Kombinasi Limbah Cair Sawit dan Alga Dapat Menghasilkan Biofuel Generasi Ketiga

Kebun sawit merupakan lumbung energi mix berkelanjutan dapat menjadi pengganti energi tak terbaharui (energi fosil).

Kombinasi Limbah Cair Sawit dan Alga Dapat Menghasilkan Biofuel Generasi Ketiga
Ilustrasi buah kelapa sawit.

Perkebunan kelapa sawit berkontribusi dalam menghasilkan biofuel generasi ketiga (third generation biofuel). Perkebunan kelapa sawit memiliki potensi demikian karena dalam proses pengolahan sawit sekitar 60-70 persen akan menjadi limbah, seperti limbah cair POME.

POME (palm oil mill effluent) merupakan limbah dengan jumlah terbesar dibandingkan jenis limbah kelapa sawit lainnya. Ketersediaan POME yang besar tersebut dapat dimanfaatkan sebagai media kultivasi alga penghasil biofuel generasi ketiga.

PASPI (2019) dalam jurnal berjudul Kebun Sawit Indonesia: Lumbung Energi Mix Terbarukan memaparkan, berbagai studi empiris menunjukkan bahwa limbah POME dapat dijadikan sebagai media pertumbuhan alga dan dapat menurunkan BOD (biological oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) dari limbah POME.

Menurut Sukumaran et.al. 2014, POME memiliki kandungan penting yang dibutuhkan oleh alga untuk pertumbuhannya sehingga pemanfaatan POME sebagai media kultivasi alga merupakan pilihan yang murah dan mudah diperoleh dengan jumlah yang melimpah di Indonesia.

Meskipun kandungan POME dibutuhkan untuk pertumbuhan alga, namun pertumbuhan alga yang terbaik dapat diperoleh dengan variasi perbandingan volume POME dan alga yaitu 1:3 dengan bahan tambahan berupa nutrient NaHCO3 dan urea (Yonas et.al., 2012).

Kandungan COD yang tinggi pada POME dan warna yang gelap karena tannic acid dapat diatasi dengan proses yang terintegrasi antara pengolahan anaerobik POME untuk menurunkan kadar COD dan BOD serta menghasilkan metana. Sementara limbah yang mengandung sisa nutrisi digunakan sebagai media kultivasi alga (Nur & Hadiyanto, 2013).

Selain itu dapat digunakan metode mixotrophic condition untuk pemanfaatan POME sebagai media alga penghasil biofuel (Nur & Hadiyanto, 2015). Alga sebagai sumber biofuel generasi ketiga mampu menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan berbagai komoditas sumber energi terbarukan lainnya.

Berdasarkan studi Chisti (2007), alga mampu menghasilkan yield minyak terbesar yakni 136.900 dengan luas lahan 2 hektare dibandingkan komoditas penghasil minyak lainnya.

Produksi alga jauh lebih singkat dibandingkan jenis komoditas lain, dan secara umum alga memproduksi biomassa dua kali lipat selama 24 jam sehingga pemanfaatan alga untuk menghasilkan biofuel sangat potensial demi pencapaian ketahanan energi (Hadiyanto & Azim, 2012).

Pada skala industri komersial, pemanenan biomassa alga yang terbaik mampu mencapai 5 gram bahan kering/L (Amini & Susilowati, 2010). Dan hasil minyak yang diperoleh dari alga bervariasi tergantung metode yang digunakan dalam proses ekstraksinya seperti metode mekanik yang mampu menghasilkan minyak 70 persen dari alga, metode pelarut kimia yang mampu menghasilkan minyak 95 persen, dan supercritical fluid extraction yang mampu menghasilkan minyak 100 persen dari alga.

Menurut Zuhdi (2003), alga mampu menghasilkan biodiesel berkisar antara 4,4-5,87 kg dari 10 kg bahan kering alga. Dengan pertumbuhan alga yang relatif cepat dibandingkan sumber biodiesel lainnya, membuat alga memiliki keunggulan lebih sebagai sumber biofuel generasi ketiga.

Dengan potensi alga yang demikian dan dengan ketersediaan POME dari limbah sawit yang berlimpah maka dapat dimanfaatkan sebagai media kultivasi alga penghasil biofuel sehingga dapat berkontribusi dalam menghasilkan biofuel generasi ketiga (third generation biofuel) serta memberikan dampak penghematan devisa bagi Indonesia.

Dengan demikian kebun sawit merupakan lumbung energi mix berkelanjutan berupa biodiesel, bioetanol, biogas, diesel hijau, bensin hijau, avtur hijau, dan lain-lain (PASPI, 2019). Energi berkelanjutan tersebut dapat menjadi pengganti energi tak terbaharui (energi fosil).