Diperlukan Kajian Komparatif Pemenuhan SDGs oleh Minyak Nabati

Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengingatkan pentingnya kajian komparatif mengenai perkembangan pemenuhan target Sustainable Development Goals (SDGs) oleh minyak nabati, tak hanya oleh minyak kelapa sawit.

Diperlukan Kajian Komparatif Pemenuhan SDGs oleh Minyak Nabati

JAKARTA—Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengingatkan pentingnya kajian komparatif mengenai perkembangan pemenuhan target Sustainable Development Goals (SDGs) oleh minyak nabati, tak hanya oleh minyak kelapa sawit.  

Hal tersebut dinilai penting mengingat minyak kelapa sawit seringkali mendapat sorotan negatif. Padahal sesungguhnya sawit mampu berkontribusi lebih banyak dalam pemenuhan SDGs dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.

“Kalau hanya sawit yang bergerak dan yang lain tidak maka dengan sendirinya terjadi diskriminasi terhadap sawit,” ujar Mahendra saat menyampaikan paparan dalam Let’s Talk About Palm Oil sesi ke-13 bertajuk “Mendorong Minyak Nabati Dunia Berbasis UN SDGs” yang digelar secara online, Jumat (22/5/2020).

Untuk itu, kata Mahendra, diperlukan kajian komparatif mengenai pemenuhan SDGs oleh seluruh minyak nabati yang dominan. Dari kajian itu kemudian disusun sebuah matriks yang bisa membandingkan antara minyak nabati satu dengan yang lain berdasarkan studi beberapa tahun terakhir.

“Kemudian, diharapkan berdasarkan kajian komparatif tadi dibuat rekomendasi bagi negara produsen minyak nabati untuk mencapai SDGS. Hasil kajian itu kemudian diangkat di pertemuan dan konferensi internasional.”

Pada matriks tersebut, indikator SDGs yang digunakan merupakan yang paling relevan dengan sektor minyak nabati. Misalnya, analisis dampak sosio-ekonomi difokuskan pada pemenuhan target nasional negara produsen.

“Bila ditemukan kontribusi yang signifikan dari minyak nabati pada pembangunan nasional, maka satuan perbandingannya diukur berdasarkan target agregat nasional atau regional. Kriteria dampak lingkungan ditentukan berdasarkan riset obyektif dan bukti ilmiah dan difokuskan pada target nasional, misalnya target emisi CO2.”

Mahendra juga mengingatkan, kampanye negatif terhadap sawit terus bermunculan dan tidak hanya dilontarkan oleh LSM, aktivis, atau media, tetapi sudah oleh partai-partai politik di Eropa bahkan sudah menjadi kebijakan. “Jadi kita tidak lagi berhadapan dengan aktivis, atau media, tapi sudah dengan kebijakan, dengan platform politik.”

Sependapat dengan Mahendra, Ketua Dewan Pengawas BPDPKS Rusman Heriawan menyampaikan setidaknya terdapat tiga matriks utama harus dikedepankan. Pertama, matriks mengenai penyandingan komoditas-komoditas yang kompetitif. Aspek yang disandingkan itu sampai pada kriteria efektivitas dan dampak.

Kedua, matriks geopolitik sawit, yakni isu terkait yang selalu diangkat oleh negara-negara lain. Di dalamnya menunjukkan point of interest negara-negara tersebut terhadap sawit. “Yang ketiga adalah matriks kegiatan di sawit yang belum terukur ke SDGs. Baru-baru ini mempunyai Inpres tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Ini betul-betul kaya kegiatan yang orientasinya pada sawit berkelanjutan. Ini juga harus diukur, tanpa disadari kita sudah melakukan pemenuhan target SDGs tapi belum diukur dengan baik,” papar Rusman. ***