4 juta ton); minyak rapeseed (34 juta ton); dan minyak bunga matahari (21,8 juta ton).
Selain paling produktif, minyak sawit juga paling sustainable dibandingkan minyak nabati utama dunia lainnya. Dalam policy brief PASPI (2024) berjudul Minyak Sawit Anugerah Tuhan untuk Masyarakat Dunia disebutkan bahwa tingkat sustainability minyak sawit tersebut dibuktikan melalui berbagai hasil riset yang dilakukan oleh ahli dengan mempertimbangkan banyak aspek, sebagai berikut.
Pertama, indeks deforestasi. Indikator indeks deforestasi dapat digunakan terkait seberapa besar deforestasi yang terjadi untuk setiap ton minyak nabati yang dihasilkan (PASPI, 2023).
Untuk setiap ton produksi minyak nabati, tanaman sawit hanya membutuhkan lahan seluas 0,3 hektare. Sedangkan setiap ton minyak nabati yang dihasilkan dari minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari memerlukan lahan berturut-turut seluas 2,1 hektare; 1,4 hektare; dan 1,3 hektare.
Dengan demikian, minyak nabati dari sawit jauh lebih sedikit menggunakan lahan dibandingkan minyak nabati lainnya. Jika masyarakat dunia ingin mengonsumsi minyak nabati yang relatif hemat deforestasi maka pilihannya adalah minyak sawit (PASPI, 2024).
Kedua, hemat biodiversity loss. Beyer et.al., (2020) dan Beyer & Rademacher (2021) telah melakukan studi tentang komparasi biodiversity loss global antar-minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversi menjadi tanaman minyak nabati.
Studi tersebut mengukur indikator jejak (footprint) species richness loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan sebagai ukuran biodiversity loss. Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa SRL minyak sawit secara relatif lebih rendah dibandingkan SRL minyak bunga matahari, minyak rapeseed, dan minyak kedelai.
Bagi masyarakat dunia yang berkomitmen melestarikan biodiversitas maka konsumsilah minyak nabati yang secara relatif lebih rendah biodiversity loss-nya yakni minyak sawit (PASPI, 2023).
Ketiga, hemat emisi. Studi Beyer et.al., (2020) dan Beyer & Rademacher (2021) menemukan bahwa minyak sawit juga merupakan minyak nabati yang produksi minyak per liternya menghasilkan emisi yang secara relatif paling rendah dibandingkan tiga minyak nabati utama dunia lainnya.
Ranking indikator emisi terendah sampai tertinggi secara berturut-turut adalah minyak sawit, minyak bunga matahari, minyak rapeseed, minyak zaitun, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak kacang tanah (PASPI, 2023).
Keempat, hemat polusi tanah/air. Untuk memproduksi minyak nabati digunakan input produksi seperti pupuk dan pestisida. Input produksi yang diaplikasikan pada tanaman tersebut sebagian terserap dan sebagian lagi akan menjadi residu/polutan yang mencemari tanah atau air (PAPSI, 2024).
Berdasarkan data FAO (2013), diketahui bahwa polusi tanah/air terendah akibat produksi setiap liter minyak nabati adalah minyak sawit. Sedangkan polusi tanah/air yang dihasilkan dari produksi setiap liter minyak rapeseed dan minyak kedelai jauh lebih tinggi dibandingkan minyak sawit (PASPI, 2023).
Kelima, hemat air. Mekonnen & Hoekstra (2010) dan Safitri et.al., (2018) melakukan studi dengan menggunakan indikator water footprint untuk mengetahui total volume air yang digunakan komoditas pertanian untuk memproduksi suatu produk, termasuk dalam produksi minyak nabati.
Berdasarkan hasil studi tersebut ditemukan bahwa di antara tanaman minyak nabati dunia, tanaman dengan water footprint terbesar secara berturut-turut adalah bunga matahari (3.366 m3/ton), kemudian disusul oleh rapeseed (2.271 m3/ton), dan kedelai (2.145 m3/ton).
Sementara itu, water footprint pada kelapa sawit hanya sebesar 1.098 m3/ton. Hal ini menunjukkan bahwa produksi minyak sawit menggunakan air yang relatif lebih sedikit dibandingkan tanaman minyak nabati utama dunia (PASPI, 2023).
Dengan demikian, sangat jelas terlihat bahwa jika masyarakat ingin mengonsumsi minyak nabati yang secara relatif hemat deforestasi, rendah biodiversity loss, hemat emisi, hemat polusi, dan hemat air, maka pilihannya adalah minyak sawit.
Tuhan telah menganugerahkan minyak sawit untuk masyarakat dunia, di mana minyak sawit tidak hanya minyak nabati yang lebih ramah lingkungan, tetapi juga mencegah makin buruknya kualitas lingkungan akibat produksi minyak nabati (PASPI, 2024).
Senada dengan pandangan berbagai ahli seperti Corley (2009) dan Rum et.al (2022) yang menyimpulkan bahwa minyak sawit dengan segala keunggulan dan kekurangannya merupakan minyak nabati untuk masyarakat dunia yang belum tergantikan hingga saat ini.