Kelapa Sawit Sebagai Pahlawan Devisa Indonesia
Industri kelapa sawit memberi kontribusi signifikan sebagai sumber devisa yang mendukung pertumbuhan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Industri kelapa sawit merupakan salah satu sektor strategis nasional yang memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu pilar utama perekonomian, industri ini memberikan kontribusi signifikan sebagai sumber devisa negara yang mendukung pertumbuhan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
PASPI Monitor (2025) dalam jurnal berjudul Sawit Pahlawan Devisa Indonesia mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama penyumbang devisa bagi Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh peran strategis industri kelapa sawit sebagai sumber devisa dalam mendukung neraca perdagangan nasional (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023a).
Kontribusi tersebut terealisasi melalui dua mekanisme utama, yakni devisa ekspor dan devisa substitusi impor. Berikut ini ulasan mengenai kontribusi kelapa sawit sebagai sumber devisa nasional yang dirangkum dari jurnal PASPI sebagai berikut.
Devisa Ekspor. Peran industri kelapa sawit sebagai salah satu sumber devisa utama bagi Indonesia telah banyak dibahas dalam berbagai studi empiris (World Growth, 2011; Rifin, 2012; Sipayung, 2018). Produk kelapa sawit tercatat sebagai komoditas pertanian dengan nilai ekspor terbesar bagi Indonesia selama dua dekade terakhir (Edwards, 2019). Terlebih sejak penerapan kebijakan perdagangan kelapa sawit yang berorientasi ekspor pada tahun 2000, industri ini terbukti mampu menjadi sumber devisa yang andal dan berkelanjutan bagi perekonomian nasional.
Devisa ekspor minyak sawit serta produk turunannya terus mengalami peningkatan hingga berhasil mencetak surplus besar pada neraca perdagangan non-migas. Nilai ekspor produk sawit meningkat dari sekitar US$1 miliar (Rp16 triliun) pada tahun 2000 menjadi US$28,3 miliar (Rp466 triliun) pada tahun 2024.
Bahkan, devisa ekspor produk sawit pernah mencapai rekor tertinggi yaitu US$39 miliar (Rp641 triliun) pada tahun 2022 (PASPI, 2025). Pasar utama ekspor produk sawit Indonesia pada tahun 2024 adalah China (20,4%); India (15,1%); EU-27 (10,4%); Pakistan (9,3%); dan Amerika Serikat (6,9%).
Tidak hanya mengalami peningkatan secara kuantitatif, devisa ekspor produk kelapa sawit juga menunjukkan peningkatan kualitas. Hal ini tercermin dari semakin besarnya porsi ekspor yang berasal dari produk hasil hilirisasi kelapa sawit di dalam negeri, baik dalam bentuk produk olahan (refined palm oil dan refined palm kernel oil, RPO dan RPKO) maupun produk jadi, dibandingkan ekspor bahan mentah (crude palm oil dan crude palm kernel oil, CPO dan CPKO).
Berdasarkan perbandingan pangsa ekspor pada tahun 2011 dan 2024, pangsa ekspor produk olahan kelapa sawit (RPO dan RPKO) mengalami kenaikan signifikan dari 41 persen menjadi 74 persen.
Demikian juga dengan pangsa ekspor produk jadi berbasis sawit (oleokimia dan biodiesel) yang juga mengalami peningkatan dari 7 persen menjadi 16 persen. Di sisi lain, pangsa ekspor produk mentah (CPO dan CPKO) menunjukkan penurunan yakni dari 52 persen menjadi 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi sawit domestik berhasil.
Devisa ekspor produk sawit mempengaruhi neraca perdagangan melalui neraca non-migas secara signifikan. Besarnya devisa ekspor produk sawit menyebabkan neraca perdagangan non-migas terus mencetak surplus besar. Tanpa kontribusi devisa ekspor produk sawit, neraca perdagangan non-migas akan jauh lebih rendah bahkan mengalami defisit. Misalnya, pada tahun 2024 neraca perdagangan non-migas dengan produk sawit sebesar US$51,4 miliar (Rp844,8 triliun), sedangkan neraca perdagangan non-migas tanpa produk sawit hanya sekitar US$23,1 miliar (Rp379,2 triliun).
Devisa Substitusi Impor. Industri kelapa sawit juga berkontribusi pada neraca perdagangan migas melalui biodiesel dan program mandatori biodiesel di Indonesia. Salah satu tujuan pengembangan biodiesel sawit di Indonesia adalah untuk mengurangi ketergantungan solar fosil impor (PASPI Monitor, 2023b). Penggunaan biodiesel sawit untuk menyubstitusi solar fosil impor mampu menghemat devisa yang digunakan untuk mengimpor solar fosil.
Peran biodiesel sawit sebagai instrumen substitusi energi impor terlihat jelas dalam neraca perdagangan migas Indonesia. Defisit neraca perdagangan migas menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Namun demikian, jika mempertimbangkan keberadaan biodiesel sawit maka defisit migas menjadi jauh lebih rendah dibandingkan jika biodiesel sawit tidak diperhitungkan.
Misalnya, pada tahun 2024, neraca perdagangan migas dengan biodiesel sawit mengalami defisit sebesar US$20,4 miliar (Rp334,3 triliun), sedangkan defisit neraca perdagangan migas tanpa biodiesel sawit lebih tinggi, yakni sebesar US$28,5 miliar (Rp468 triliun).
Total kontribusi industri sawit baik melalui devisa ekspor produk sawit maupun biodiesel sawit mampu menciptakan surplus besar pada neraca perdagangan Indonesia. Tanpa keberadaan kelapa sawit (devisa ekspor dan biodiesel), neraca perdagangan Indonesia akan mengalami defisit. Misalnya, dalam neraca perdagangan tahun 2024, dengan memperhitungkan sawit dan biodiesel, Indonesia mencatat surplus sebesar US$31 miliar (Rp508,8 triliun). Tanpa kontribusi sawit tersebut, neraca perdagangan nasional akan mengalami defisit sebesar US$5,3 miliar (Rp87 triliun).
Uraian di atas menegaskan bahwa industri sawit berkontribusi besar dalam memperbaiki neraca perdagangan Indonesia dengan menutup defisit maupun memperbesar surplus perdagangan (PASPI, 2024).
Bagi negara Indonesia, surplus perdagangan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembiayaan berbagai sektor perekonomian. Dampak lanjutan dari kondisi tersebut tercermin dalam peningkatan kapasitas perekonomian nasional yang diwujudkan melalui pembukaan lapangan kerja, pertumbuhan volume produksi barang dan jasa, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat (PASPI, 2024).