Perjalanan Panjang Biodiesel Sawit Indonesia dan Manfaat yang Diberikan
Sepanjang 2025, pemerintah Indonesia menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter biodiesel dengan rincian 7,55 juta kl diperuntukkan bagi PSO dan 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.

Biodiesel yang diimplementasikan di Indonesia merupakan bahan bakar nabati yang berasal dari pengolahan minyak kelapa sawit. Melansir laman Kementerian ESDM, biodiesel digunakan sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak untuk jenis diesel/solar.
Biodiesel dapat diaplikasikan baik dalam bentuk 100% (B100) atau campuran dengan minyak solar pada tingkat konsentrasi tertentu. Di Indonesia, pengembangan biodiesel dimulai sejak tahun 2006 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2006 tentang Penggunaan Bahan Bakar Nabati untuk Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Sejak saat itu, produksi biodiesel kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara produsen biodiesel kelapa sawit terbesar di dunia.
Perkembangan Biodiesel Sawit di Indonesia
Komitmen pemerintah Indonesia semakin nyata melalui pengembangan biodiesel berbasis minyak sawit. Mengingat, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia sehingga ketersediaan bahan bakunya relatif besar dan tersedia dengan harga murah
Dengan keunggulan tersebut, pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel mampu meminimalisir terjadinya masalah tata niaga bahan baku (trade-off fuel-food). Setelah melalui proses formulasi hingga memenuhi standar mutu biodiesel (SNI 04-7182) pada tahun 2006, aplikasi biodiesel sebagai sumber bahan bakar kendaraan di Indonesia semakin menemukan titik terang. Transformasi energi di dalam negeri juga didukung oleh implementasi kebijakan mandatori (wajib) dalam penggunaan biodiesel.
Kebijakan mandatori dalam penggunaan biodiesel diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Dalam regulasi tersebut, penggunaan campuran biodiesel direncanakan bertahap hingga maksimal 20 persen (B20) pada 2025. Penggunaan campuran biodiesel ini diterapkan pada sektor rumah tangga, transportasi public services obligation (PSO) dan non-PSO, industri dan komersial, serta pembangkit listrik.
Palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dalam laporan berjudul Biodiesel Kelapa Sawit Indonesia yang dipublikasikan pada tahun 2024 menghimpun, implementasi kebijakan mandatori di Indonesia sudah dilakukan secara bertahap dari B1 hingga B2.5 yang dimulai pada tahun 2008. Pengembangan biodiesel di Indonesia ini terus berjalan hingga menjadi B7.5 pada tahun 2010 dan B10 pada tahun 2014. Dana sawit hasil pungutan ekspor (levy) yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) digunakan sebagai insentif pengembangan bahan bakar nabati yang berimplikasi pada penguatan komitmen pengembangan biodiesel sawit di Indonesia.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan diimplementasikannya kebijakan mandatori B15 pada tahun 2015 dan kemudian meningkat menjadi kebijakan mandatori B20 (sektor PSO) pada tahun 2016. Selanjutnya pada tahun 2018, kebijakan mandatori B20 diperluas menjadi untuk sektor non-PSO.
Pemerintah Indonesia kembali meningkatkan blending rate biodiesel sebesar 30 persen yang didukung dengan kebijakan mandatori biodiesel (B30) baik untuk sektor PSO maupun non-PSO pada tahun 2020. Meskipun dihadapkan pada tantangan di masa pandemi Covid-19, implementasi mandatori B30 tetap berlanjut hingga awal tahun 2023.
Tidak cukup berpuas dengan pencapaian tersebut, pemerintah Indonesia kembali meningkatkan blending rate biodiesel dari B30 menjadi B35 yang sudah diimplementasikan pada tanggal 1 Februari 2023.
Langkah optimis ini merupakan akselerasi dari target awal yang telah ditentukan oleh pemerintah yang tertuang pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2015 tersebut. Terbaru, dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM di Jakarta pada Jum’at (3/1/2025), Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menetapkan penerapan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen atau B40 mulai 1 Januari 2025.
Sepanjang tahun 2025, pemerintah menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian 7,55 juta kl diperuntukkan bagi public service obligation (PSO) dan 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.
Implementasi program mandatori B40 ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 341.K/EK.01/MEM.E/2024 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Sebesar 40 Persen.
Manfaat Program Mandatori Biodiesel di Indonesia
Kementerian ESDM dalam buku berjudul Biodiesel, Jejak Panjang Sebuah Perjuangan yang diterbitkan oleh Badan Litbang ESDM pada tahun 2021 memaparkan manfaat yang diberikan program mandatori biodiesel bagi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai berikut.
Manfaat Ekonomi. Pelaksanaan program mandatori memberikan kontribusi yang berarti bagi penurunan impor solar. Rata-rata impor solar bulanan tahun 2019 turun 45% dibandingkan rata-rata impor solar bulanan pada tahun 2018.
Di tahun 2020, Indonesia dapat dikatakan sudah tidak mengimpor solar lagi. Pengurangan impor solar juga memberikan dampak positif bagi peningkatan penghematan devisa negara yang mencapai Rp63,4 triliun pada tahun 2020.
Manfaat Sosial. Permintaan kebutuhan sawit yang meningkat karena adanya program mandatori biodiesel berdampak pada peningkatan produksi sawit, sehingga akan meningkatkan lapangan kerja di sektor tersebut. Dari data yang ada menunjukkan bahwa sejak tahun 2018 sampai dengan 2020.
Jumlah tenaga kerja petani sawit meningkat dari 805.111 orang pada tahun 2019 menjadi 1.207.812 orang ditahun 2020. Dengan perbandingan petani sawit yang bekerja di on-farm lebih besar daripada yang bekerja di off-farm.
Berdasarkan penelitian Singagerda et.al (2018) berjudul Indonesia Growth of Economics and the Industrialization Biodiesel Based CPO diketahui bahwa pengembangan biodiesel kelapa sawit dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan.
Peningkatan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan tersebut bukan hanya terjadi di industri biodiesel (efek langsung), namun juga di industri pemasok bahan baku biodiesel (efek tidak langsung) serta di sektor ekonomi nasional secara keseluruhan (efek terinduksi).
Manfaat Lingkungan. Penggunaan biodiesel dalam campuran memberikan dampak positif terhadap lingkungan, khususnya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Pengurangan emisi GRK pada transportasi meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2019 pengurangan emisi GRK tercata sebesar 9,56 juta ton CO2e dan tahun 2020 mencapai 14,34 juta ton CO2e.
Dengan pengurangan emisi CO2 di sektor transportasi juga akan memberikan dampak pada pengurangan emisi GRK di sektor energi. Selain mengurangi emisi GRK, penggunaan biodesel dalam campuran solar dapat mengurangi emisi SOX lebih besar dibandingkan menggunakan bahan bakar solar murni. Hal ini disebabkan kandungan sulfur yang terdapat pada biodiesel sangat kecil.