Setidaknya Terdapat 7 Manfaat Implementasi Kebijakan Mandatori Biodiesel di Indonesia
Pengembangan biodiesel berbasis sawit di Indonesia telah menciptakan berbagai manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi yang dinikmati masyarakat.

Indonesia telah mencatatkan diri sebagai top 3 produsen dan konsumen biodiesel dunia. Bahkan dalam produksi dan konsumsi biodiesel berbasis sawit, Indonesia merupakan yang terbesar di dunia (PASPI, 2024).
Pengembangan biodiesel berbasis sawit di Indonesia ini juga telah menciptakan berbagai manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi yang dinikmati masyarakat secara keseluruhan. PASPI (2024) dalam policy brief berjudul Kebijakan Mandatori Biodiesel 2015-2023: Menanggung Manfaat dan Beban Biaya Bersama, melaporkan setidaknya terdapat tujuh manfaat dari pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia.
Pertama, membangun ketahanan energi berkelanjutan. Dalam 10 tahun terakhir, implementasi kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia telah mampu mengurangi ketergantungan impor solar fosil cukup drastis. Pada tahun 2010, persentase volume solar fosil impor dari total konsumsi solar fosil domestik masih cukup tinggi, yakni mencapai 41 persen, namun jumlah ini terus mengalami penurunan dengan cepat sehingga persentasenya menjadi 10 persen pada tahun 2021 (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023a).
Implementasi mandatori biodiesel (substitusi solar fosil) telah mengurangi ketergantungan pada impor solar fosil. Menurut data BPDP (2023, 2024a,b) volume penghematan penggunaan solar fosil akibat mandatori biodiesel mengalami peningkatan dari sekitar 915 ribu kiloliter tahun 2015 menjadi 3,8 juta kiloliter tahun 2018 dan meningkat menjadi 12,3 juta kiloliter tahun 2023.
Penurunan ketergantungan Indonesia pada impor solar fosil dan makin besarnya komponen biodiesel sawit domestik dalam sektor energi nasional tersebut merupakan bagian penting dari ketahanan energi nasional.
Kedua, penghematan devisa dan penyehatan neraca perdagangan migas. Neraca perdagangan migas Indonesia dalam 20 tahun terakhir selalu negatif dengan defisit yang terus meningkat akibat impor minyak fosil yang terus meningkat. Kebijakan mandatori biodiesel domestik yang berdampak pada penurunan impor solar fosil tersebut juga secara langsung menghemat devisa untuk impor solar fosil atau dapat disebut sebagai devisa substitusi impor (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023a).
Dalam lima tahun terakhir, penghematan devisa impor solar fosil mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya blending rate biodiesel sawit. Data BPDP (2024) menunjukkan bahwa devisa solar impor yang dihemat meningkat dari Rp3,7 triliun tahun 2015 menjadi Rp26,7 triliun tahun 2018, dan terus naik menjadi Rp121,5 triliun tahun 2023.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Hilirisasi minyak sawit (CPO) menjadi biodiesel menciptakan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Nilai tambah yang dihasilkan dari biodiesel domestik meningkat dari sekitar Rp1,5 triliun tahun 2015 menjadi Rp5,8 triliun tahun 2018 dan terus meningkat menjadi Rp15,9 triliun tahun 2023.
Peningkatan nilai tambah tersebut searah dengan berbagai studi yang mengungkapkan bahwa produksi biodiesel sawit di Indonesia berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi (Susila dan Munadi, 2008; Joni et.al., 2010; Obidzinski et.al., 2012; Su Ye, 2017; Singagerda et.al.,2018; PASPI 2023; PASPI Monitor, 2021, 2023a).
Studi Sahara et.al. (2022) juga mengungkapkan bahwa kebijakan mandatori biodiesel B30 meningkatkan nilai tambah baik pada sektor perkebunan sawit itu sendiri maupun industri hilir sawit (oleokimia). Peningkatan nilai tambah tersebut juga berimplikasi pada peningkatan PDB riil Indonesia.
Perkembangan industri biodiesel juga berdampak positif pada kinerja perekonomian dan pembangunan daerah (Obidzinski et.al., 2012; Thondhlana, 2014; Nuva et.al., 2019; Yasinta dan Karuniasa, 2021; PASPI, 2024). Industri biodiesel merupakan industri hilir yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku di mana bahan baku tersebut dihasilkan oleh perkebunan sawit yang tersebar di daerah. Dengan demikian, semakin berkembangnya industri biodiesel akan turut menggerakkan perekonomian daerah.
Studi Sahara et.al. (2022) berjudul Economic Impacts of Biodiesel Policy in Indonesia: A Computable General Equilibrium Approach menemukan bahwa pertumbuhan PDRB akibat kebijakan mandatori biodiesel (B30) terjadi baik di provinsi sawit maupun provinsi non-sawit.
Peningkatan PDRB juga terjadi di provinsi non-sawit seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, meskipun ketiga provinsi tersebut bukan termasuk sentra produksi minyak sawit, namun sebagian besar lokasi industri biodiesel maupun industri hilir sawit lainnya tersebar di provinsi di Pulau Jawa.
Keempat, peningkatan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Biodiesel menghasilkan manfaat sosial berupa penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Tenaga kerja yang terserap akibat program mandatori biodiesel ini tidak hanya pada level industri (off farm), tetapi pada level kebun (on farm).
Data BPDP (2024b) mengungkapkan bahwa jumlah tenaga kerja on farm dan off farm mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2015, tenaga kerja pada level on farm sebesar 114,4 ribu orang dan tenaga kerja pada level off farm sebesar 863 orang. Jumlah tenaga kerja yang terserap pada tahun 2023 mengalami peningkatan signifikan menjadi 1,5 juta orang pada level on farm dan 11,6 ribu orang pada level off farm.
