Dampak Gerakan No Palm Oil Terhadap Polusi Tanah dan Air di Dunia
Jika Uni Eropa memutuskan untuk mendukung kampanye/gerakan No Palm Oil atau Palm Oil Free maka polusi tanah dan air dunia akan meningkat secara signifikan.

Setidaknya dalam dua puluh tahun terakhir, kampanye anti-minyak sawit atau No Palm Oil yang dimotori jejaring NGO sangat intensif terjadi di berbagai negara. Berbagai isu sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan dituduhkan agar citra minyak sawit terpuruk di pasar dunia. Bukan sekadar kampanye negatif terhadap minyak sawit, tetapi juga kampanye untuk tidak menggunakan minyak sawit.
Penggunaan label Palm Oil Free pada kemasan berbagai produk berbasis sawit yang dihasilkan oleh industri pangan, industri kosmetik, bahkan industri pakan ternak merupakan cara sistematis yang digunakan NGO untuk menghentikan penggunaan minyak sawit (PASPI, 2015; Kumar et.al., 2015).
PASPI Monitor (2021) dalam jurnal berjudul Gerakan No Palm Oil Picu Polusi Tanah/Air Dunia Semakin Besar mengatakan, kampanye penghentian konsumsi minyak sawit juga menular pada rencana kebijakan Uni Eropa yang mengaitkan isu deforestasi dengan konsumsi minyak sawit di kawasan negara tersebut.
Komisi Uni Eropa dalam kebijakan RED II/ILUC (Renewable Energy Directive II/Indirect Land Used Change) juga memiliki rencana untuk menerapkan kebijakan phase-out minyak sawit dari kebijakan renewable energy (RED-EU) paling lambat pada tahun 2030 (European Commission, 2019).
Jika masyarakat Uni Eropa atau masyarakat dunia benar-benar memutuskan untuk mendukung kampanye/gerakan No Palm Oil atau Palm Oil Free, maka polusi tanah dan air dunia akan meningkat secara signifikan (PASPI, 2021).
Menurut data FAO (Elbehri et.al., 2013), residu pupuk dan pestisida dari minyak sawit dunia lebih rendah dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya. Berdasarkan prinsip minimize polusi, seharusnya minyak sawit mendapatkan dukungan penuh sebagai minyak nabati global.
Akan tetapi, apa yang terjadi di Uni Eropa berseberangan dengan fakta empiris. Kampanye atau labelisasi No Palm Oil atau Palm Oil Free semakin berkembang di Uni Eropa. Hal ini justru membuat masyarakat dunia semakin jauh dari alternatif penggunaan minyak nabati yang rendah polutan. Dalam jangka panjang, fenomena yang kontradiksi seperti ini membuat masyarakat dunia menjadi korban dari penggunaan tanaman minyak nabati yang tinggi polutan (PASPI, 2021).
Dampak kampanye No Palm Oil terhadap polusi tanah/air dari produksi minyak nabati tersebut dapat dilihat dari skenario riset yang sudah dilakukan PASPI (2021) sebagai berikut.
Dari tabel tersebut dapat dilihat, volume produksi tiga minyak nabati dunia tahun 2020 adalah minyak sawit sekitar 83,7 juta ton; minyak kedelai sebesar 58,7 juta ton; dan minyak rapeseed sebesar 27,3 juta ton. Dengan produksi tersebut, diperkirakan polutan dari ketiga minyak utama dunia adalah pupuk nitrogen (N) sebesar 2,5 juta ton; fosfor (P2O5) sebesar 1,8 juta ton; dan pestisida sebesar 1,6 juta ton.
Jika skenario No Palm Oil terjadi maka secara proporsional produksi minyak kedelai harus meningkat menjadi 100,6 juta ton dan minyak rapeseed juga perlu ditingkatkan menjadi 69,2 juta ton agar dapat menutupi kehilangan minyak nabati dunia akibat minyak sawit berhenti berproduksi.
Produksi minyak kedelai dan minyak rapeseed tersebut akan menyebabkan polutan nitrogen meningkat menjadi 3,9 juta ton atau meningkat sebesar 56 persen. Sementara itu, polutan fosfor meningkat menjadi 3,2 juta ton atau meningkat 71 persen. Polutan yang dihasilkan dari penggunaan pestisida juga meningkat menjadi 2,9 juta ton atau meningkat sebesar 81 persen.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa segala upaya untuk menyingkirkan minyak sawit dari pasar dunia seperti gerakan/kampanye No Palm Oil atau labelisasi Palm Oil Free atau rencana RED II EU terkait phase out minyak sawit, akan berdampak pada peningkatan polutan/emisi nitrogen, fosfor, dan pestisida yang cukup signifikan. Kenaikan emisi atau polutan tersebut terjadi pada negara-negara produsen minyak kedelai dan minyak rapeseed.
Kenaikan polutan/emisi tersebut akan mengancam kehidupan pada teristerial maupun perairan (PASPI, 2021).