Pantang Surut Walau Terus Diusik

Pantang Surut Walau Terus Diusik

PADA pertengahan November 2017, publik Prancis dikejutkan oleh pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Ketika itu, Jonan usai menyaksikan penandatanganan tiga letter of intent (LoI) pembangkit listrik dari energi terbarukan antara PT PLN (Persero) dan independent power producers (IPP) asal Prancis, yaitu Pace, Equis Energy, dan Aquo, di Paris, Prancis.

Dalam pidatonya, Jonan secara tegas meminta Prancis agar tidak mengganggu produk minyak sawit Indonesia. “Ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke pemerintah Prancis soal minyak sawit RI. Minyak sawit RI ini harus bisa diterima. Kalau Prancis tetap menolak, bisa mengancam hubungan bilateral antara RI dan Prancis,” ujar Jonan seperti dikutip sejumlah surat kabar Tanah Air.

Apa yang disampaikan Jonan membuat para hadirin terdiam. Selama ini, sawit produksi Indonesia memang selalu mendapat kampanye hitam dari Uni Eropa, seperti isu perusakan hutan hingga eksploitasi pekerja anak. Padahal, tuduhan yang mereka serukan selama ini tidak benar.

Menurut Jonan, Prancis tidak perlu menolak sawit produksi Indonesia. Apalagi, kata dia, perusahaan migas asal Prancis, Total, berniat mengembangkan biofuel dengan menggunakan minyak sawit. Indonesia sebagai salah satu produsen minyak sawit terbesar dunia ingin ambil bagian.

“Tolong selesaikan isu ini ke pemerintah Anda. Menterinya cukup populer di sini, kan? Isu ini harus dipertimbangkan dengan serius,” kata Jonan kepada delegasi Prancis.

Menteri yang dimaksud ialah Nicolas Hulot. Hulot ialah mantan wartawan dan aktivis lingkungan yang ditunjuk menjadi Menteri Lingkungan Hidup Prancis. “Hubungan RI dengan Prancis tidak hanya di bidang energi, tapi juga di bidang lain. Saya waktu jadi menteri perhubungan menyaksikan salah satu pembelian terbesar Airbus di Toulouse. Jadi, tolong pertimbangkan lagi isu ini atas nama hubungan pertemanan kita,” tambah Jonan.

Dubes RI untuk Prancis Hotmangaradja MP Panjaitan menambahkan, upaya Prancis menjegal sawit di Indonesia bukan hanya satu-dua kali. Prancis juga kerap membawa isu kelapa sawit Indonesia ke tingkat Uni Eropa. Meski demikian, tidak semua negara UE memiliki pendapat yang sama bahwa kepala sawit asal Indonesia berdampak buruk terhadap lingkungan.

“Teman-teman di UE masih enggan terhadap isu sawit ini, jadi (kebijakan penolakan) masih pending juga,” katanya.

Ancaman Balasan

Tidak cuma Jonan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Presiden Joko Widodo pun berang dengan kampanye negatif terhadap produk sawit Indonesia. Enggar pun bahkan mengancam bakal mengobarkan trade war atau perang dagang jika sawit Indonesia terus dijegal.

`Jika Uni Eropa mengganggu produk sawit kita maka kita pun akan ganggu produk serbuk susu mereka yang masuk ke Indonesia,` tandas Mendag saat menyampaikan pandangan di pertemuan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) di Nusa Dua, Kamis (2/11/2017).

Wajar saja pemerintah berang akan sikap Uni Eropa itu. Bagi Indonesia, siapa pun yang menggangu produk sawit Indonesia di pasar global sama artinya dengan menggangu kepentingan petani sawit. Apalagi, jumlah petani sawit di negeri ini bukanlah sedikit.  Dari sekitar 11,7 juta hektare lahan sawit di Indonesia, 4,8 juta ha merupakan perkebunan rakyat; 6,2 juta perkebunan swasta; dan 756 ribu ha milik perkebunan negara. Hasil produksi sawit petani sebagian besar diserap oleh industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri.

Sebetulnya, tidaklah muluk-muluk permintaan Indonesia kepada Uni Eropa dan negara-negara lainnya. Yang dituntut hanyalah kesepahaman bahwa dalam hal perdagangan antarnegara harus diberlakukan yang namanya perlakuan yang sama dan adil (equal and fair treatment). Kalau ada negara yang memberlakukan perlakuan yang tidak fair, maka tidak selayaknya Indonesia tinggal diam. Pantang surut walau diusik. ***