Pemerintah Pertegas Posisi Hadapi Diskriminasi Sawit oleh Uni Eropa

PEMERINTAH menyiapkan sejumlah langkah lanjutan untuk menjaga kelangsungan industri dan memberikan perlindungan kepada para petani kelapa sawit atas diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit oleh Uni Eropa (UE). Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut dari joint mission ke Brussel, Belgia pada 8-9 April 2019 yang bersama Malaysia dan Kolombia melakukan diplomasi kepada Uni Eropa (UE). Kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh Komisi Eropa melalui penerbitan Delegated Regulation (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex) yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II).

Pemerintah Pertegas Posisi Hadapi Diskriminasi Sawit oleh Uni Eropa
PEMERINTAH menyiapkan sejumlah langkah lanjutan untuk menjaga kelangsungan industri dan memberikan perlindungan kepada para petani kelapa sawit atas diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit oleh Uni Eropa (UE). Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut dari joint mission ke Brussel, Belgia pada 8-9 April 2019 yang bersama Malaysia dan Kolombia melakukan diplomasi kepada Uni Eropa (UE). Kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh Komisi Eropa melalui penerbitan Delegated Regulation (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex) yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II). Delegated Regulation itu menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau biasa disebut Indirect Land-Use Change (ILUC). “Kali ini kita membahas perkembangan dari upaya-upaya tindak lanjut yang sedang dilakukan mengenai persoalan diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud dalam Rapat Koordinasi tentang posisi pemerintah Indonesia terhadap EU Delegated Act dan Organisasi Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), di Jakarta, Rabu (19/6/2019). Musdhalifah menegaskan, gangguan dan diskriminasi kelapa sawit tentunya akan berdampak negatif terhadap program pengentasan kemiskinan dan menghambat pencapaian Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB). Untuk itu, saat ini pemerintah tengah melakukan proses litigasi melalui forum World Trade Organization (WTO). Rencananya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan akan memimpin rapat penetapan kuasa hukum pada tanggal 20 Juni 2019 di Jakarta. Pemerintah juga sedang membahas TOR Joint Working Group ASEAN-EU dan bilateral Indonesia-EU. Terakhir, Pemerintah telah membentuk Project Management Office (PMO) yang bertugas untuk mengakomodir dan merumuskan langkah-langkah yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait respons terhadap EU Delegated Act dan RED II. Ke depan, juga diagendakan Senior Officials Meeting (SOM) CPOPC ke-18 pada tanggal 15 Juli 2019 di Malaysia dan Ministerial Meeting CPOPC ke-7 pada tanggal 16 Juli 2019 di Malaysia. Turut hadir dalam Rapat Koordinasi ini antara lain Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman; Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono; Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan; Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan; Staf Ahli Bidang Diplomasi Ekonomi Kementerian Luar Negeri Ina Hagniningtyas Krisnamurthi; Direktur Utama BPDPKS Dono Boestami; serta perwakilan kementerian/lembaga terkait dan perwakilan dunia usaha. (Sumber: Siaran Pers Kemenko Perekomian)