Penolakan Sawit di Uni Eropa Tidak dengan Suara Bulat

KEBIJAKAN Uni Eropa yang mendiskriminasi kelapa sawit tengah dalam tahap akhir menjelang keputusan untuk penetapan menjadi aturan. Sebuah Delegated Act yang akan melengkapi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) sudah disetujui Parlemen Eropa dan akan disikapi oleh masing-masing negara anggota Uni Eropa. Namun demikian, Indonesia masih memiliki waktu dua bulan untuk melakukan berbagai langkah untuk mencegah agar Delegated Act itu tidak diundangkan.

Penolakan Sawit di Uni Eropa Tidak dengan Suara Bulat
KEBIJAKAN Uni Eropa yang mendiskriminasi kelapa sawit tengah dalam tahap akhir menjelang keputusan untuk penetapan menjadi aturan. Sebuah Delegated Act yang akan melengkapi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) sudah disetujui Parlemen Eropa dan akan disikapi oleh masing-masing negara anggota Uni Eropa. Namun demikian, Indonesia masih memiliki waktu dua bulan untuk melakukan berbagai langkah untuk mencegah agar Delegated Act itu tidak diundangkan. Peluang tetap terbuka karena masing-masing negara belum menyatakan sikap resminya. Apalagi, tidak semua anggota Parlemen Eropa menyetujui Delegated Act tersebut. Dengan demikian, keputusan Parlemen Eropa menerima Delegated Act itu tidak dengan suara bulat. Setidaknya, hal ini ditegaskan oleh Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa Yuri Octavian Thamrin yang mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah kalangan di Parlemen Eropa yang menilai bahwa Delegated Act ini merupakan sesuatu yang membahayakan. “Saya banyak bicara dengan teman-teman di Parlemen Eropa, khususnya teman-teman yang jujur yang melihat Delegated Act ini sesuatu yang membahayakan. Karena itu mereka memahami kalau banyak negara produsen kelapa sawit melakukan dua langkah untuk memprotesnya, yakni litigasi dan retaliasi,” ujar Yuri saat berbicara pada talk show Economic Challenges yang disiarkan Metro TV, (25/3/2019). Karena itu pula, KBRI Brussel, belum lama ini menyelanggarakan dialog dengan tema “Palm Oil Free: Facts, Fiction, and Misleading Claims” di Kantor Pusat Parlemen Eropa, menjelang kunjungan Menko Perekonomian ke Brussel pada 8-9 April 2019. Sebagaimana diberitakan Antara, dialog tersebut mengangkat isu perbedaan pandangan di Eropa mengenai sawit sekaligus mengapresiasi upaya bersama untuk mempromosikan sawit berkelanjutan, termasuk oleh Indonesia. Dalam dialog itu, anggota parlemen Eropa dari Komite Lingkungan Hidup, Alberto Cirio menyampaikan bahwa masih banyak klaim yang salah arah terhadap sawit yang pada akhirnya memengaruhi persepsi masyarakat Eropa terhadap komoditas ini. Begitupun dengan akademisi dari John Cabott University, Prof. Pietro Paganini yang menyebutkan bahwa secara ilmiah, banyak tuduhan negatif (klaim) terhadap sawit yang tidak berdasar dan membingungkan bagi konsumen, terutama terkait dengan kandungan saturated fat dan deforestasi. Dalam studinya, disebutkan belum tentu produk yang tidak mengandung sawit lebih baik dari aspek kesehatan sehingga sering klaim tersebut menjadi sekadar trik pemarasan. Sementara wakil dari European Palm Oil Alliance, Imkje Tiesinga menyebutkan apabila ada boikot terhadap produk sawit di Eropa, maka dapat dipastikan justru akan memperburuk deforestasi karena minyak tumbuhan selain sawit, justru membutuhkan areal lahan untuk produksi yang lebih banyak. Pada kesempatan yang sama, perwakilan KBRI Brussel, Andi Sparringa menegaskan klaim negatif sawit oleh Eropa mengabaikan langkah Indonesia dalam mempromosikan sawit berkelanjutan. Sebagai mitra sejajar, Indonesia dan Uni Eropa memiliki aspirasi yang sama untuk melawan perubahan iklim sehingga perlu terus perkuat kemitraan sawit lestari berdasarkan prinsip-prinsip UN Sustainable Development Goals (SDGs). Sebelumnya, Komisi Eropa telah mengadopsi draft Delegated Regulation no. C (2019) 2055 Final tentang High and Low ILUC Risk Criteria on biofuels pada 13 Maret 2019. Dokumen ini akan diserahkan ke European Parliament dan Council untuk melalui tahap scrutinize document dalam kurun waktu dua bulan ke depan. Delegated act itu mengklasifikasikan kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi ILUC (Indirect Land Use Change). ***