Industri Sawit Jadi Bagian Strategis Ketahanan Pangan
Selama ini industri sawit telah menyediakan pangan minyak bagi 270 juta penduduk yang tersebar di seluruh Indonesia.

Industri sawit memiliki peran sangat penting dalam konteks membangun ketahanan pangan nasional. Industri sawit mampu menghasilkan bahan-bahan pangan berbasis minyak sawit dan biomassa sawit dengan aplikasi yang luas dalam industri pangan (PASPI, 2023).
Bahkan diketahui, sekitar 70-90 persen minyak sawit yang diperdagangkan di pasar dunia digunakan untuk pangan (Sheil et.al., 2009; Shimizu dan Descrochers, 2012; Gaskell, 2012; Kojima et.al., 2016; Parcell et.al., 2018; Hariyadi, 2020). Selain itu, lebih dari 50 persen produk pangan kemasan yang mengandung minyak sawit ditemukan pada rak-rak supermarket di seluruh dunia (WWF, 2014).
Berdasarkan data USDA (2023) yang diolah PASPI dalam laporan berjudul Minyak Sawit Feeding the World dijelaskan bahwa minyak sawit memiliki banyak keunggulan sebagai produk pangan. Adapun keunggulan yang dimaksud yaitu (1) memiliki tingkat stabilitas oksidatif tinggi; (2) stabil pada temperatur tinggi; (3) titik asap tinggi; (4) memiliki masa simpan yang lama; (5) aroma dan rasa yang netral: (6) mengandung vitamin A, E, dan senyawa bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan; (7) kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh yang seimbang; (8) bebas trans-fat; (9) non-GMO atau genetically modified organism; (10) harga yang kompetitif; dan (11) tersedia dalam jumlah besar di dunia.
Kontribusi industri sawit dalam ketahanan pangan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek ketahanan pangan seperti ketersediaan (availability) baik volume, mutu, tempat/ruang, dan waktu; keterjangkauan (affordability) baik secara fisik maupun ekonomi; serta keberlanjutan (sustainability) secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dalam artikel Diseminasi dan Policy Brief berjudul Industri Sawit Bagian Strategis Ketahanan Pangan dan Energi Nasional yang Berkelanjutan yang diterbitkan oleh PASPI Monitor tahun 2024, dipaparkan enam kontribusi industri perkebunan sawit dalam konteks ketahanan pangan nasional sebagai berikut.
Pertama, volume produksi minyak sawit cukup besar bahkan terbesar di dunia. Produksi minyak sawit Indonesia tahun 2023 mencapai sekitar 54,8 juta ton yang terdiri atas crude palm oil (CPO) sebanyak 50 juta ton dan palm kernel oil (PKO) sekitar 4,8 juta ton. Dengan besarnya volume produksi minyak sawit tersebut, penggunaan atau konsumsi minyak sawit domestik untuk produk pangan hanya sekitar 10,8 juta ton atau sekitar 20 persen dari produksi minyak sawit nasional.
Industri hilir sawit jalur pangan di dalam negeri juga telah lama berkembang seperti industri minyak goreng, margarin, specialty fat dan shortening, serta industri lainnya. Industri-industri tersebut menghasilkan produk pangan yang dikonsumsi secara langsung oleh rumah tangga, maupun secara tidak langsung melalui industri pangan dan sektor horeca (hotel, restaurant, dan cafe).
Selama ini industri sawit (hulu dan hilir) telah menyediakan pangan minyak bagi 270 juta penduduk yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan, industri sawit nasional juga telah lama menyediakan pangan minyak dunia atau feeding the world (PASPI Monitor, 2021 dalam jurnal berjudul Kontribusi Industri Sawit: Feeding the World).
Kedua, industri sawit (hulu dan hilir) telah tersebar hampir di seluruh daerah di Indonesia. Perkebunan sawit berada pada 26 provinsi dan lebih dari 250-an kabupaten di Indonesia. Sedangkan industri oleofood complex, termasuk jejaring perdagangannya hingga retailer, telah berada dan menjangkau hampir seluruh penduduk di Indonesia.
Ketiga, produksi pangan minyak sawit (hulu-hilir) tersedia sepanjang tahun dengan pasokan yang stabil. Produksi minyak sawit tidak mengenal musiman dan produksinya relatif merata sepanjang tahun sehingga memberikan kepastian pemenuhan kebutuhan konsumsi bagi masyarakat. Produk pangan berbasis minyak sawit ini berbeda dengan produk pangan pada umumnya di mana produksi bahan bakunya bersifat musiman.
Keempat, minyak sawit sebagai bahan pangan memiliki berbagai keunggulan, terutama vitamin A dan E, squalene, ubiquinone, asam lemak esensial, senyawa antioksidan lainnya serta memiliki komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang relatif seimbang (PASPI, 2023).
Kandungan tersebut menjadikan minyak sawit bukan hanya sumber energi (lemak) yang tinggi, namun juga sebagai bahan pangan bergizi (food-pharmacy) dan dapat diaplikasikan untuk berbagai proses industri pangan.
Kelima, peran pangan berbasis minyak sawit yang umumnya tidak dikonsumsi secara tersendiri, melainkan digunakan untuk mengolah berbagai bahan pangan karbohidrat (biji-bijian, umbi-umbian), protein (hewani), sayuran, dan lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa minyak sawit dapat berperan meningkatkan pemanfaatan bahan pangan lain dan mendorong diversifikasi konsumsi pangan.
Keenam, dari segi keterjangkauan (affordability), pangan berbasis minyak sawit seperti minyak goreng merupakan minyak nabati yang paling terjangkau, baik dari segi fisik maupun dari harga. Minyak sawit merupakan pangan minyak yang paling murah di Indonesia bahkan secara internasional (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2024c).
Selain itu, proses produksi pangan berbahan minyak sawit dan pemasarannya yang melibatkan banyak penduduk dan usaha kecil-menengah juga meningkatkan affordability masyarakat dari segi daya beli.
Keenam hal di atas jelas merupakan komponen penting yang berkontribusi pada ketahanan pangan nasional. Proses produksi, penggunaan yang luas, dan konsumsi yang terjadi di setiap daerah berkontribusi pada sistem ketahanan pangan daerah dan secara keseluruhan berkontribusi pada ketahanan pangan nasional (PASPI, 2024).