Dampak Positif Kelapa Sawit Terhadap Perekonomian Nasional

Industri kelapa sawit merupakan industri strategis yang memiliki peran penting dan kontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia.

Dampak Positif Kelapa Sawit Terhadap Perekonomian Nasional
Ilustrasi kelapa sawit. Industri sawit Indonesia memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Industri sawit merupakan salah satu industri strategis dalam perekonomian Indonesia. Pengembangan industri sawit yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia turut berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi regional, peningkatan kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan, maupun sumber devisa. Selain itu, jutaan orang penduduk Indonesia juga bergantung secara ekonomi pada industri sawit.

Berdasarkan studi PASPI (2021) dalam laporan berjudul Economic Sustainability Industri Sawit Indonesia: Review dan Isu Strategis diketahui, dalam 20 tahun terakhir, perkebunan sawit Indonesia mengalami pertumbuhan yang mengagumkan. Luas areal kebun sawit Indonesia meningkat empat kali lipat dari sekitar 4,1 juta hektare pada tahun 2000 menjadi 16,3 juta hektare pada tahun 2020. Produksi minyak sawit (CPO) juga mengalami peningkatan 7 kali lipat dari 7,1 juta ton menjadi 47 juta ton dalam periode tersebut.

Hal yang cukup menarik, luas kebun sawit rakyat juga meningkat cepat mencapai enam kali lipat yakni dari hanya 1,1 juta hektare menjadi 6,7 juta hektare dalam periode tersebut. Implikasinya, pangsa sawit rakyat dalam industri sawit nasional meningkat dari 27 persen menjadi 41 persen. Perkembangan industri sawit Indonesia yang demikian dapat dikategorikan sebagai perkembangan yang revolusioner bahkan menyamai green revolution (Sipayung, 2012; Gaskell, 2012; Byerlee et.al., 2017).

Pada level ekonomi nasional, industri sawit termasuk perkebunan sawit dan industri hilir memiliki korelasi positif terhadap laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dari tahun ke tahun. Pertumbuhan net production value dari perkebunan sawit lebih tinggi dibandingkan padi, karet, peternakan, maupun pertanian secara umum sehingga perkebunan sawit menjadi sumber pertumbuhan penting bagi pertanian (Rifin, 2012; PASPI, 2014; Kasryno, 2015).

Hilirisasi minyak sawit di Indonesia yang mulai intensif dilakukan sejak tahun 2011 melalui tiga jalur yakni oleofood, oleokimia, dan biodiesel juga berdampak pada perubahan komposisi ekspor produk sawit Indonesia (PASPI Monitor, 2021 dalam laporan berjudul Hilirisasi dan Perubahan Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia).

Berdasarkan data yang dirangkum PASPI (2021), struktur ekspor minyak sawit Indonesia tahun 2010 masih didominasi bahan mentah (CPO) dengan pangsa 57 persen. Namun terjadi perubahan komposisi ekspor tahun 2020, di mana ekspor produk olahan lebih mendominasi dengan pangsa 78 persen, sementara pangsa ekspor CPO hanya sebesar 22 persen.

Data BPS mencatat, selama 20 tahun terakhir, nilai ekspor minyak sawit mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni dari US$1,08 miliar pada tahun 2000 menjadi US$16,3 miliar pada tahun 2010, dan kemudian terus meningkat menjadi sekitar US$23 miliar pada tahun 2020. Bahkan, pada tahun 2024 lalu, nilai ekspor minyak sawit Indonesia tercatat sebesar US$27,75 miliar atau setara dengan Rp440 triliun (GAPKI, Maret 2025).

Devisa sawit dari ekspor minyak sawit dan produk turunannya juga memiliki kontribusi yang cukup penting dalam neraca perdagangan non-migas Indonesia. Tanpa ekspor minyak sawit, neraca non-migas umumnya mengalami defisit. Sebaliknya dengan adanya ekspor minyak sawit membuat neraca non-migas selalu mengalami surplus (PASPI Monitor, 2021 dalam laporan berjudul Kontribusi Devisa Sawit dalam Neraca Perdagangan Indonesia).

Berdasarkan data GAPKI (2024), kontribusi ekspor produk sawit terhadap ekspor nonmigas mencapai sekitar 12% dan menjadi meningkat ketika pandemi Covid-19 (2020-2021), di mana ekspor lainnya melemah. 

Dalam 10 tahun terakhir kontribusi devisa sawit cukup signifikan mempengaruhi kinerja neraca perdagangan migas Indonesia. PASPI (2021) menjelaskan, untuk mengetahui seberapa besar kontribusi devisa sawit dalam neraca non-migas perlu dilihat perkembangan antara neraca non-migas tanpa devisa sawit versus neraca non-migas dengan devisa sawit sebagai berikut.  

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa dalam periode 2010-2020, hanya tiga tahun yakni pada tahun 2010, 2011, dan 2020, di mana neraca nonmigas tanpa (exclude) devisa sawit mengalami surplus. Selain ketiga tahun tersebut, neraca non-migas tanpa (exclude) sawit selalu mengalami defisit. Jika diperhitungkan devisa sawit pada neraca non-migas menunjukkan bahwa neraca non-migas dengan (include) devisa sawit selalu mengalami  surplus.

Dengan demikian, cukup jelas terlihat bahwa kontribusi devisa sawit membuat neraca perdagangan non-migas selalu surplus. Surplus neraca non-migas dalam konteks Indonesia sangat diperlukan untuk menutup (atau memperkecil defisit) neraca perdagangan yang selalu defisit sejak tahun 2004 (PASPI, 2021),