Berbagai studi terdahulu juga mengungkapkan bahwa pengembangan biodiesel sawit menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan pedesaan maupun perkotaan (Susila dan Munadi, 2008; Joni et.al., 2010; Singagerda et.al., 2018).
Peningkatan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan akibat dari peningkatan konsumsi biodiesel bukan hanya terjadi pada industri biodiesel saja, tetapi juga pada industri-industri pemasok bahan baku ke industri biodiesel serta perekonomian secara keseluruhan (PASPI, 2024).
Kelima, stabilisasi harga TBS domestik dan instrumen pengelolaan pasar sawit dunia. Sebagai negara produsen sekaligus eksportir terbesar minyak sawit dunia, besar kecilnya volume ekspor minyak sawit dari Indonesia sangat mempengaruhi pergerakan harga minyak sawit dunia (PASPI, 2024).
PASPI (2024) merangkum, volume minyak sawit yang diserap dalam mandatori biodiesel domestik sebesar 7,2 juta ton tahun 2020, kemudian meningkat menjadi sekitar 11 juta ton tahun 2023. Besarnya penyerapan minyak sawit domestik untuk kebijakan mandatori biodiesel tersebut mengurangi ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar dunia sehingga mempengaruhi stok minyak sawit di negara-negara importir sawit dunia.
Selama implementasi mandatori biodiesel B30 di Indonesia pada tahun 2020-2021, volume stok minyak sawit di negara importir dunia anjlok sebesar 36 persen. Selain dipengaruhi faktor eksternal lainnya, kondisi tersebut menyebabkan peningkatan harga minyak sawit dunia (PASPI Monitor, 2022).
Data PASPI (2024) mencatat, sejak implementasi mandatori biodiesel B30 di Indonesia, harga CPO dunia mengalami peningkatan. Harga CPO dunia tahun 2018 masih rata-rata US$591 per ton, namun mengalami peningkatan menjadi US$705 per ton tahun 2020 dan terus meningkat hingga mencapai US$1.347 per ton tahun 2022.
Tentu saja ada banyak variabel yang mempengaruhi dinamika harga CPO dunia tersebut. Namun variabel implementasi B30 di Indonesia yang menyerap sekitar 15 persen produksi CPO dunia (kurang lebih sebesar konsumsi CPO India dan China) menjadi variabel yang sangat berpengaruh terhadap harga CPO yang meroket.
Peningkatan harga CPO dunia tersebut secara langsung meningkatkan harga TBS domestik termasuk TBS petani sawit. Misalnya, ketika harga minyak sawit dunia mengalami peningkatan dari US$537 per ton pada Januari 2019 menjadi US$1.823 per ton pada bulan Maret 2022, petani sawit juga menikmati harga TBS yang relatif tinggi yakni sekitar Rp1.800-Rp2.550 per kilogram pada periode yang sama. Harga TBS tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat harga sebelum diimplementasikannya mandatori biodiesel B30.
Keenam, peningkatan pendapatan rumah tangga petani sawit dan rumah tangga non-petani sawit. Peningkatan harga minyak sawit dan TBS sebagai bahan baku biodiesel akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha perkebunan sawit, termasuk petani sawit (Joni et.al., 2012; Nuva et.al., 2019; Murta et.al., 2020; Wang, 2022; PASPI, 2024).
Peningkatan pendapatan yang diterima oleh petani sawit maupun pekerja di korporasi perkebunan sawit tersebut juga akan menciptakan multiplier effect berupa peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan di sekitar kebun sawit (PASPI, 2014, 2022, 2023; Rifin, 2011; Gatto et.al., 2017, Edwards, 2019).
Artinya, peningkatan pendapatan petani sawit dan rumah tangganya akibat pengembangan biodiesel juga akan turut meningkatkan pendapatan masyarakat (Joni et.al., 2012; Dharmawan et.al., 2016; Renzaho et.al., 2017; Singagerda et.al., 2018; Nuva et.al., 2019; Yasinta dan Karuniasa, 2021; PASPI Monitor, 2021; PASPI, 2023a; Wang, 2022; PASPI, 2024).
Selain itu, Sahara et.al. (2022) melakukan studi secara spesifik untuk mengukur dampak kebijakan mandatori biodiesel (B30) pada pendapatan rumah tangga di kawasan pedesaan dan perkotaan. Rumah tangga tersebut terbagi dalam lima kelompok rumah tangga kawasan pedesaan dan tiga kelompok rumah tangga kawasan perkotaan.
Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa kebijakan mandatori B30 berdampak terhadap peningkatan pendapatan pada seluruh kelompok rumah tangga berbagai tingkat pendapatan di pedesaan maupun perkotaan (PASPI Monitor, 2023c).
Ketujuh, pengurangan emisi. Indonesia telah berkomitmen kepada masyarakat dunia dalam Paris Agreement untuk ikut proaktif menurunkan emisi karbon. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, Indonesia telah menetapkan Nationally Determined Contribution yakni sebesar 29 persen dengan inisiatif sendiri hingga 41 persen dengan dukungan kerjasama internasional pada tahun 2030.
Substitusi solar fosil dengan biodiesel sawit dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 40-70 persen (PASPI, 2024). Berdasarkan data Kementerian ESDM dan BPDP diketahui bahwa dalam pelaksanaan mandatori biodiesel periode 2015-2023, pengurangan emisi gas rumah kaca meningkat signifikan dari sekitar 2,4 juta ton CO2 eq tahun 2015 menjadi 32,7 juta ton CO2 eq.