Pengusaha Kelapa Sawit Tolak RED II Uni Eropa

PENGUSAHA kelapa sawit bersama pemerintah dan segenap pihak terkait menggelar rapat untuk membahas sikap bersama untuk menanggapi kebijakan energi terbarukan yang diterapkan oleh Uni Eropa (Renewable Energy Directive II/RED II). Pengusaha kelapa sawit sepakat untuk menolak kebijakan tersebut karena dinilai diskriminatif dan merugikan Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono usai menghadiri rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, di Jakarta, Selasa (26/2/2018). Menurutnya, Indonesia akan membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika Uni Eropa tidak menanggapi keberatan Indonesia.

Pengusaha Kelapa Sawit Tolak RED II Uni Eropa
PENGUSAHA kelapa sawit bersama pemerintah dan segenap pihak terkait menggelar rapat untuk membahas sikap bersama untuk menanggapi kebijakan energi terbarukan yang diterapkan oleh Uni Eropa (Renewable Energy Directive II/RED II). Pengusaha kelapa sawit sepakat untuk menolak kebijakan tersebut karena dinilai diskriminatif dan merugikan Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono usai menghadiri rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, di Jakarta, Selasa (26/2/2018). Menurutnya, Indonesia akan membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika Uni Eropa tidak menanggapi keberatan Indonesia. Indonesia diberi waktu paling lambat pada 8 Maret 2019 untuk menyampaikan responsnya atas kebijakan Uni-Eropa tersebut. “Kami merespons bahwa kami tidak setuju atas konsep dalam Delegated Act itu,” kata Joko sebagaimana dikutip Katadata. Katadata juga memberitakan, pada rapat berbeda di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkapkan RED II adalah tindakan diskriminasi terhadap sawit. Sehingga, para produsen sawit dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menyatukan suara. Oke menjelaskan, negara penghasil kelapa sawit harus memberikan sikap yang sama terhadap kampanye negatif. Sehingga, WTO juga akan menjadi salah satu jalan keluar. “Kami tidak setuju dengan RED II,” ujar Oke. Sebagaimana diketahui, Uni Eropa menerapkan kebijakan Arahan Energi Terbarukan (RED II) yang mewajibkan Uni Eropa untuk memenuhi 32% dari total kebutuhan energinya melalui sumber yang terbarukan pada 2030. Kebijakan RED II ini akan disertai delegated act, yakni semacam aturan teknis pelaksanaan. Delegated act awalnya direncanakan diterbitkan pada 1 Februari 2019, namun kemudian ditunda. Delegated act antara lain berisi kriteria yang disebut dengan Low Indirect Land Use Change (ILUC) Risk. ILUC Risk merupakan metode yang digunakan Uni Eropa dalam RED II untuk menentukan besar kecilnya risiko yang disebabkan tanaman minyak nabati terhadap alih fungsi lahan dan deforestasi. Berdasarkan ILUC risk tersebut, kelapa sawit dikategorikan sebagai tanaman minyak nabati yang berisiko besar (high risk) terhadap kerusakan lahan dan deforestasi sehingga dilarang masuk ke Uni Eropa.  Banyak negara, termasuk Indonesia, keberatan dengan metode ILUC risk karena dianggap tidak diakui secara universal. Selain itu, kriteria yang digunakan juga tidak jelas dan cenderung mendiskriminasi kelapa sawit. Dalam penentuan kriteria ini, Uni Eropa juga dinilai diskriminatif tidak tidak fair. Sebab, sebelum delegated act dikeluarkan, Uni Eropa sudah mengklasifikasikan produk minyak kedelai AS sebagai minyak nabati yang berisiko rendah (low risk) terhadap ILUC.  ***