Dewan Sawit Tolak Proposal Delegated Act Uni Eropa

Penolakan terhadap Delegated Act yang disusun oleh Komisi Eropa sebagai kelengkapan kebijakan Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/RED II) kembali disuarakan kalangan kelapa sawit di Indonesia.

Dewan Sawit Tolak Proposal Delegated Act Uni Eropa

JAKARTA--Penolakan terhadap Delegated Act yang disusun oleh Komisi Eropa sebagai kelengkapan kebijakan Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/RED II) kembali disuarakan kalangan kelapa sawit di Indonesia.

Dalam keterangan pers, (1/3/2019), Dewan minyak Sawit Indonesia (DMSI) menyampaikan penolakan terhadap kebijakan tersebut dengan sejumlah alasan. Pertama, penghitungan jumlah emisi dan formula yang digunakan tidak tepat karena tidak pernah disosialisasikan sebelumnya.

Kedua, penetapan waktu cut-off (penebangan hutan) pada 2008 dinilai tidak adil bagi Indonesia karena deforestasi untuk membuka perkebunan bagi tanaman bahan baku minyak nabati lain sudah terjadi sejak lama sebelum pengembangan kelapa sawit dilakukan.

Ketiga, asumsi bahwa kelapa sawit dikembangkan di area cadangan karbon tinggi tidak tepat karena tidak sesuai fakta yang ada di Indonesia. Keempat, permintaan minyak pangan dunia tengah meningkat dan kelapa sawit merupakan yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan itu. Pemerintah Indonesia menerapkan peraturan yang ketat di sektor kelapa sawit, termasuk melakukan moratorium lahan kelapa sawit, karena itu pendekatan ILUC (inderect land use change) yang diterapkan Uni Eropa tidak relevan lagi.

Perkebunan kelapa sawit sudah melakukan pengutangan emisi karbon melalui sejumlah langkah. Antara lain, penangkapan gas metana dalam penanganan limbah, mengoptmailkan penggunaan pupuk, meningkatkan keuntungan bagi petani kelapa sawit.

Upaya ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam hal COP 21 in Paris. Sebagaimana diberitakan, Uni Eropa menerapkan kebijakan Arahan Energi Terbarukan (RED II) yang mewajibkan Uni Eropa untuk memenuhi 32% dari total kebutuhan energinya melalui sumber yang terbarukan pada 2030. Kebijakan RED II ini akan disertai delegated act, yakni semacam aturan teknis pelaksanaan.

Delegated act awalnya direncanakan diterbitkan pada 1 Februari 2019, namun kemudian ditunda. Saat ini Komisi Eropa telah mengeluarkan draf delegated act untuk menjaring masukan dari masyarakat. Delegated act antara lain berisi kriteria yang disebut dengan Low Indirect Land Use Change (ILUC), yakni metode yang digunakan Uni Eropa dalam RED II untuk menentukan besar kecilnya risiko yang disebabkan tanaman minyak nabati terhadap alih fungsi lahan dan deforestasi.

Berdasarkan ILUC risk tersebut, kelapa sawit dikategorikan sebagai tanaman minyak nabati yang berisiko besar (high risk) terhadap kerusakan lahan dan deforestasi sehingga dilarang masuk ke Uni Eropa. Banyak negara, termasuk Indonesia, keberatan dengan metode ILUC risk karena dianggap tidak diakui secara universal. Selain itu, kriteria yang digunakan juga tidak jelas dan cenderung mendiskriminasi kelapa sawit. ***