5 Peran Devisa Sawit bagi Indonesia
Semakin besar devisa yang dihasilkan sektor industri perkebunan sawit maka akan semakin besar pula pendapatan masyarakat.

Neraca perdagangan merupakan salah satu indikator yang sangat penting, baik dalam mengukur stabilitas perekonomian maupun pertumbuhan kapasitas perekonomian. Neraca perdagangan yang surplus di mana nilai ekspor barang lebih besar dari nilai impor, umumnya dipandang baik karena menambah cadangan devisa negara.
Perkembangan industri minyak sawit di Indonesia memang menunjukkan konsistensi pertumbuhan yang menggembirakan khususnya sejak tahun 2000. Industri minyak sawit Indonesia tidak hanya berhasil menyalip industri sawit Malaysia sejak tahun 2006, tetapi juga berhasil menempatkan diri sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar dunia. Oleh karena itu, meletakkan harapan pada industri sawit sebagai motor industri non-migas cukup beralasan (PASPI, 2019).
PASPI (2019) dalam laporan berjudul Signifikansi Devisa Sawit dalam Perekonomian Indonesia memaparkan, potensi ekspor dari industri minyak sawit sebagai salah satu penyumbang ekspor non-migas Indonesia mulai menarik perhatian, khususnya dalam dua puluh tahun terakhir.
Industri sawit juga sudah dinyatakan pemerintah sebagai salah satu industri strategis dalam pembangunan Indonesia. Salah satu dasarnya adalah kontribusi industri sawit dalam ekspor nasional yang cukup besar.
Berdasarkan data GAPKI (2025) diketahui bahwa secara total, produksi CPO dan PKO yang dihasilkan sektor sawit Indonesia pada tahun 2024 mencapai 52,76 juta ton. Total konsumsi CPO dan PKO pada 2024 mencapai 10,20 juta ton. Sementara itu, total ekspor pada tahun 2024 tercatat sebanyak 29,53 juta ton dengan nilai ekspor mencapai US$27,76 miliar atau setara dengan Rp440 triliun.
Melihat kondisi tersebut, lantas bagaimana peran devisa sawit setiap tahun, bahkan setiap bulannya bagi Indonesia?
Secara ekonomi, devisa sawit tersebut antara lain bermakna pertama, menyumbang pada penyehatan neraca perdagangan Indonesia. Sebagaimana laporan BPS, total ekspor nasional tahun 2018 bernilai US$180,1 miliar, yang terdiri atas ekspor migas US$17,4 miliar dan ekspor nonmigas (termasuk ekspor sawit) senilai US$162,7 miliar.
Sementara itu, nilai total impor mencapai US$188,6 miliar dengan rincian impor nonmigas US$158,8 miliar dan impor migas US$29,8 miliar. Sehingga secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia tahun 2018 mengalami defisit sekitar US$-8,57 miliar, yang dipicu oleh defisit migas senilai US$12,4 miliar.
Sedangkan neraca perdagangan nonmigas surplus sebesar US$3,84 miliar yang disumbang oleh devisa sawit sebesar US$20,5 miliar. Jika devisa sawit dikeluarkan maka neraca perdagangan nonmigas mengalami defisit sebesar US$-16,7 miliar atau neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2018 tersebut jelas mengalami defisit sekitar US$-29,1 miliar.
Begitupun dengan neraca perdagangan tahun 2024, data Kementerian Perdagangan (2025) mencatatkan, Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$31,04 miliar. Surplus tersebut dihasilkan dari surplus nonmigas sebesar US$51,44 miliar dan defisit migas sebesar US$20,40 miliar. Surplus tahunan ini melanjutkan tren surplus untuk lima tahun berturut-turut sejak 2020.
Kedua, devisa sawit pada tahun 2018 sebesar Rp287,8 triliun, bahkan pada 2024 mencapai Rp440 triliun tersebut secara ekonomi juga menambah "darah segar" yang memperbesar aliran ekonomi dalam perekonomian nasional.
Tambahan "darah segar" tersebut, sama seperti investasi, bermakna menambah kapasitas ekonomi nasional secara keseluruhan. Tidak hanya terjadi pada industri sawit nasional, tetapi juga terjadi pada seluruh aspek perekonomian (PASPI, 2019).
Ketiga, devisa sawit yang tergolong besar dan terbesar dalam ukuran satu komoditas, dapat menciptakan citra baru ekonomi nasional yang selama ini disebut "rakus" impor. Kehadiran industri sawit sebagai industri ekspor yang mampu menghasilkan devisa sekitar Rp440 triliun pada tahun lalu, semakin membuktikan peran penting Indonesia sebagai negara eksportir minyak sawit dan turunannya terbesar di dunia.
Keempat, devisa sawit tersebut dihasilkan dari kebun-kebun sawit yang tersebar pada lebih 200 kabupaten pada 26 provinsi di Indonesia. Setiap dolar devisa sawit dihasilkan dengan memadukan IPTEK dan sumber daya agraris di dalam negeri (PASPI, 2019).
Kelima, devisa sawit yang sekitar Rp440 triliun tersebut dihasilkan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia yang terlibat, baik pada perkebunan sawit di lebih dari 200 kabupaten maupun sektor-sektor yang menjual barang/jasa bagi perkebunan sawit. Semakin besar devisa yang dihasilkan sektor industri perkebunan sawit maka akan semakin besar pula pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan tersebut terjadi pada hampir lima juta rumah tangga dan lebih dari 200 kabupaten di Indonesia (PASPI, 2019).
Perlu dicatat, devisa dan pendapatan yang kita nikmati dari sawit masih akan terus meningkat ke depannya. Secara umum kita masih menikmati sekitar 40 persen dari potensi yang ada.
Melalui perluasan kebun, peningkatan produktivitas, hilirisasi, hingga subsitusi impor, akan memperbesar dan memperluas manfaat industri sawit bagi masyarakat Indonesia (PASPI, 2019).