Hasil Diplomasi Joint Mission Sawit ke Uni Eropa

INDONESIA bersama Malaysia dan Kolombia pada 8 sampai 9 April 2019 melakukan joint mission ke Brussel, Belgia sebagai upaya diplomasi kepada Uni Eropa (UE). Diplomasi ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan industri dan perlindungan kepada para petani kelapa sawit atas diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit. Siaran Pers Kemenko Perekonomian, (12/4/2019) menyebutkan, kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh Komisi Eropa melalui penerbitan Delegated Regulation merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II) yang menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi)/indirect land-use change (ILUC) (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex). “Metodologi dan hipotesa yang digunakan UE tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit terhadap perusakan hutan tersebut ditetapkan secara sepihak, bertentangan dengan fakta yang ada, dan tanpa dilakukan impact analysis,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution di Jakarta, Jumat (12/4/2019). Adapun beberapa keberatan dan concern Indonesia pada delegated regulation tersebut adalah sebagai berikut: Faktanya kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi (8-10 kali) dan penggunaan lahan yang jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lainnya; Dengan pertumbuhan permintaan vegetable oils yang terus bertumbuh, maka apabila phase-out terhadap kelapa sawit dilakukan, maka justru akan menyebabkan pembukaan lahan baru yang masif untuk produk vegetable oils lainnya; Penggunaan basis awal tahun 2008 sebagai metodologi penghitungan dari ILUC dilakukan tanpa alasan yang kuat.

Hasil Diplomasi Joint Mission Sawit ke Uni Eropa
INDONESIA bersama Malaysia dan Kolombia pada 8 sampai 9 April 2019 melakukan joint mission ke Brussel, Belgia sebagai upaya diplomasi kepada Uni Eropa (UE). Diplomasi ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan industri dan perlindungan kepada para petani kelapa sawit atas diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit. Siaran Pers Kemenko Perekonomian, (12/4/2019) menyebutkan, kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh Komisi Eropa melalui penerbitan Delegated Regulation merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II) yang menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi)/indirect land-use change (ILUC) (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex). “Metodologi dan hipotesa yang digunakan UE tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit terhadap perusakan hutan tersebut ditetapkan secara sepihak, bertentangan dengan fakta yang ada, dan tanpa dilakukan impact analysis,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution di Jakarta, Jumat (12/4/2019). Adapun beberapa keberatan dan concern Indonesia pada delegated regulation tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Faktanya kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi (8-10 kali) dan penggunaan lahan yang jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lainnya;
  2. Dengan pertumbuhan permintaan vegetable oils yang terus bertumbuh, maka apabila phase-out terhadap kelapa sawit dilakukan, maka justru akan menyebabkan pembukaan lahan baru yang masif untuk produk vegetable oils lainnya;
  3. Penggunaan basis awal tahun 2008 sebagai metodologi penghitungan dari ILUC dilakukan tanpa alasan yang kuat. Penetapan tahun 2008-2015 sangat merugikan kelapa sawit dan menguntungkan vegetable oils lainnya.
Sementara itu, kesimpulan yang bisa ditarik dari rangkaian pertemuan di Brussel ini, antara lain:
  1. Terdapat gap pemahaman yang besar terhadap produk kelapa sawit maupun kebijakan pengembangannya;
  2. Masifnya kampanye negatif terhadap kelapa sawit menimbulkan persepsi yang salah (sebagai contoh, di Italia, kampanye produk bebas kelapa sawit (palm oil free) 5 kali lebih besar dan masif dari pada iklan coca cola);
  3. “Kompetisi” antara minyak kelapa sawit dengan minyak rapeseed maupun sunflower.
UE dan negara-negara produsen kelapa sawit sepakat untuk terus melanjutkan diskusi yang konstruktif untuk menjembatani pemahaman kedua pihak dalam menyelesaikan isu ini. Beberapa langkah yang akan dilakukan, antara lain:
  1. Setelah Parlemen Eropa yang baru terbentuk hasil Pemilu Mei 2019, akan segera dilakukan diskusi dengan Pemerintah Indonesia terkait hal ini;
  2. Beberapa pemangku kepentingan industri kelapa sawit di UE akan membentuk wadah komunikasi terkait upaya kampanye positif kelapa sawit di UE;
  3. Para pelaku usaha dari perusahaan multinasional (MNCs) juga sepakat untuk mendukung secara penuh upaya Pemerintah RI dalam menanggapi kebijakan diskriminatif ini.
Dalam pertemuan dengan pihak UE ini, Pemerintah RI juga telah menyampaikan langkah-langkah yang akan dilakukan apabila pengesahan Delegated Regulation RED II tetap dilakukan, termasuk melakukan review terhadap kerjasama bilateral Indonesia dengan UE dan negara-negara anggotanya serta menempuh proses litigasi melalui forum World Trade Organization (WTO). Menko Darmin pun mengatakan, gangguan dan diskriminasi kelapa sawit tentunya akan berdampak negatif terhadap program pengentasan kemiskinan dan menghambat pencapaian Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai informasi, 19,5 juta orang bekerja pada industri ini, termasuk 2,6 juta petani kecil (smallholders farmer). Upaya diplomasi yang dilakukan secara bersama ini merupakan tindak lanjut dari pernyataan keberatan bersama yang disampaikan oleh Presiden Indonesia dan Perdana Menteri (PM) Malaysia serta Ketua DPR RI. Di samping itu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) juga telah menyampaikan kekecewaan dan meminta agar proses pengesahan aturan diskriminatif tersebut dapat dihentikan. ***