Tanaman Kelapa Sawit Hemat Lahan dan Air

Penggunaan lahan dan air oleh tanaman kelapa sawit lebih efisien apabila dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lain.

Tanaman Kelapa Sawit Hemat Lahan dan Air
Ilustrasi tanaman kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit tergolong efisien dalam penggunaan lahan dan air apabila dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lain.

Tanaman minyak nabati utama dunia yakni kelapa sawit, kedelai, rapeseed, dan bunga matahari memiliki sejarah menarik karena berkembang pesat di luar daerah asal. Sebagai contoh, kedelai yang merupakan tanaman asli daratan Tiongkok berkembang di kawasan Amerika Selatan. Tanaman rapeseed pertama kali dibudidayakan di Inggris, lalu menyebar dan berkembang di Amerika Utara serta Eropa.

Tanaman bunga matahari yang awalnya berkembang di Amerika Utara kemudian menyebar ke Eropa dan Rusia. Sementara itu, tanaman kelapa sawit yang merupakan tanaman asli Afrika Barat mengalami perkembangan pesat dan tumbuh subur di Indonesia dan Malaysia.

PASPI (2021) mengatakan bahwa dalam perkembangannya, tanaman kelapa sawit tergolong efisien dalam penggunaan lahan dan air apabila dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lain. Berikut ini ulasan mengenai karakteristik kelapa sawit yang tergolong hemat lahan dan air yang dirangkum dari laporan PASPI tersebut.

Hemat Lahan. Dalam 20 tahun terakhir, luas areal keempat tanaman penghasil minyak nabati utama dunia mengalami peningkatan signifikan. Berdasarkan data United States Department of Agriculture atau USDA (2023), total luas areal keempat tanaman minyak nabati utama tersebut mencapai 236,3 juta hektare yang terdiri atas kedelai (139,7 juta hektare); rapeseed (41,5 juta hektare); bunga matahari (28,2 juta hektare); dan kelapa sawit (26,9 juta hektare).

Luas areal tanaman kedelai global lebih dari lima kali lipat apabila dibandingkan luas areal kelapa sawit. Sementara itu, luas areal tanaman rapeseed hampir 1,5 kali lipat dan luas areal tanaman bunga matahari sekitar 1,2 kali lipat.

Organisasi Pangan dan Pertanian atau FAO membuat penelitian pada tahun 2013 yang memperoleh hasil bahwa penggunaan lahan oleh tanaman kelapa sawit lebih efisien apabila dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lain. FAO melaporkan bahwa untuk menghasilkan satu ton minyak sawit hanya dibutuhkan lahan seluas 0,23 hektare. Adapun, untuk menghasilkan satu ton minyak rapeseed dan minyak kedelai maka dibutuhkan lahan masing-masing seluas 1,45 hektare dan 2,22 hektare.

Dari total volume produksi empat minyak nabati utama dunia pada tahun 2020 yang mencapai 191,4 juta ton, sekitar 84,2 juta ton berasal dari produksi minyak sawit. Kemudian produksi minyak kedelai mencapai 60,3 juta ton; minyak rapeseed sebesar 27,6 juta ton; dan minyak biji bunga matahari sebesar 19,3 juta ton.

Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun hanya mencatatkan total luas areal sekitar 11 persen, tetapi perkebunan kelapa sawit mampu menyumbang sekitar 44 persen dari total produksi minyak nabati utama global. Sebaliknya, kedelai yang memiliki luas areal sekitar 60 persen hanya mampu menghasilkan minyak nabati sekitar 32 persen. Data tersebut membuktikan bahwa kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati paling efisien dan hemat lahan, sedangkan kedelai tergolong tanaman minyak nabati yang relatif boros lahan.

Hemat Air. Tanaman kelapa sawit berasal dari wilayah Afrika Barat yang memiliki kondisi iklim dengan ketersediaan air relatif terbatas apabila dibandingkan dengan daerah tropis. Melalui proses evolusi dan adaptasi ekofisiologis yang panjang, tanaman kelapa sawit telah mengembangkan struktur morfologi yang efisien dalam menghemat penggunaan air serta mampu menyimpan cadangan air.

Tanaman kelapa sawit memiliki sistem perakaran serabut yang masif, luas, dan dalam. Perakaran kelapa sawit dewasa membentuk pori-pori mikro dan makro tanah yang dapat disebut biopori alamiah (Harahap, 2007). Biopori alamiah tersebut meningkatkan kemampuan lahan kebun sawit dalam menyerap dan menahan air (water holding capacity) melalui peningkatan penerusan air hujan ke dalam tanah sehingga mengurangi aliran air permukaan dan menyimpan cadangan air di dalam tanah.

Penelitian Gerbens-Leenes et.al. (2009) yang berjudul The Water Footprint of Energy from Biomass: A Quantitative Assessment and Consequences of an Increasing Share of Bioenergy Supply menemukan hal menarik tentang efisiensi penggunaan air oleh berbagai tanaman penghasil bioenergi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelapa sawit termasuk tanaman yang paling hemat air dalam menghasilkan bioenergi apabila dibandingkan dengan kedelai, rapeseed, dan bunga matahari.

Tanaman penghasil bioenergi yang paling boros air adalah rapeseed. Kemudian diikuti oleh kedelai dan bunga matahari. Untuk menghasilkan setiap satu gigajoule (GJ) bioenergi dalam bentuk minyak, tanaman rapeseed memerlukan sekitar 184 m³ air. Adapun, kedelai memerlukan sekitar 100 m³ air dan bunga matahari membutuhkan sekitar 87 m³ air (GerbensLeenes et.al, 2009; PASPI, 2021).

Sementara itu, kelapa sawit merupakan tanaman yang paling efisien dalam penggunaan air karena hanya membutuhkan sekitar 75 m³ air untuk menghasilkan setiap satu GJ bioenergi. Berdasarkan temuan tersebut, jelas bahwa kelapa sawit relatif hemat air dalam menghasilkan bioenergi (Gerbens-Leenes et.al, 2009; PASPI, 2021).

Lebih jauh, ulasan di atas menegaskan bahwa perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan sebagai tanaman yang ramah lingkungan serta berkontribusi pada konservasi tanah dan air. Dengan demikian, pengembangan perkebunan kelapa sawit juga dapat dipandang sebagai salah satu upaya untuk melestarikan lingkungan (PASPI, 2021).